Tiga Pandangan Putri Gus Dur Soal Serangan di Gereja St. Lidwina

Pemda Yogyakarta dianggap tidak tuntas mengatasi aksi intoleran. Kok bisa?

Jakarta, IDN Times - Peristiwa teror yang terjadi di Gereja St. Lidwina Sleman, Yogyakarta, menambah panjang daftar aksi intoleran di kota gudeg tersebut. Betapa tidak, ini bukan kali pertama peristiwa serupa terjadi. 

Pada Januari 2012 lalu, beberapa ormas menggelar aksi menuntut agar pengajian tahunan jemaah Ahmadiyah dibubarkan. Belakangan, usai melalui proses investigasi, Kementerian Agama menyatakan Ahmadiyah di Yogyakarta bukan termasuk yang dilarang berdasarkan SKB Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung. Dalam SKB, yang dilarang adalah Ahmadiyah Lahore, sedangkan yang disasar ormas ketika itu adalah Ahmadiyah Qadian. 

Kemudian, ada pula ormas yang menuntut agar Gereja Baptis Indonesia Saman di Sewon, Bantul pada tahun 2015 lalu. Alasannya, gereja tersebut belum memiliki izin mendirikan bangunan. Padahal pengurusan IMB itu tersendat karena masih menunggu persetujuan dari warga sekitar. 

Lalu, apa yang menyebabkan Yogyakarta menjadi kota yang semakin intoleran? Padahal, dulu Yogyakarta kerap dijuluki sebagai miniatur Indonesia. Berikut analisa Alissa Wahid yang dihubungi IDN Times: 

1. Kasus intoleransi di Yogyakarta meningkat

Tiga Pandangan Putri Gus Dur Soal Serangan di Gereja St. LidwinaInstagram/@gatra_news

Menurut Alissa, sudah sejak lama kondisi kota gudeg itu tak lagi adem ayem. Dalam beberapa tahun kasus intoleransi di kota itu pun meningkat. Hal itu tercermin dari peringkat kota Yogyakarta yang pernah bertengger di posisi kedua sebagai kota paling intoleran. Data itu merujuk kepada survei yang pernah dilakukan Wahid Foundation pada 2014. 

"Ada organisasi masyarakat sipil yang melihat kecenderungan itu. Tetapi, kita juga mewaspadai pengaruh dinamika politik. Yogyakarta itu kan seperti mininya Indonesia, jadi bisa dibayangkan kalau kota itu terkoyak," ujar Alissa yang dihubungi pada Minggu (11/02) malam. 

Alissa tidak menutup mata bahwa ada pula kelompok radikal yang intoleran. Bahkan, mereka tidak segan menggunakan kekerasan. Namun, menurutnya hal itu tidak terlalu berpengaruh banyak. 

"Akar permasalahannya adalah tidak pernah ada tindakan terhadap kasus-kasus seperti ini, sebab selalu dipandang sebagai konflik sosial. Tidak ada yang menghukum dan menegur, justru ini yang membahayakan," ujar perempuan yang juga menjadi Ketua Jaringan Gus Durian itu. 

Baca juga: Sri Sultan Minta Maaf ke Pastor Gereja St. Lidwina karena Terlambat Mengamankan

2. Tidak cepat menyimpulkan 

Tiga Pandangan Putri Gus Dur Soal Serangan di Gereja St. LidwinaAntara Foto/Andreas Fitri Atmoko

Alissa memang tidak menampik bahwa pelaku serangan teror yang datang dari luar Yogyakarta bisa saja bermakna ada yang coba membawa masuk paham radikal. Tetapi, untuk lebih meyakinkan, hal tersebut harus dibuktikan lebih lanjut dengan menggunakan riset. 

Ia menjelaskan bagi warga Yogyakarta, sikap saling membantu dan menjaga kerukunan menjadi nilai yang sangat penting. Dalam konteks kasus tindak kekerasan yang terjadi di Gereja St. Lidwina, Alissa menilai itu tidak menggambarkan situasi Yogyakarta secara keseluruhan. 

"Tindak kekerasan yang terjadi di gereja pada hari Minggu kan pelakunya sebagian kecil saja kelompoknya, kalaupun itu kelompok. Apakah polisi sudah menentukan itu kelompok lone wolf, saya serahkan ke mereka. Yang pasti ini harus dicari otaknya," kata dia.

3. Pemda Yogyakarta tidak ambil kebijakan yang tuntas

Tiga Pandangan Putri Gus Dur Soal Serangan di Gereja St. LidwinaAntara Foto/Hendra Nurdiyansyah

Penyebab lainnya yang memicu tindak intoleransi di kota Yogyakarta semakin tinggi yakni karena pemda setempat menganggap peristiwa seperti itu sebagai insiden. Padahal, tidak semuanya begitu. 

"Justru harus diwaspadai kalau ada perubahan norma pada masyarakat. Misalnya kalau sudah mulai muncul sikap memusuhi kelompok yang berbeda, seperti yang terjadi di Bantul," tutur Alissa. 

Ia juga mengkritik kebijakan yang diambil Pemda Yogyakarta tidak pernah tuntas untuk merespons peristiwa intoleransi yang terjadi di sana. Maka tidak heran kalau peristiwa itu malah meningkat dari tahun ke tahun. 

"Selama ini kan diresponsnya ya begitu-begitu saja dari pemerintah. Makanya harus ada perubahan sikap dari pemerintah," katanya. 

Yang dimaksud perubahan sikap yang dimaksud Alissa yakni diambil tindakan tegas melalui proses hukum. Selain itu, harus direspons juga seandainya ada perubahan di masyarakat. 

"Pemda Yogyakarta harus merespons dengan tepat. Misalnya dengan memperkuat kalangan atau kelompok yang membawa nilai-nilai kebangsaan. Jangan cuma berhenti di slogan, tapi harus dijadikan gerakan," kata dia. 

Baca juga: Penyerangan Gereja di Yogya, Ini Pesan Komnas HAM untuk Polisi

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya