Pasal Penghinaan Presiden 'Dibangkitkan' DPR, Begini Respon MK

MK pernah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden, kenapa dihidupkan lagi ya?

Jakarta, IDN Times - Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai kecaman dari publik. Sebab banyak pasal dalam undang-undang tersebut yang dinilai kontroversial. Salah satunya adalah Pasal 263 Ayat (1). 

Pasal tersebut berbunyi, setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Padahal, pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP lama, yakni Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

1. RKUHP bertentangan dengan Putusan MK

Pasal Penghinaan Presiden 'Dibangkitkan' DPR, Begini Respon MKIDN Times/Akhmad Mustaqim

"Memasukkan kembali norma yang serupa dengan yang dibatalkan MK itu bertentangan dengan putusan MK. Jadi kalau dibaca pertimbangan hukum MK saat itu jelas, dalam melakukan pembaruan KUHP maka pembentuk UU tidak boleh lagi memasukkan rumusan norma seperti yang dibatalkan oleh MK. Ini sudah tidak relevan dengan negara Indonesia yang republik dan demokrasi," ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (15/2).

Fajar melanjutkan, sebagai sebuah produk legislasi, RKUHP tersebut sah secara demokrasi karena sudah disepakati dalam forum demokrasi di parlemen.

"Memang yang jadi persoalan ketika MK sudah memutus tapi pembentuk UU tidak mau menindaklanjuti, ini jadi problem kita semua sebetulnya. Kalau MK sudah memberikan penafsiran, memberi mandat konstitusionalnya, itu yang seharusnya diikuti. Sudahlah, sudah ada penafsiran dari MK sebagai penafsir akhir," imbuhnya.

Baca juga: Usik Privasi, Kecaman untuk RKUHP Masih Berlanjut

2. Rentan terjadi krisis konstitusi

Pasal Penghinaan Presiden 'Dibangkitkan' DPR, Begini Respon MKIDN Times/Indiana Malia

Menurut Fajar, DPR bersama Pemerintah membuat undang-undang dalam rangka menafsirkan konstitusi dan secara aktif sebagai positifnya legislator. Sementara itu, MK sebagai penafsir konstitusi final.

"Kalau yang terjadi itu kemudian ada putusan MK tidak dilaksanakan, yang sudah dinyatakan batal malah dibangkitkan lagi, ini akan jadi krisis konstitusi. Setelah dimunculkan, dibatalkan, lalu diuji, lalu dimunculkan lagi. Ini akan jadi krisis konstitusi, tidak akan efektif," ujarnya.

3. Sebaiknya DPR tak masukan pasal penghinaan presiden

Pasal Penghinaan Presiden 'Dibangkitkan' DPR, Begini Respon MKIDN Times/Teatrika Handiko Putri

"Iya (agar efektif tidak usah lagi dibuat). Jadi ikuti saja penafsiran MK sebagai penafsir akhir konstitusi yang sudah menjamin konstitusionalitasnya. Kalau sudah diminta, sudahlah, pasal ini nggak usah dimasukkan, dengan argumentasi yang sudah disampaikan MK, ya sudah.  Tetapi namanya legislasi itu kan produk politik, ada kristalisasi kepentingan politik di sana, itulah kemudian di sana ada MK yang tadinya sah secara demokrasi, kemudian bisa dichallange secara monokrasi," kata Fajar.

Baca juga: Buat Petisi Penolakan RKUHP, Aktivis Perempuan Ini Tuntut 3 Hal ke DPR

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya