[WAWANCARA EKSKLUSIF] Mengenal Usman Hamid, Aktivis 98 yang Merindu Pelukan Ibu

Usman Hamid gagal menjadi kiai dan memilih jadi anak band

Jakarta, IDN Times - Nama Usman Hamid tidak lagi asing bagi pegiat Hak Asasi Manusia (HAM). Dikenal sebagai Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, rupanya pria kelahiran 6 Mei 1976 ini menjadi salah satu aktor yang turut bertanggung jawab atas runtuhnya rezim Orde Baru.

Perjuangan Usman membela HAM di Tanah Air bermula saat ia menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Trisakti 1998-1999. Pada akhir masa studinya, putra kelahiran Jakarta ini aktif bersama Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), untuk mengusut tuntas atas insiden penembakan mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998.  

Menjelang 20 tahun reformasi, pria yang menuntaskan studi masternya di The Australian National University ini masih konsisten memperjuangkan HAM di Indonesia. Bagaimana kisah perjuangan Usman dalam menegakkan HAM? Berikut wawancara eksklusif bersama IDN Times, baru-baru ini.

1. Kenapa dulu kuliah di Trisakti?

[WAWANCARA EKSKLUSIF] Mengenal Usman Hamid, Aktivis 98 yang Merindu Pelukan IbuIDN Times/Vanny El Rahman

Ini berawal dari keinginan ayah dan ibu saya yang berbeda. Ayah saya ingin saya masuk pesantren dan menjadi kiai, sedangkan ibu saya ingin saya di sekolah terbuka. Singkat cerita, bapak saya meninggal ketika saya kelas dua SMP. Karena saya suka nge-band, bermusik menjadi pelarian untuk menghilangkan rasa sedih, hingga saya punya studio band.  

Kemudian ibu saya pergi haji dan saya tidak urus pendaftaran perguruan tinggi. Karena saya kepikiran almarhum bapak, sehingga ingin masuk pesantren. Tapi ibu bilang, dulu bapak pengen kamu kuliah di Universitas Trisakti, karena dekat rumah. Karena saya telat daftar, akhirnya tinggal dua jurusan yang buka, ekonomi dan hukum.

Nah, akhirnya saya milih hukum karena kampusnya dekat rumah. Awalnya, sih maunya pindah ke teknik atau fisika nanti semester tiga, tapi karena betah di hukum, ya akhirnya di sini saja lah, kok gampang ya belajar hukum.

2. Kenapa ingin menjadi aktivis pada saat itu?

[WAWANCARA EKSKLUSIF] Mengenal Usman Hamid, Aktivis 98 yang Merindu Pelukan IbuIDN Times/Vanny El Rahman

Kebetulan saat itu ada keadaan ekonomi menyulitkan jemaah pengajian ibu saya. Dari urusan minyak sampai beras. Terus muncul banyak diskusi yang bersifat informal. Mulai mempertnyakan kenapa ini terjadi dan apa yang bisa dilakukan untuk masyarakat.

Ibu dan bapak saya memang latar belakangnya politik pada saat itu. Akhirnya ibu dan teman-teman fakultas hukum rajin melakukan kegiatan sosial. Mungkin dari keresahan itu dan saya sering diajak teman-teman, akhirnya terjun di dunia aktivis, ya.

Baca juga: Berjuang untuk Anaknya dan Melawan Kanker, Ibunda Korban Trisakti 98 Tutup Usia

3. Seperti apa sih atmosfer 1998?

[WAWANCARA EKSKLUSIF] Mengenal Usman Hamid, Aktivis 98 yang Merindu Pelukan IbuIDN Times/Vanny El Rahman

Suasana pada saat itu ada keresahan, kok masyarakat kesulitan, kok pemerintah tidak terlihat, isu KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) mulai dibicarakan. Kita ya marah, ya takut, kondisinya mencekam, tapi juga gak terima dengan keadaan, ingin melawan.

Perasaan campur aduk lah pada saat itu, pengetahuan kita terbatas pada keadaan karena media tidak sebebas sekarang. Kurang lebih ada semacam ketidaktahuan atau takut sedikit-dikit atau berani sedikit-dikit, ya bercampur aduk lah.

4. Orangtua Anda mendukung kegiatan sebagai aktivis saat itu?

[WAWANCARA EKSKLUSIF] Mengenal Usman Hamid, Aktivis 98 yang Merindu Pelukan IbuAntara Foto

Kalau dikatakan mendukung, ya orangtua saya sebenarnya tidak, ya. Karena banyak anak yang hilang dan masih belum kembali, tapi ini malah anaknya ikut-ikutan. Ibu saya punya trauma dengan kehilangan abang saya, meski bukan karena diculik, ya. Tapi dia jadi tidak begitu ingin kehilangan saya.

Kemudian saya mengilustrasikan, apa yang ibu saya rasakan adalah apa yang dirasakan oleh ibu-ibu yang kehilangan anaknya. Sehingga semakin ibu saya melarang, semakin saya memikirkan ibu-ibu lainnya.

Hingga belakangan, ibu saya berubah total. Saat itu, saya pulang malam hari dari KontraS dan ibu saya menangis. Saya sempat mandi, salat, ngaji, terus ibu saya masih nungguin saya mengaji.

Di situlah ibu saya menyampaikan kekhawatiran akan kehilangan saya. Hingga ibu saya menyadari apa yang saya perjuangkan dan justru ibu saya lah yang mendukung kegiatan saya.

Apalagi, pas keadaan saya tidak berani pulang dari kampus. Sekalinya pulang saya sempatkan untuk tidur bersama ibu saya dan memeluknya semalaman. Paginya seolah timbul keberanian lagi, seperti jagoan turun gunung... haha.

5. Bagaimana perjuangan Anda saat reformasi?

[WAWANCARA EKSKLUSIF] Mengenal Usman Hamid, Aktivis 98 yang Merindu Pelukan Ibuacehtraffic.com

Saya mungkin generasi yang datang agak belakangan. Saya katakan demikian karena dulu ada dua model perlawanan, ada yang menunjukkan diri sebagai oposisi terbuka kepada pihak Soeharto, kelomok ini yang akhir-akhir berafiliasi dengan parpol oposisi. Ada juga yang seperti saya, yaitu gerakan moral yang lebih semacam kekuatan sosial yang meluruskan apa yang menyimpang dari Soeharto.

Harus saya akui bahwa pendekatan saya dulu lebih soft. Mobilisasi yang kami lakukan bukan ekstra parlemen yang memunculkan organisasi tandinga di luar kampus. Kami lebih menjembatani pembacaan kritis dari kelompok aktivis yang sedikit ke dalam mahasiswa yang lebih luas, yang memang tidak terlalu mengikuti perkembangan politik.

Untuk mengajak mereka kan gak mungkin langsung ajak, yuk jatuhin Soeharto. Kalau gitu kan belum tentu mereka mau terlibat, belum tentu juga kelompok kecil ini bertahan. Hingga detik-detik reformasi, ya akhirnya semua kelompok bergabung.

Dari ajakan teman-teman saya mengikuti mimbar bebas, akhirnya saya ikut aksi reformasi. Pada saat itu, 8 Mei 1998, hari Jumat, ada sekitar 3.000 mahasiswa Trisakti mau ke DPR, tapi gagal karena kampus diblokade oleh militer.

Kemudian, 13 Mei kami coba lagi, ini mungkin menjadi aksi terbesar di Jakarta, sekitar 5.000 mahasiswa mengikuti mimbar bebas. Namun, kami gagal juga ke DPR, sampai akhirnya terjadilah insiden penembakan kepada mahasiswa Trisakti.

6. Soeharto sudah turun, Orde Baru sudah runtuh. Mengapa Anda masih ingin memperjuangkan HAM?

[WAWANCARA EKSKLUSIF] Mengenal Usman Hamid, Aktivis 98 yang Merindu Pelukan IbuAntara Foto

Lebih ke alasan personal kali, ya. Karena pertemuan yang saya rasakan dengan keluarga-keluarga mahasiswa korban yang tewas. Salah satunya adalah ibu Karsiah, ibu dari Hendrian Sie. Dia anak satu-satunya yang sudah dibesarkan dan ibunya berharap agar anaknya bisa mengubah kehidupan keluarga, ternyata dia tewas. Nah, jadi kayak kepekaan saja.

Ada semacam rasa yang hidup dalam diri saya, sehingga saya mengikuti terus pertemuan-pertemuan dengan mereka. Saya baru-baru ini bertemu dengan keluarga korban, lalu saya merenung lagi. Pekerjaan kita belum selesai, perjalanan kita sudah panjang, tapi belum ada hasil yang kita inginkan.

Justru utopia itu jadi panduan untuk diri saya bahwa pekerjaan kita belum selesai. Jadi apa yang dulu kita impikan dari masa muda seolah dikesampingkan. Ini sudah menjadi bagian dari hidup.

Baca juga: Dua Dekade Tragedi Semanggi, Ibu Ini Masih Mencari Keadilan untuk Anaknya

7. Reformasi telah memasuki tahun ke-20, bagaimana Anda melihat negara merealisasikan agenda reformasi?

[WAWANCARA EKSKLUSIF] Mengenal Usman Hamid, Aktivis 98 yang Merindu Pelukan Ibutrisakti.ac.id

Ada banyak pemerintahan berganti, ada juga banyak yang dicapai. Konstitusi kita sudah yang membatasi kekuasaan presiden. Bahkan, kalau denger dari Presiden SBY, kok kekuasaan presiden sangat terbatas, sehingga dia gak bisa berbuat banyak.

Tentu setiap pemerintah ada agenda reformasi yang tidak terlaksana. Tapi yang terlaksana lainnya juga ada, seperti amandemen konstitusi, dan pendirian Mahkamah Konstitusi (MK). Memang ada beberapa pengamat yang mengatakan Indonesia mengalami kemunduran demokrasi.

Namun harus dicatat, fenomena ini juga terjadi di seluruh dunia. Kemunduran demokrasi juga terjadi di tengah kondisi Indonesia yang baru berusia muda, meski telah menjadi satu capaian sendiri, karena Indonesia 20 tahun tanpa kudeta.

8. Bagaimana Anda melihat perjuangan mahasiswa sekarang ini?

[WAWANCARA EKSKLUSIF] Mengenal Usman Hamid, Aktivis 98 yang Merindu Pelukan Ibunetz.id

Kalau peranan dalam artian menjadi kontrol sosial, menggunakan daya mobilisasi mereka, memang belum kelihatan, ya. Tapi muncul tipe aktivisme baru yang menggunakan internet. Muncul lah, sekarang gerakan relawan yang memang banyak memasuki wilayah politik, tapi terbatas dalam dua hal. Yaitu politik elektoral, dalam arti berafiliasi dengan kontestan pemilu, seperti relawan Jokowi atau Prabowo.

Yang kedua lebih bergerak ke luar sistem. Misal, Indonesia berkebun. Bagus saja sih, tapi ada kecenderungan dari pada menunggu negara memulihkan taman-taman kota, lebih baik kita saja yang bikin inisiatif. Daripada menanti perbaikan birokarasi dan sistem keguruan, lebih bak kita bikin sendiri.

Itu ada semacam kecenderungan keluar sistem. Kalau era dulu kan mendobrak sistem agar mereka berubah, karena bagaimana pun semuanya akan kembali ke sistem, yang mana itu tanggung jawab negara.

9. Bagaimana Anda melihat proyeksi HAM Indonesia ke depan?

[WAWANCARA EKSKLUSIF] Mengenal Usman Hamid, Aktivis 98 yang Merindu Pelukan Ibuimparsial.org

Semakin berat, saya membayangkan pasca 20 tahun reformasi bagaimana agenda HAM diletakkan. Kalau dulu kan karena era ketertutupan, HAM menjadi semacam utopia bahwa ada bayangan hidup yang ideal yang dibayangkan, pendapat bisa disampaikan tanpa ada ketakutan.

Sekarang, ketika sudah mengalami masa itu, apalagi? Ya mungkin pertangungjawaban negara atas kejahatan masa lalu atau mencegah kejadian zaman lalu tidak terulang lagi. Yang pasti, politik HAM sangat berat. Apalagi penelitian terbaru, memperlihatkan terjadi kemunduran HAM di belahan dunia lainnya. Dalam kondisi yang demikian, HAM akan menghadapi keadaan yang berat.

Baca juga: Pelanggaran HAM di Balik Laris Manis JAV

Topik:

Berita Terkini Lainnya