Yerusalem Jadi Ibu Kota Israel, Negara Timur-Tengah Hanya Bisa Jadi Penonton

Negara Timur Tengah tidak memiliki daya tawar politik

Jakarta, IDN Times - Melalui pidato yang disampaikan di Gedung Putih, Amerika Serikat, Rabu (6/12). Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan persetujuannya soal perpindahan Ibu Kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Menanggapi hal ini, Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Muhammad Luthfi Z, berujar kalau kebijakan itu sudah diprediksi bakal terjadi. Mengingat wacana perpindahan ibu kota telah bergulir sejak 1995.

“Saya sudah memprediksi. Dulu memang (sejak 1995) sudah ada (keinginan  untuk memindahkan ibu kota), tapi banyak ditentang oleh negara-negara besar yang memilliki Hak Veto. Lagi pula, saat itu AS belum setuju (dengan perpindahan),” terangnya saat dihubungi oleh IDN Times melalui sambungan telepon, Kamis (07/12).

Menurut Luthfi, konstelasi Timur Tengah menjadi faktor determinan yang menyebabkan AS sepakat dengan peralihan ibu kota.

“Pemindahan ini kan tidak tiba-tiba. Yang memindahkan Israel, tapi Trump yang menyetujui itu. Menurut saya, momentumnya karena sekarang kondisi Timur Tengah sedang ada di titik terendah,” kata pengamat Timur Tengah tersebut.

Baca juga: Begini Reaksi 7 Pemimpin Dunia Soal Rencana Pemindahan Kedubes AS ke Yerusalem

Yerusalem Jadi Ibu Kota Israel, Negara Timur-Tengah Hanya Bisa Jadi PenontonIDN Times/Vanny El Rahman
Kendati mendapat respon negatif dari negara Timur Tengah, ia menilai kalau negara di sana tidak akan bisa berbuat banyak.

 “Arab Saudi, sedang mengalami konflik internal, jadi apakah Saudi menanggapi atau tidak, keberadaannya tidak jelas. Negara yang paling keras menentang itu Suriah, tapi mereka tidak ada semacam perjanjian dengan Israel. Mesir sebagai negara terkuat di Timur Tengah, sudah memiliki perjanjian dengan Israel di Camp David. Jadi hampir tidak ada lagi negara yang membela Palestina,” bebernya.

Menanggapi respon negara yang tidak berada di pusaran Israel-Palestina, ia juga berasumsi tanggapan yang disampaikan tidak akan berdampak signifikan

“Indonesia, Yordania, Turki, kalaupun sempat bertemu (merespon peralihan ibu kota), saya kira tidak bisa berbuat banyak. Iran sekalipun gak mungkin melakukan penentangan, karena di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak punya Hak Veto dan tidak berbatasan dengan Israel,” ungkap pria yang sehari-harinya berprofesi sebagai dosen di Universitas Indonesia itu.

Apabila merujuk kepada Resolusi PBB 242, maka keputusan Israel untuk menggeser ibu kotanya telah melanggar resolusi.

“Kalau respon PBB, Israel harusnya mundur dari wilayah (yang dikuasainya setelah Perang 1967) itu. Yerusalem Timur harusnya dikembalikan kepada Palestina. Paling nanti PBB akan membuat semacam resolusi, tapi (besar kemungkinan) akan di veto oleh Amerika,” tambah Luthfi.

Salah satu isi resolusi tersebut adalah mendukung gagasan kemerdekaan Israel dan Palestina (Two State Solution). Akan tetapi, dukungan AS terhadap kebijakan baru Israel merupakan bentuk penolakan solusi di atas.

Two state solution telah diupayakan oleh Palestina bertahun-tahun, kesana-kemari. Dukungan AS merupakan bentuk pengejawantahan dari sistem satu negara atau AS tidak mendukung Palestina merdeka. Ini sama saja seluruh wilayah Palestina di bawah kekuasaan Israel,” jelas pria yang menyelesaikan studi doktoralnya di The University of Jordan.

Atas kebijakan tersebut, Luthfi memprediksi kalau Hamas dan Fatah akan muncul sebagai kekuatan yang melawan Israel, walaupun bersifat temporal.

“Hamas dan Fatah setelah rekonsiliasi tidak akan pecah, mungkin malah menguat, tapi dampaknya tidak begitu besar, mereka juga ga bisa berbuat banyak. Paling ya mereka memprovokasi kesana-kemari, tapi negara yang diprovokasi juga sudah pada sakit. Paling mungkin akan muncul gerakan intifada atau demonstrasim, itupun sporadis,” tutupnya.

Baca juga: Trump Resmi Akui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel

 

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya