Buat Petisi Penolakan RKUHP, Aktivis Perempuan Ini Tuntut 3 Hal ke DPR

Pasal KUHP dianggap mengancam kaum ibu yang memiliki anak remaja

Jakarta, IDN Times - Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Komisi III DPR menuai banyak protes dari sejumlah pihak, karena dinila mencederai nilai-nilai demokrasi.

Seperti penolakan yang disampaikan warga bernama Tunggal Pawestri, yang membuat petisi penolakan di laman change.org sejak dua pekan lalu. Hingga Kamis pagi, (15/2), petisi tersebut sudah ditandatangani 67.805 netizen.

Dengan mengunggah gambar ilustrasi dan menyertakan #sayajugabisajadikorban, Pawestri membuat petisi dengan judul "Tolak RKUHP yang Mengkriminalisasi Perempuan, Anak, Masyarakat Adat dan Kelompok Marjinal." 

1. Menyoroti pasal-pasal kesusilaan RKUHP 

Buat Petisi Penolakan RKUHP, Aktivis Perempuan Ini Tuntut 3 Hal ke DPRIDN Times/Sukma Shakti

Dalam petisinya, Pawestri menggarisbawahi soal pasal-pasal kesusilaan RKUHP. Di antaranya adalah pasal tentang zina yang memperluas pengertian zina dari perselingkuhan (overspell) pada Pasal 284 KUHP, menjadi setiap hubungan seks konsensual di luar perkawinan (fornication/extramarital sex).

"Perluasan makna zina tersebut dapat ditemukan pada Pasal 484 ayat (1) huruf e berbunyi 'dipidana karena zina dengan penjara paling lama 5 tahun, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan',” tulis Pawestri.

Pasal ini, menurut Pawestri, merupakan delik laporan, yang artinya setiap orang dapat melaporkan perbuatan zina orang lain. Dengan demikian, kata dia, ini akan meningkatkan persekusi dan budaya main hakim sendiri di kelompok masyarakat.

Baca juga: Ramai Soal Petisi Penolakan RKUHP, Ini Jawaban DPR

2. Empat alasan menolak ketentuan pasal zina dalam RKUHP

Buat Petisi Penolakan RKUHP, Aktivis Perempuan Ini Tuntut 3 Hal ke DPRIDN Times/Sukma Shakti

Dalam petisi tersebut, Pawestri juga menyebutkan empat alasan menolak ketentuan pasal zina dalam RKUHP yang kini dibahas Komisi III DPR. Pertama, ketentuan tentang zina ini membuat para penyintas perkosaan enggan dan takut melaporkan pelaku perkosaan kepada polisi.

"Karena jika kami tidak dapat membuktikan bahwa perkosaan itu terjadi atau pelaku mengaku bahwa perkosaan tersebut adalah hubungan suka sama suka, maka kami akan dituduh berzina dan kami akan dipenjara bersama pemerkosa kami," kata dia.

Kedua, Pawestri menyebutkan, bagi kaum ibu yang memiliki anak remaja pasal ini dianggap menjadi ancaman bagi kehidupan anak-anak mereka. Dalam banyak kasus, anak-anak seringkali menjadi korban eksploitasi seksual orang dewasa. Karena ketidakmatangan usianya, anak-anak sering diperdaya oleh orang dewasa untuk berhubungan seksual. 

"Jika ketentuan ini disahkan, anak kami yang tadinya merupakan korban eksploitasi seksual orang dewasa, akan dipenjara dengan tuduhan zina.  Kami tidak ingin membiarkan anak-anak kami kehilangan masa depan karena pasal ini," ujar dia.

Ketiga, menurut Pawestri, pasangan suami isteri yang tidak memiliki buku nikah menjadi rentan dikriminalisasi oleh pasal ini. Karena tidak bisa membuktikan bahwa hubungan seks mereka didasari perkawinan yang sah secara hukum.

"Bagi Dewi Kanti, seorang penghayat kepercayaan, ketentuan ini akan menyasar langsung kelompok penghayat kepercayaan," dia mencontohkan.

Keempat, Pawestri menyebutkan, dirinya menyaksikan banyak perempuan yang diiming-imingi janji pernikahan seringkali ditinggal pasangannya ketika mereka mengalami kehamilan. Harapan untuk membangun keluarga menjadi musnah ketika pasangan mereka lari dari tanggung jawab. 

"Ketentuan ini bukannya menyelematkan perempuan dari situasi tersebut melainkan menjadikan perempuan sebagai kriminal," ujar dia.

3. Tiga tuntutan kepada Komisi III DPR

Buat Petisi Penolakan RKUHP, Aktivis Perempuan Ini Tuntut 3 Hal ke DPRIDN Times/Sukma Shakti

Pawestri mewakili perempuan menuntut agar Komisi III DPR menghapus pasal-pasal yang potensial mengkriminalisasi perempuan, korban perkosaan, anak, pasangan yang menikah secara adat, pasangan nikah siri, pasangan poligami dan masyarakat pada umumnya.

Pawestri juga mendesak DPR mengkaji ulang pasal-pasal dalam bab kesusilaan dengan memperhatikan hak asasi manusia, pengalaman perempuan, anak dan kelompok minoritas adat.

Tak hanya itu, Pawestri juga mendorong DPR membuka ruang partisipasi publik untuk mendengarkan suara perempuan, anak, korban perkosaan dan kelompok minoritas adat.

Baca juga: Usik Privasi, Kecaman untuk RKUHP Masih Berlanjut

Topik:

Berita Terkini Lainnya