Mendagri Minta Masukan ke KPK Agar Kepala Daerah Gak Kena OTT Lagi

Tahun ini saja udah ada 8 petahana/calon kepala daerah kena OTT

Jakarta, IDN Times - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada Senin pagi (26/02) mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada apa gerangan? 

Rupanya ia diundang oleh pimpinan lembaga anti rasuah dan berdiskusi soal upaya pencegahan korupsi.  Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk mencegah jangan sampai ada lagi yang kena OTT KPK pada tahun ini. Dalam catatan IDN Times, ada sekitar 8 kepala daerah atau calon yang ditangkap oleh lembaga anti rasuah pada tahun 2018. 

Sebagian besar di antaranya tertangkap tangan usai menerima uang suap. Apa saja tips yang diberikan KPK bagi para kepala daerah agar tidak terjerembab ke lubang korupsi?

1. Mengenalkan pemimpin sementara di empat provinsi

Mendagri Minta Masukan ke KPK Agar Kepala Daerah Gak Kena OTT LagiIDN Times/Santi Dewi

Tjahjo mengatakan ketika bertemu dengan pimpinan KPK, ia mengenalkan empat pemimpin baru yang saat ini berstatus "pelaksana tugas". Empat pemimpin itu bertugas di Provinsi Papua, Lampung, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Barat. 

Mereka menduduki posisi sebagai Plt Gubernur karena masa kerja gubernur saat ini telah habis atau pendahulu mereka sedang cuti untuk kampanye. Tjahjo mengaku mendapat banyak masukan untuk menciptakan pemerintahan di daerah yang bersih. 

"Kami juga menyiapkan agar semua teman-teman di daerah untuk bisa mengundang KPK setiap saat hadir dan mereka bisa mendengarkan materi yang berkaitan dengan pencegahan, koordinasi dan supervisi di tingkat kabupaten dan sebagainya," ujar Tjahjo kemarin. 

Sementara, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengaku pihaknya sudah menjelaskan tujuh area yang kerap dikorup oleh pemimpin daerah. Ketujuh area yakni belanja perjalanan dinas, penyusunan anggaran, pajak bumi retribusi daerah, pengadaan barang dan jasa, jual beli jabatan, belanja hibah dan bantuan sosial. 

"Ini merupakan panduan yang searah dengan yang disarankan oleh KPK. Ada area lain yang kami tambahkan sendiri yakni peningkatan kualitas pengawas internal di daerah. Apalagi karena ini tahun politik maka kami berharap dan memberitahukan kepada para Plt bahwa KPK sudah bekerja sama dengan Polri untuk mencegah terjadinya politik uang di Pilkada serentak," ujar Syarif di tempat yang sama. 

Baca juga: Ini 10 Daerah Rawan Korupsi di Pilkada 2018

 

2. Tak mau lagi pilih pejabat sementara jenderal polisi

Mendagri Minta Masukan ke KPK Agar Kepala Daerah Gak Kena OTT LagiIDN Times/Rudy Bastam

Tjahjo rupanya enggan kembali menjadi perbincangan publik dengan menunjuk pejabat sementara yang menggantikan kepala daerah berasal dari kalangan petinggi Polri. Sebelumnya, Menkpolhukam Wiranto sudah membatalkan usulan agar pejabat gubernur Sumatera Utara dan Jawa Barat diambil dari perwira tinggi Polri. 

Hal itu diprotes publik, sebab, mereka khawatir Polri tidak akan netral ketika menghadapi pesta demokrasi Pilkada. 

"Untuk Jabar dan Sumut, setelah saya koordinasikan dengan Kapolri dan kami evaluasi, hasilnya perlu perubahan. Dengan demikian, berita yang beredar di masyarakat mengenai nama kedua Pati Polri sebagai Plk tidak lagi valid," ujar Wiranto kepada media pekan lalu. 

Sementara, Tjahjo enggan terpaku hanya pada dikotomi  perwira polisi atau TNI yang bisa mengisi posisi sebagai Pjs. 

"Kami kira, kami tidak ingin berkutat pada dikotomi itu ya. Kami akan memilih Plt karena dia memang mampu," kata Tjahjo.

Baca juga: Banyak Jenderal Polisi Maju Pilkada, Ini Tanggapan Kapolri

 

3. Jangan pilih pemimpin daerah korup 

Mendagri Minta Masukan ke KPK Agar Kepala Daerah Gak Kena OTT LagiIDN Times/Sukma Shakti

Sayangnya, situasi yang terjadi saat ini justru semakin memberikan peluang bagi pemimpin daerah yang korup masih tetap menjabat. Pasalnya sesuai dengan UU nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota, syarat yang ditetapkan untuk menjadi kepala daerah yakni mereka tidak pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Atau, bagi mantan terpidana yang ingin maju kembali, maka mereka harus mengemukakan secara terbuka dan jujur sebelumnya pernah dibui. 

Artinya, bagi para kepala daerah yang sudah menyandang status tersangka pasca tertangkap dalam OTT tetap bisa melenggang di Pilkada bahkan dilantik. 

Fenomena itu pun turut dipahami oleh lembaga anti rasuah. Menurut jubir KPK Febri Diansyah, hukum positif di Indonesia memang mengizinkan demikian. Tetapi, pada faktanya, ketika calon kepala daerah sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan ditahan, maka secara otomatis mereka sulit menjalankan roda pemerintahan. 

"Bahkan, konsekuensinya kan kalau sudah ditahan, maka diberhentikan sementara. Apalagi kalau divonis berdasarkan kekuatan hukum tetap. Tentu saja yang bersangkutan tidak bisa menjadi kepala daerah," kata Febri di kantor KPK semalam. 

Mantan aktivis anti korupsi ICW itu pun yakin kalau masyarakat Indonesia sudah cukup cerdas dalam memilih calon pemimpinnya. 

"Kami percaya masyarakat cerdas dan bijak dalam menentukan pilihan. Apakah masyarakat masih mau memiliki kepala daerah yang sudah jadi tersangka kasus korupsi?" tanyanya. 

Sementara, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif tidak membantah ada pengawasan khusus yang dibuat bersama antara Polri dan lembaga anti rasuah. Salah satunya, kemarin memantau kalau ada pemberian mahar politik dari calon kepala daerah ke partai. 

"Tetapi, itu kan sudah lewat. Yang sekarang ini adalah tentang yang ada hubungannya dengan penyelenggaraan pemilu dan KPU. Seperti yang terjadi di Garut kemarin oleh Polri. Tahap berikutnya, nanti adalah saat pemilihan dan saksi di TPS. Tahap, akhir yakni berhubungan dengan pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi," tutur Syarif. 

Baca juga: Diduga Terima Suap dari Pasangan Calon, Komisioner KPU dan Ketua Panwaslu Garut Ditangkap

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya