Hari Ini KPK Bacakan Dakwaan bagi Tersangka Kasus BLBI

Total kerugian negara dari kasus BLBI mencapai Rp 3,7 triliun

Jakarta, IDN Times - Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) akhirnya benar-benar bergulir di meja hijau. Hari ini, Senin (14/5), Pengadilan Tipikor menjadwalkan sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan bagi tersangka mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT). 

Syafruddin dituding bertanggung jawab menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Menurut juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah, pihaknya sudah menyiapkan segala sesuatunya secara maksimal. 

"Dakwaan sudah kami sampaikan ke pengadilan. Nanti, akan kami rinci terdakwa perannya apa. Peran tersebut dilakukan bersama-sama dengan siapa saja," ujar Febri ketika ditemui di gedung KPK pada Jumat (11/5). 

Lalu, bagaimana kasus ini akan bergulir di meja hijau nanti? Mengingat total kerugian negara yang disebabkan dari kasus ini mencapai Rp 3,7 triliun. Angka yang lebih besar dari kerugian kasus pengadaan proyek KTP Elektronik. 

Belum lagi diduga kalau dirinci lebih lanjut, kasus ini diduga turut menyeret para petinggi negara yang pada periode itu berkuasa. 

1. KPK siapkan 49 halaman surat dakwaan 

Hari Ini KPK Bacakan Dakwaan bagi Tersangka Kasus BLBIANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan jaksa telah menyiapkan sebanyak 49 halaman surat dakwaan yang akan menguraikan dugaan-dugaan perbuatan yang telah dilakukan oleh Syafruddin pada periode 1997-1998 lalu. 

"Nah, kami akan rinci terdakwa ini perannya apa saja, lalu peran tersebut diduga dilakukan bersama-sama siapa saja. Jadi, ada pihak lain, ada pejabat atau pihak swasta lain yang tentu akan kami uraikan perannya bersama-sama dengan terdakwa pada saat sidang perdana," tutur Febri memberikan penjelasan pada akhir pekan lalu. 

Surat dakwaan itu disusun usai mendengarkan keterangan dari 72 saksi. Namun, sayangnya lembaga anti rasuah belum berhasil meminta keterangan dari Sjamsul Nur Salim, sang pemilik BDNI. 

Saat ini, ia diduga bersembunyi di Singapura dan belum terlihat memiliki itikad untuk kembali ke Indonesia. 

Baca juga: Lebih Besar dari Korupsi e-KTP, Ini 7 Fakta Tentang Kasus BLBI

2. KPK ingatkan kepada para saksi yang sudah dimintai keterangan agar berkomitmen hadir di persidangan 

Hari Ini KPK Bacakan Dakwaan bagi Tersangka Kasus BLBIIDN Times/Linda Juliawanti

Febri mengingatkan agar para saksi yang sebelumnya sudah dimintai keterangan oleh penyidik agar memegang komitmennya untuk hadir di persidangan. 

"Sebagai warga negara yang baik tentu para saksi harus hadir dan memberikan keterangan secara benar di persidangan. Nanti bisa terungkap di persidangan siapa-siapa saja yang harus bertanggung jawab terkait kasus BLBI," kata mantan pegiat anti korupsi itu. 

3. Kuasa hukum nilai KPK keliru menetapkan status tersangka bagi Syafruddin Arsyad Tumenggung

Hari Ini KPK Bacakan Dakwaan bagi Tersangka Kasus BLBIANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Kuasa hukum Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, sejak awal KPK sudah keliru menetapkan status tersangka bagi kliennya. Menurut Yusril, Syafruddin hanya menjalankan putusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). 

Ia menjelaskan dalam kasus ini ada dua unsur permasalahan yang berbeda. Pertama, terkait BLBI yang diterima oleh BDNI pada periode krisis ekonomi yang lalu. Kedua, utang petani plasma dengan BDNI. 

Sjamsul Nursalim, dalam pandangan Yusril, sudah memenuhi semua kewajibannya sebagai pihak yang menerima bantuan keuangan dari Bank Indonesia. 

"Jadi, kalau Pak Sjamsul Nursalim itu sebagai pemangku kepentingan di BDNI sudah melakukan segala kewajibannya untuk melunasi berbagai hal di tahun 1999 ya berarti kan sudah lunas," kata Yusril di gedung KPK pada (18/4) lalu. 

Menurut Yusril, alih-alih meminta pertanggung jawaban kliennya, seharusnya lembaga anti rasuah ikut memeriksa Menteri Keuangan pada tahun 2004 lalu. Sebab, hak tagih BPPN terhadap para petani plasma itu, sudah diserahkan Syafruddin kepada Menkeu pada periode tersebut. Kalau merujuk ke data, maka Menkeu ketika itu dijabat oleh Boediono. 

Ia menjelaskan, permasalahan muncul ketika Menkeu pada periode 2007 yakni Sri Mulyani diklaim menjual hak tagih senilai Rp 4,8 triliun hanya dengan harga Rp 220 miliar. 

"Di situ sebenarnya terjadi kerugian negara. Antara Rp 4,8 triliun kok menjadi Rp 220 miliar," tutur dia. 

Ia pun mempertanyakan mengapa malah kliennya yang diminta bertanggung jawab. Sebab, tugasnya sebagai Kepala BPPN sudah berakhir, ketika institusi itu dibubarkan oleh pemerintah. 

Baca juga: KPK Resmi Melimpahkan Berkas Kasus BLBI ke Pengadilan Tipikor

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya