Aneh, Australia Siap Bayar Pengungsi Rohingya Agar Kembali ke Myanmar

Saat ini mereka ditempatkan di pusat detensi "ilegal" di Papua Nugini.

Pemerintah Australia menjanjikan uang kepada para pengungsi Rohingya yang bersedia kembali ke Myanmar. Saat ini mereka tengah ditempatkan di pusat detensi yang dibiayai oleh Australia di Papua Nugini. Tawaran pemerintahan Malcolm Turnbull ini melahirkan perdebatan terkait moral karena Myanmar saat ini justru sedang dituduh melakukan pembersihan etnis terhadap Rohingya.

Jumlah yang ditawarkan adalah Rp 331 juta per orang.

Aneh, Australia Siap Bayar Pengungsi Rohingya Agar Kembali ke MyanmarANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain

Dikutip dari The Guardian, tawaran Australia itu dilatarbelakangi oleh keputusan Kejaksaan Agung Papua Nugini yang menyatakan bahwa pusat detensi yang menampung sekitar 800 orang tersebut ilegal, melanggar hak asasi manusia dan harus ditutup. Berdasarkan kesepakatan, tempat itu harus sudah bersih pada 31 Oktober.

Untuk menutupnya, Australia mencari cara agar para pengungsi bersedia pulang ke Myanmar. Padahal, mereka kabur dari negara itu karena merasa menjadi target persekusi pemerintah. Oleh karena itu, Australia menyiapkan iming-iming berupa uang sebanyak Rp 331 juta untuk setiap pengungsi agar segera meninggalkan Papua Nugini.

Baca juga: Kehilangan Kaki, Begini Kondisi Pengungsi Rohingya yang Terkena Ranjau

Para pengungsi terjebak dalam situasi yang pelik.

Aneh, Australia Siap Bayar Pengungsi Rohingya Agar Kembali ke MyanmarANTARA FOTO/REUTERS/Danish Siddiqui

Pengungsi Rohingya tidak berakhir begitu saja di Papua Nugini karena pilihan. Mereka sebelumnya menempuh perjalanan laut berbahaya dari Myanmar dengan membayar jasa penyelundup manusia. Tujuan mereka adalah Australia sebab negara itu dinilai maju dan bisa menyediakan keamanan bagi mereka.

Namun, pemerintah Australia mengetatkan kebijakan penerimaan pengungsi dengan menegaskan bahwa siapapun yang datang melalui laut - Australia menyebut mereka manusia perahu - akan ditempatkan di pusat detensi di Papua Nugini dan Pulau Manus yang kondisinya menyedihkan.

Sebagai negara yang cukup bergantung kepada Australia, pemerintah Papua Nugini tidak bisa menolak untuk menerima para pengungsi tersebut selama segala kebutuhan finansial untuk menjalankan pusat detensi itu dibebankan kepada Canberra.

Alhasil, para pengungsi terjebak di sebuah situasi di mana mereka khawatir akan nasib mereka jika kembali ke Myanmar, tapi yakin juga proses seleksi untuk mendapatkan status pengungsi tidak akan berjalan mudah.

Sejumlah pengungsi mengaku tak punya pilihan lain.

Aneh, Australia Siap Bayar Pengungsi Rohingya Agar Kembali ke MyanmarANTARA FOTO/REUTERS/Amr Alfiky

Mendengar rencana Australia untuk membayar mereka agar bersedia kembali ke Myanmar, beberapa pengungsi mengaku mempertimbangkannya. Salah satunya adalah Yahya Tabani yang tiba di Pulau Manus pada 2013 berkata ia tak punya pilihan lain.

"Aku tak mau tinggal di Papua Nugini. Aku tak mau mati di sini. Aku memilih mati di Myanmar. Mungkin orang Buddha akan membunuhku secepatnya setelah aku sampai di Myanmar. Australia tak peduli apakah kami hidup atau mati," ujarnya.

Kondisi di Myanmar tak lebih baik.

Aneh, Australia Siap Bayar Pengungsi Rohingya Agar Kembali ke MyanmarANTARA FOTO/REUTERS/Danish Siddiqui

Setelah kekerasan yang terjadi sejak pertengahan Agustus lalu ada 410.000 pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh.

Beberapa pemimpin negara menyatakan kekhawatiran dan mendesak agar Aung San Suu Kyi, sebagai peraih Nobel Perdamaian dan pemimpin de facto Myanmar, untuk mencari solusi terkait tragedi itu. Pemerintah Indonesia juga sudah mengirimkan bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Rohingya di Bangladesh. 

Pada Selasa (19/9) Suu Kyi memberikan pidato untuk pertama kalinya terkait kondisi di negaranya yang tengah menjadi perhatian internasional. Dalam pidato yang disiarkan langsung secara nasional dan internasional itu Suu Kyi justru bertanya mengapa muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.

Ia juga menyampaikan bahwa negaranya tak takut pada perhatian internasional terkait krisis Rohingya. Pernyataan ini terbilang kontradiktif dengan sikap pemerintah selama ini yang menolak tim investigasi PBB untuk masuk ke Myanmar dan menyelidiki dugaan pelanggaran HAM terhadap warga etnis Rohingya.

Baca juga: Krisis Rohingya Meningkat, Myanmar Malah Blokir Semua Bantuan

Topik:

Berita Terkini Lainnya