Peringkat Demokrasi di Asia Menurun Drastis

2 negara dengan penurunan ranking terburuk adalah India dan Indonesia.

Jakarta, IDN Times - Kabar buruk datang dari Asia. Menurut laporan The Economist Intelligence Unit yang meneliti tingkat kebebasan di 167 negara, peringkat demokrasi di Asia pada 2017 kian menurun drastis jika dibandingkan kawasan lainnya.

1. Peringkat Indonesia dan India jatuh bebas

Peringkat Demokrasi di Asia Menurun DrastisANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Sebagai dua negara demokrasi terbesar di Asia, Indonesia dan India tidak berhasil menorehkan pencapaian yang baik sepanjang 2017. Bahkan, peringkat kedua negara justru terjun bebas. Jika pada 2016 lalu India menduduki peringkat 32, pada 2017 negara tersebut turun ke posisi 42. Indonesia jauh lebih parah lagi yaitu dari ranking 48 ke peringkat 68.

Ada lima kategori yang digunakan untuk menentukan peringkat demokrasi. Kelimatanya adalah: proses elektoral dan pluralisme; kebebasan sipil; fungsi pemerintahan; partisipasi politik; dan kultur politik. Dari kategori ini, negara dikelompokkan berdasarkan skor mereka.

Mulai dari demokrasi penuh, demokrasi yang cacat, rezim persilangan, dan rezim otoriter. Hanya Australia dan Selandia Baru yang mendapat kategori demokrasi penuh. Kemudian, Myanmar, Kamboja serta Vietnam masuk ke kategori rezim otoriter.

Baca Juga: Vonis Ahok Jadi Perhatian Media Asing

2. Bangkitnya konservatisme menjadi alasan utama

Peringkat Demokrasi di Asia Menurun DrastisANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Alasan mengapa peringkat negara-negara di Asia menurun adalah bangkitnya ideologi agama yang konservatif. Salah satu yang menjadi perhatian dunia adalah ketika vonis hukuman penjara kepada mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dalam kasus penodaan agama.

Menurut The Economist, "pasal penodaan agama di Indonesia sering digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi". Situasinya kurang lebih sama di India. Kelompok Hindu garis keras berkali-kali melakukan penyerangan terhadap komunitas Muslim dan kasta terendah, Dalit.

"Menguatnya kelompok Hindu sayap kanan di negara yang seharusnya sekuler mengakibatkan meningkatnya vigilantisme dan kekerasan terhadap komunitas minoritas serta suara-suara yang tak sepaham dengan mayoritas," tulis The Economist.

3. Identitas politik dan agama dikhawatirkan semakin jadi senjata

Peringkat Demokrasi di Asia Menurun DrastisANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Ketika Ahok dipenjara, reporter Al Jazeera, Step Vaessen, memprediksi kasus tersebut akan memperlihatkan "betapa mudahnya untuk menggunakan tuduhan penistaan agama terhadap lawan—terutama bila para lawan merupakan minoritas di negara ini".

Sementara itu, Edward Parker dari The Diplomat menulis bahwa "politik identitas tengah dimainkan saat ini" ketika membahas lanskap politik Indonesia pada 2018. Ia mencontohkan pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang menyebut ketidaksetaraan dimotori oleh agama.

JK saat itu mengesankan bahwa para elit yang sebagian besar keturunan Tionghoa dan beragama non-Islam menjadi penyebab tidak meratanya distribusi kekayaan. Kelompok Muslim tertentu juga menyuarakan sentimen anti-asing.

Oleh karena itu, ada kekhawatiran bahwa sejumlah elit politik tertentu semakin rajin untuk menggunakan agama dan identitas politik sebagai alat untuk memenangkan perebutan kekuasaan. Akibatnya, kelompok minoritas menjadi korban.

Baca Juga: Sejumlah Tokoh Cermati 3 Hal Ini di Tahun Politik Indonesia

Topik:

Berita Terkini Lainnya