KPK Tolak Permintaan Wiranto Agar Tak Proses Kepala Daerah Saat Pilkada

Proses hukum dan politik itu dua hal yang berbeda lho!

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku tidak akan menuruti permintaan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto agar calon kepala daerah tidak diumumkan sebagai tersangka jelang dan saat Pilkada 2018.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan daripada pemerintah meminta agar kepala daerah tidak diumumkan, lebih baik mereka membuat Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) bagi calon kepala daerah yang tersangkut kasus pidana. 

Mengapa Saut berpendapat demikian? Apa komentar LSM pemantau isu korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap permintaan Wiranto itu?

1. KPK tetap memproses kepala daerah yang korup 

IDN Times/Sukma Shakti

Saut mengatakan permintaan Wiranto tidak akan menghentikan langkah lembaga antirasuah yang tegas terhadap penindakan hukum. Artinya, kepala daerah petahana atau calon kepala daerah tetap akan diproses sesuai hukum selama ada bukti yang mencukupi. 

"Itu tepatnya (akan tetap diproses), selama kami memiliki bukti tentu akan diumumkan kalau memang ada. Jadi, bukan diada-adakan (kasusnya)," ujar Saut melalui pesan pendek pada Selasa (13/03). 

Menurut Saut, penanganan korupsi yang tidak tegas justru berkontribusi terhadap Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang tetap jalan di tempat. Saat ini, berdasarkan survei dari organisasi Transparency International Indonesia (TII), Indonesia ada di peringkat 96 dengan skor 37. Peringkat ini tidak naik dari ranking di tahun sebelumnya. 

Baca juga: Ketua KPK: Beberapa Kepala Daerah Akan Diumumkan Jadi Tersangka Pekan Ini

2. Pemerintah ikut campur terhadap proses hukum

IDN Times/Sukma Shakti

Peneliti ICW, Donal Fariz mengatakan permintaan agar lembaga antirasuah menunda lebih dulu proses hukum terhadap kepala daerah bukan datang dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sehingga, dapat dimaknai wacana itu malah muncul dari pemerintah sendiri. 

"Pernyataan itu bertentangan dengan upaya yang ingin membawa proses demokrasi sebagai alat untuk menjadikan pemerintahan yang bersih. Padahal, sesungguhnya, pilkada dijadikan ajang untuk memilih pemimpin mereka selama 5 tahun ke depan," kata Donal dalam keterangan tertulis pada Selasa (13/03). 

Proses hukum, Donal melanjutkan, seharusnya digunakan membantu menyortir kontestan Pilkada yang bermasalah, salah satunya terindikasi korupsi. 

"Proses hukum itu seharusnya dapat membantu masyarakat agar tidak salah memilih pemimpin mereka," tutur dia.

Donal menilai pemerintah seharusnya dapat membedakan mana yang masuk wilayah proses politik dan hukum. Kalau sudah menyangkut proses hukum, maka tidak boleh dicampuri oleh pihak mana pun.

Namun, usai KPK menetapkan 5 orang calon kepala daerah sebagai tersangka pada Pilkada tahun ini, proses pesta demokrasi itu tetap berjalan. Proses penegakan hukum pun tidak menciptakan gangguan keamanan. 

3. KPK adalah lembaga independen

ANTARAFOTO/Reno Esnir

Melalui keterangan tertulis itu, ICW menyarankan agar mengabaikan permintaan pemerintah. Mengapa? Karena

pertama, sesuai di dalam UU KPK nomor 30 tahun 2002 pasal 3, lembaga anti rasuah merupakan institusi yang independen. 

"Artinya, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tidak dapat meminta untuk mempercepat, menunda atau bahkan menghentikan proses hukum yang dilakukan oleh KPK," tutur Donal. 

Alasan kedua, kata Donal, proses yang saat ini tengah dilakukan oleh lembaga anti rasuah justru menjaring pemimpin daerah yang berkualitas. Sebab, hal itu gak dilakukan oleh oleh partai politik. 

Alasan terakhir, menurut ICW, pemerintah telah mencampur adukan proses politik dengan proses hukum. 

"Padahal, Pilkada merupakan proses politik yang tidak boleh mengesampingkan proses hukum. Sebab, konstitusi menyebut Indonesia merupakan negara hukum," kata dia. 

Baca juga: Ramai-ramai Calon Petahana Terjaring OTT KPK, Partai Minta Aturan Ini Direvisi

4. Pernyataan Wiranto mewakili kepentingan Partai Hanura

IDNTimes/Fitang Adhitia

Sementara, menurut Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo, gangguan yang berpotensi muncul gara-gara OTT KPK merupakan wacana yang tengah dibangun oleh pemerintah. Apalagi mereka juga berasal dari partai politik yang saat ini berlaga di Pilkada 2018 dan Pemilu Legislatif 2019. 

"Pak Wiranto kan dari (Partai) Hanura, Pak Jokowi dari PDIP dan politisi lainnya sama saja. Yang ikut kontestasi saat ini kan adalah orang-orang yang ada di pemerintahan atau di DPR. Jadi, kalau suara mereka meminta itu menandakan bahwa mereka yang terganggu dan bukan pemilih," kata dia yang dihubungi IDN Times melalui telepon pada Selasa siang (13/03). 

Pemilih tetap memiliki kebebasan untuk memilih siapa pun calon kepala daerah yang mereka mau. Lagipula, kata Adnan, Pilkada baru dapat dikatakan terganggu kalau pesta demokrasi itu tidak bisa diselenggarakan. 

"Misalnya kalau terjadi konflik, kerusuhan atau diintimidasi, itu baru dikatakan gangguan. Kan ada juga walau sudah dijadikan tersangka oleh KPK, tapi kepala daerah tetap bisa mengikuti proses Pilkada," ujar Adnan. 

Sekarang, yang jadi pertanyaan nih guys, kalian mau memilih calon kepala daerah yang sudah jadi tersangka kasus korupsi? 

Baca juga: Mendagri Minta Masukan ke KPK Agar Kepala Daerah Gak Kena OTT Lagi

 

 

 

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya