Kompolnas Komentari Majunya Para Jenderal di Pilkada 2018

Sistem kaderisasi partai politik bermasalah?

Jakarta, IDN Times - Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Bekto Suprapto tak mempermasalahkan fenomena anggota TNI-Polri yang memilih terjun ke dunia politik.

1. Pertanyakan sistem kaderisasi partai politik 

Kompolnas Komentari Majunya Para Jenderal di Pilkada 2018IDN Times/Fitang Adhitia

Hanya saja, ia mempertanyakan sistem kaderisasi partai politik (parpol) yang mengusung sejumlah perwira aktif TNI-Polri pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018 tersebut.

"Pertanyaan saya, ini parpol-parpol maunya apa? Apakah kader mereka tidak cukup, kenapa menarik-narik perwira aktif TNI-Polri untuk dicalonkan, apakah tidak cukup kadernya?," kata Bekto dalam sebuah diskusi di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta, Sabtu (6/1).

Baca juga: Jelang Pilkada, Kapolri Pastikan Tak Ada Proses Hukum Bagi Pasangan Calon

2. Sudah ada aturannya

Kompolnas Komentari Majunya Para Jenderal di Pilkada 2018IDN Times/Sakti

Ia juga mengatakan di dalam Undang-undang TNI-Polri, sangat tertulis melarang anggota TNI-Polri aktif untuk berpolitik. Jika mereka memilih berpolitik, maka diwajibkan mengundurkan diri.

"Ini sebenarnya masalah aturan. Kaitannya Polri dan TNI. Di Undang-undang TNI-Polri jelas tidak boleh berpolitik praktis, dan siapapun yang mau maju harus mengundurkan diri," tambah Bekto.

Sayangnya, aturan tersebut justru berbeda dengan aturan Undang-undang Pilkada. "Ada Undang-undang lain (UU Pilkada), yang mengatur mundurnya (anggota TNI-Polri) pada saat ditentukan KPUD. Ini yang bertentangan dengan Undang-Undang TNI dan Polri," katanya.

Baca juga: Siap Bertarung di Pilkada 2018, PKS Usung 116 Calon

3. Harus melalui masa jeda

Kompolnas Komentari Majunya Para Jenderal di Pilkada 2018IDN Times/Fitang Adhitia

Sementara itu, Guru Besar Universitas Pertahanan, Prof. Dr. Salim Haji Said, MA mengatakan sebaiknya Undang-undang tentang tugas TNI dan Polri yang tak memperbolehkan adanya politik praktis dan Undang-undang Pilkada dibawa ke ranah MK.

"Memang mestinya dibawa ke MK untuk menentukan Undang-undang yang mana sebenarnya yang mau dipakai dalam urusan personal TNI-Polri. UU TNI-Polri apa UU pilkada? Karena ini kan menguntungkan bagi mereka kalau pake UU pilkada meraka merasa tidak salah. Tapi kalau Anda lihat, dari UU TNI-Polri ada yang tidak beres. Itulah gunanya UU itu harus dirapihkan," ujar Salim.

Menurut Salim idealnya para perwira itu harus melewati masa jeda sebelum terjun ke politik praktis.

"Contohnya, saya pernah mengatakan bahwa tentara Israel itu masa jedanya dua tahun. Sebab, Israel itu menarik karena sebagian besar politisinya itu jenderal,”jelasnya.

Baca juga: PDI Perjuangan Terima Surat Pengunduran Diri Azwar Anas dari Pilkada Jawa Timur

Salim juga mengambil contoh lain Amerika Serikat. Menurutnya, para Jenderal di sana harus melalui masa jeda paling minim dua tahun, sebelum terjun ke panggung politik. 

Namun, lanjut Salim, di AS kehadiran mantan tentara di dunia politik tidak terlalu mencolok. Ia pun mengusulkan para perwira tinggi tersebut, diharuskan melalui masa jeda terlebih dahulu sebelum mencicipi dunia politik. 

Hal ini dimaksudkan agar para Jenderal tetap fokus di institusinya, dan tidak tergoda dengan rayuan terjun ke politik praktis, sebelum masa kerjanya berakhir.

"Itu perlu (masa tenggang) supaya mereka tidak tergoda di waktu-waktu terakhirnya di lembaga itu, untuk investasi popularitas supaya terpilih atau dapat dukungan parpol untuk pencalonan dia," terang Salim.

4. Bawaslu akan buat perbawaslu

Kompolnas Komentari Majunya Para Jenderal di Pilkada 2018IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu) berencana membuat Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) khusus untuk calon-calon kepala daerah dari TNI dan Polri.

Bawaslu juga akan menemui Panglima TNI Marsekal Haji Tjahjanto untuk merespons sejumlah anggota TNI yang mencalonkan diri pada Pilkada Serentak 2018.

Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan, potensi konflik di daerah dengan calon yang berlatar belakakang TNI dan Polri akan lebih tinggi. Hal ini terkait netralitas dan dukungan anggota TNI terhadap para calon tersebut.

Sementara, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) tidak mampu menjangkau anggota aktif TNI yang diduga tidak netral atau memberikan dukungan kepada salah satu calon.

Baca juga: Golkar Deklarasikan Seluruh Pasangan Calon di Pilkada 2018

Kompolnas Komentari Majunya Para Jenderal di Pilkada 2018IDN Times/Sukma Shakti

Fritz mengatakan, Bawaslu akan berkoordinasi dengan Polisi Militer (POM) TNI untuk mengantisipasi persoalan tersebut.

"Kami harus berhubungan dengan Panglima TNI, karena akan meminta bantuan POM. Karena seandainya dalam proses dukungan kepada calon kepala daerah mantan TNI-Polri kan ada sebuah ketidaknetralan terjadi," kata Fritz, Rabu (27/12).

"Proses Sentra Gakumdu yang biasa saja tidak bisa, karena itu kami akan interview TNI-Polri yang aktif," ujar Fritz.

Menurut Fritz, potensi konflik di daerah dengan calon berlatar belakang TNI-Polri akan lebih kuat karena masih ada residu pengaruh kekuasaan. 

Pengaruh itu baik di internal institusi bersangkutan, maupun dengan pengusaha atau pimpinan daerah lainnya.

Oleh karena itu, Bawaslu akan menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Perbawaslu yang ditargetkan selesai pada pertengahan Januari 2018.

Baca juga: Ini Daftar Nama Peserta Pilkada 2018 yang Direstui PKB

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya