Sejumlah Tokoh Cermati 3 Hal Ini di Tahun Politik Indonesia
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Tahun 2017 dianggap sebagai tahun politik identitas, dan memberikan pengaruh cukup besar di tahun 2018 dan 2019 mendatang karena telah memasuki tahun politik.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi Catatan Politik Akhir Tahun 2017 dan Proyeksi Politik Tahun 2018 yang dihadiri sejumlah tokoh.
Baca juga: Tiga Perwira Tinggi Ramaikan Pilkada, Ini Kata Polri
1. Tahun 2017 buka kotak pandora politik identitas
“Berkaitan dengan politik 2017, Partai Gerindra menganggap Pilkada Jakarta itu telah memberikan kontribusi akan terbukanya kotak pandora politik identitas,” kata Ferry di Diskusi Kopi, Setiabudi, Jumat (29/12).
Menurutnya, tahun 2018 mau tidak mau akan tetap ada dan memiliki kaitan dengan politik identitas. Mengingat, masyarakat merasakan hal tersebut.
Baca juga: Tiga Partai Politik Ini Masih Belum Sepakat di Pilkada Jawa Timur
2. Partai politik lebih memilih tokoh populis
Editor’s picks
“Partai cenderung mencari tokoh-tokoh populis yang kadang terlepas dari kader partai itu sendiri. Bagaimanakah sebenarnya tantangan demokrasi kepartaian di Indonesia. Itu menurut saya, untuk menjadi catatan di tahun 2018 dan 2019,” kata Diah.
Baca juga: Koalisi 3 Partai Politik Ini Umumkan Nama Cagub dan Cawagub untuk Pilkada 2018
Menurutnya, walaupun setiap partai memiliki kepentingan untuk memenangkan pemilihan, namun tetap saja tidak semua kader partai masuk dalam dimensi populis.
“Partai punya kepentingan untuk memenangkan pemilihan. Tapi di satu sisi, kader partai tidak semuanya berada dalam dimensi yang populis. Karena saya takutkan, kita terjebak dalam kebijakan-kebijakan parsial. Jadi orang cenderung berteriak hanya untuk meningkatkan popularitas,” jelasnya.
3. Populisme religius
Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Ahmad Hanafi Rais menyampaikan jdi tahun 2017 sangat rentan dengan politik populisme religius. Ada alasan tersendiri kenapa sampai ada populisme religius dalam politik Indonesia.
“Saya meyakini ada hal yang menyebabkan itu, yakni masyarakat kelas bawah, hingga memiliki kegelisahan terkait kondisi sosial ekonominya. Dan hal itu ditunjukkan dalam survei,” kata Hanafi.
Menurutnya, kondisi sosial ekonomi juga sangat mempengeruhi populisme religius di politik Indonesia. Dan jika masih terus mengalami penurunan, populisme religius akan terus muncul hingga tahun 2018 mendatang.
“Ketika ada gelombang populisme religius itu menjadi saluran yang memuncah. Artinya, ketika lapangan kerja susah, daya beli menurun dan harga bahan pokok tinggi, tidak terpuaskan, maka gelombang populisme religius terus muncul,” tambahnya.
Baca juga: Jelang Pemilu dan Pilkada, KPK Minta Pejabat Laporkan Harta Kekayaan