Trump Izinkan Rumah Ibadah Jadi Tempat Berpolitik

Lalu, kelompok Ateis pun menuntut Trump

Pada 4 Mei 2017 kemarin, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menandatangani Perintah Eksekutif Presiden mengenai kebebasan berpendapat dan beragama. Perintah Eksekutif Presiden itu berisi enam bagian. Dalam pendahuluannya, itu ditujukan untuk mengawal eksekutif dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang berdampak pada kebebasan beragama dari orang per orang maupun organisasi keagamaan di AS.

Trump menganggap kebebasan berpendapat dan beragama di AS terancam.

Trump Izinkan Rumah Ibadah Jadi Tempat BerpolitikCarlos Barria/Reuters

Menurut Trump, Pemerintah Federal selama ini telah mengintervensi kebebasan beragama dan berpendapat masyarakat AS. Bentuk intervensi yang dimaksud Trump adalah jika suatu entitas mengaku merupakan sebuah organisasi keagamaan -- yang menikmati hak bebas pajak dari pemerintah -- maka organisasi tersebut dilarang membicarakan politik atau menyatakan mendukung kandidat siapapun yang berkontestasi dalam pemilu.

Tak hanya organisasinya. Aturan yang sama juga berlaku untuk para pemuka agama di dalamnya. Jika itu dilanggar, maka sesuai dengan hukum yang berlaku, Internal Revenue Service (IRS) yang bertanggungjawab atas pajak harus melakukan investigasi terhadap organisasi tersebut. Trump melihat ini adalah pengingkaran terhadap kebebasan berpendapat dan beragama masyarakat.

"Sudah terlalu lama Pemerintah Federal menggunakan kekuatan negara sebagai senjata melawan orang-orang beragama. Kini kalian dalam posisi di mana kalian bebas mengatakan apa yang ingin kalian katakan," ujar Trump. Aturan larangan membicarakan politik bagi entitas bebas pajak sendiri termaktub dalam Amandemen Johnson yang berlaku sejak 1954.

Baca Juga: Tak Dapat Jatah Anggaran, Tembok Trump Diprediksi Batal Dibangun

Dengan ini, Trump mengizinkan tempat ibadah dan pemuka agama untuk membicarakan politik.

Trump Izinkan Rumah Ibadah Jadi Tempat BerpolitikCarlos Barria/Reuters

Ditandatanganinya Perintah Eksekutif Presiden itu berarti bahwa organisasi keagamaan dan tempat ibadah tetap bebas pajak meski para pemuka agamanya secara leluasa membicarakan politik di dalam setiap aktivitas yang dilakukan.

Tak hanya itu, baik pastor, pendeta, maupun imam diperbolehkan secara terang-terangan untuk menyatakan dukungan terhadap kandidat dalam Pemilu dari dalam tempat ibadah. Meski sebenarnya selama ini tetap ada saja para pemuka agama mengampanyekan suatu kandidat kepada para jemaat, tapi Perintah Eksekutif Presiden itu semakin menguatkan posisi mereka untuk melangkahi Amandemen Johnson.

Kelompok Ateis menuntut Trump karena Perintah Eksekutif Presiden tersebut.

Trump Izinkan Rumah Ibadah Jadi Tempat BerpolitikCarlos Barria/Reuters

Freedom From Religion Foundation (FFRF) atau Yayasan Kebebasan Dari Agama, sebuah organisasi Ateis menuntut Donald Trump sebagai Presiden AS atas Perintah Eksekutif Presiden tersebut. Dalam surat tuntutannya yang dipublikasikan di situs resminya, FFRF menilai keputusan Trump itu hanya menguntungkan kelompok keagamaan, terutama gereja.

FFRF juga melihat Trump tak memiliki otoritas konstitusional untuk secara sepihak memveto peraturan yang telah ditetapkan Kongres mengenai larangan membicarakan politik oleh organisasi keagamaan. FFRF mengutip pernyataan Trump untuk mendukung argumen tersebut.

Trump saat itu berkata,"Saya akan menghapus dan menghancurkan Amandemen Johnson dan mengizinkan perwakilan keagamaan kita untuk berbicara dengan bebas dan tanpa takut akan tindakan balas dendam (dari pemerintah)." FFRF merasa ini adalah bentuk perlakukan diskriminatif karena secara spesifik mengistimewakan kelompok beragama.

Sedangkan di sisi lain, kelompok Ateis dan kelompok lainnya yang tak berkaitan dengan kegiatan keagamaan yang mendapat hak bebas pajak tetap dilarang untuk terlibat dalam pembicaraan politik. Oleh karena itu, FFRF menuntut agar Pemerintah AS memberlakukan aturan yang sama bagi seluruh organisasi yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.

Baca Juga: Anak-anak ini Tuntut Donald Trump ke Pengadilan Federal, Mengapa?

Topik:

Berita Terkini Lainnya