Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat Baca

Minimnya fasilitas di perpustakaan umum bikin masyarakat makin ogah berkunjung. Padahal, hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang suka baca.

Surabaya, IDN Times - "Ciyeee... Anak perpustakaan banget, sih?"

"Rajin amat ya mainnya di perpustakaan?"

"Anak cupu kerjanya ya ke perpustakaan."

Kamu tentu sering mendengar kalimat-kalimat semacam itu ketika di sekolah atau kampus. Kesannya ada dua jenis manusia di dunia: orang rajin dan orang gaul. Mereka yang rajin, kemudian tidak gaul, menghabiskan banyak waktu di perpustakaan. Bagi yang gaul, mereka memilih pergi ke kafe atau mall.

"Soalnya perpustakaan itu ngebosenin dan mayoritas isinya orang-orang serius yang ngerjain tugas," kata seorang mahasiswi bernama Pinta yang aku temui di sebuah gerai kopi terkenal di Surabaya. "Pokoknya gak asyik."

Lalu, aku ingat sebuah studi tentang tingkat literasi oleh Connecticut State University, Amerika Serikat. Riset tersebut menunjukkan bahwa literasi Indonesia pada 2016 lalu menempati peringkat 60 dari 61 negara—berada di atas Botswana.

Bahkan, menurut survei UNESCO pada 2015, minat baca penduduk Indonesia adalah 0,001 persen. Dengan kata lain, di setiap 1.000 penduduk, hanya satu yang senang membaca. Menyeramkan. Aku pun bertanya-tanya apakah ini salah satunya dipengaruhi oleh rasa malas pergi ke perpustakaan? Apa penjelasannya?

1. Para millennial pengguna Instagram mengaku jarang bahkan tidak pernah lagi ke perpustakaan

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaIDN Times/Rosa Folia

Dari celetukan itu, aku pun iseng membuat jajak pendapat di Instagram Stories. Dari 120 orang yang merespons, 77 persen mengaku sudah jarang bahkan tidak pernah ke perpustakaan. Sedangkan 23 persen menjawab masih sering.

Mayoritas tidak lagi datang ke perpustakaan karena semua ada di internet (81 persen) dan sisanya bisa membeli buku sendiri (19 persen). Bagi yang sering ke perpustakaan, sebagian besar mengaku suka suasananya yang tenang (58 persen), kemudian mereka juga membutuhkan buku (42 persen).

Lalu, aku bertanya lagi tentang apa yang membuat perpustakaan tidak menarik. Sebanyak 87 persen menjawab desainnya monoton dan ketinggalan zaman. 13 persen menilai koneksi internet yang tersedia tidak memenuhi standar yang dibutuhkan.

Menariknya, meski mayoritas tak lagi ke perpustakaan, 95 persen dari mereka mengaku masih menaruh harapan kepada institusi tersebut. Hanya lima persen yang menjawab sudah merasa pesimis dengan keberadaan perpustakaan.

Baca juga: Deputi Kemendikbud Agus Sartono: Indonesia Alami Literasi Dasar yang Minim

2. Pemustaka merasakan perpustakaan kaku, monoton, tak punya koleksi buku yang lengkap, serta koneksi internet yang tak memadai

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaKondisi di salah satu sudut Perpustakaan Umum Rungkut Surabaya. Tampak beberapa buku dibiarkan tertumpuk tak teratur. (IDN Times/Rosa Folia)

Instagram Stories tentu tak bisa menjadi satu-satunya tolok ukur popularitas perpustakaan di kalangan anak muda. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mendatangi tiga perpustakaan umum di Surabaya. Dua adalah perpustakaan umum milik Pemerintah Kota Surabaya, satu lagi di bawah Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Di perpustakaan umum Rungkut yang diurus oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Surabaya, aku menemukan kondisi yang memang tidak ramah. Bukan hanya tempat parkir yang sangat terbatas, tapi juga desain bangunan, fasilitas serta penataan buku yang tidak menarik sama sekali.

Saat aku datang, hanya enam pengunjung yang berada di ruangan yang tak terlalu besar itu. Aku terkejut saat melihat buku-buku yang tak diletakkan di lemari dibiarkan begitu saja menumpuk tidak beraturan baik di lantai maupun di meja.

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaTumpukan buku di Perpustakaan Umum Rungkut Surabaya. Selain buku yang tak tertumpuk rapi, bau usang buku juga makin membuat pengunjung enggan datang. (IDN Times/Rosa Folia)

Aku mendatangi tiga orang pelajar sekolah menengah pertama yang duduk di salah satu sudut. Ketiganya adalah Najwa, Safina dan Cindy. Mereka memilih sisi ruangan itu karena pendingin udara. Saat aku bertanya apa sering ke perpustakaan itu, mereka serentak menjawab tidak.

"Aku gak suka ke perpustakaan karena ngebosenin, terus WIFI gak kencang. AC yang paling dingin cuma satu. Kadang-kadang tempat dekat AC sudah dipakai, kita terpaksa pakai tempat yang panas," kata Najwa yang mengaku berada di perpustakaan karena menunggu dijemput setelah sekolah.

"Kalau aku kurang suka soalnya koleksi bukunya yang gak update. Lalu, ruangannya bau buku usang," celetuk Cindy. Sementara Safina berkata ia beberapa kali datang ke perpustakaan untuk menggambar, meski tak dipungkiri ia juga ingin meminjam novel-novel remaja yang sedang populer.

"Sebenarnya saya suka baca buku, apalagi kalau novel-novel remaja seperti Dilan dan Milea. Tapi kalau suasanya sudah gini, sudah gak minat, maunya cuma duduk-duduk. Seharusnya koleksi bukunya di-upgrade. Buku yang lama disumbangkan atau apa, diganti yang baru," usulnya.

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaTiga pelajar tampak sedang berkunjung ke Perpus Rungkut Surabaya. Mereka mengeluhkan fasilitas perpustakaan yang kurang memadai. (IDN Times/Rosa Folia)

Apa yang mereka keluhkan ada benarnya. Ruangan perpustakaan memang pengap. Tidak ada display untuk memamerkan buku-buku baru. Aku pun meminta bertemu dengan pengelola yang bertanggung jawab untuk wawancara. Namun, aku ditolak karena tidak mengantongi izin dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol).

Perpustakaan milik Provinsi Jawa Timur bernasib lebih baik. Meski letaknya tidak terlalu strategis, tapi pemustakanya jauh lebih banyak. Ruangan dan fasilitas juga lebih memadai. Saat aku berkeliling untuk melakukan observasi, aku melihat seorang pemuda fokus menjelajahi salah satu rak buku.

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaMeski tak terlalu ideal, fasilitas di Perpustakaan Pemprov Jatim lebih baik. (IDN Times/Rosa Folia)

Namanya Chabib. Mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Fithrah itu pergi ke perpustakaan tersebut sebanyak dua sampai tiga kali sebulan. Salah satu alasannya adalah karena kampusnya belum memiliki perpustakaan sendiri.

"Ke sini untuk mengerjakan makalah atau mencari buku referensi karena disuruh dosen membaca," ucapnya. Menurut Chabib, meminjam buku tentu lebih murah daripada membeli. Sayangnya, tak semua buku yang ia cari bisa ditemukan di perpustakaan.

Ia juga mengaku lebih suka mengerjakan tugas atau membaca di kafe. "Perpustakaan itu tempatnya tidak ada taman agar orang bisa baca buku dengan rileks, dengan nyaman. Lalu, koneksi WIFI tak maksimal. Kalau di perpustakaan monoton, tertekan dengan buku-buku, jadi lebih suka di kafe."

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaSeorang mahasiswa tampak mengunjungi Perpustakaan milik Pemprov Jawa Timur. Perpustakaan belum menjadi idola bagi mahasiswa untuk mencari referensi, lagi-lagi karena minimnya fasilitas. (IDN Times/Rosa Folia)

Sementara itu, perpustakaan umum di Balai Pemuda barangkali adalah yang terbaik. Pengunjung bisa duduk di sofa atau di lantai yang dilapisi karpet. Lokasinya lebih strategis, pencahayaannya juga lebih diperhatikan serta ada ruang audio visual yang cukup jadi favorit pengunjung.

Namun, sekali lagi, masalah koneksi internet dan koleksi buku baru masih juga dialami oleh para pemustaka. "Ini perpustakaan yang dekat dengan kampus. Niatnya cari bacaan baru dan internet tanpa harus bayar, eh malah bikin emosi," kata Tari, mahasiswi Universitas Airlangga, yang tak bersedia diambil fotonya.

3. Pengelola perpustakaan terkesan mendiamkan keluhan dari pengunjung

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaKotak saran di salah satu perpustakaan di Surabaya. (IDN Times/Rosa Folia)

Dengan status sebagai fasilitas publik, awalnya aku menduga keluhan bisa dengan mudah disampaikan kepada pengurus untuk dicarikan solusi. Ternyata praktiknya tak seperti itu. Kotak saran yang diletakkan di salah satu sudut nampaknya hanya jadi hiasan. Entah sudah kadung kecewa atau enggan mengeluh, pengunjung mengaku memilih untuk mencari solusi sendiri.

Anas Hidayat misalnya, dosen Ilmu Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika itu mengaku sering menemui adanya beberapa fasilitas perpustakaan yang tak sesuai harapan. Alih-alih mengisi kotak penilaian yang disediakan, dia memilih mencari solusi sendiri. Misalnya saat WIFI tidak bisa dipakai, ia lebih memilih menggunakan paket data dari telepon genggam pribadinya.

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaMeski fungsinya sangat vital, namun kotak saran di perpustakaan seringkali hanya berfungsi sebagai properti penghias meja. (IDN Times/Rosa Folia)

Wajar jika Anas tak menggubris adanya kotak saran. Pasalnya, para pengurus perpustakaan saja seolah tak menganggap penting adanya kotak tersebut. Hal itu terlihat saat aku coba menanyakan jadwal pemeriksaan kotak penilaian kepada petugas di perpustakaan umum Provinsi Jawa Timur. Dua pustakawan berkata tidak tahu, satu pustakawan menjawab "kalau ingat ya dicek".

Adapun kepala seksi pelayanan bernama Nuris Agusti mengaku lain."Mestinya setahun sekali dicek [kotak itu]. Setahun sekali waktu yang cukup," kata Nuris yang aku temui di ruangannya. Ia juga berkata survei kepuasan pengunjung terakhir kali dilakukan pada 2016 dengan menggandeng Universitas Airlangga.

Sebaliknya, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Surabaya, Wiwiek Widayati mengatakan bahwa kotak saran di perpustakaan sangat dibutuhkan untuk pengembangan ke depan. "Apa saja yang disarankan pengunjung, kami follow up. Kotak itu sangat efektif."

Menariknya, saat aku tanya berapa waktu sekali kotak tersebut diperiksa, ia mengaku tidak tahu. "Nanti kami cek, seharusnya ada SOP untuk itu," ujarnya.

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaKotak saran seharusnya menjadi wujud komunikasi dua arah antara pengurus dan pengunjung perpustakaan. (IDN Times/Rosa Folia)

Kotak penilaian itu menjadi sesuatu yang menarik untukku karena sebelumnya aku membaca tulisan Wien Muldian, seorang aktivis literasi, di situs Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII).

"Tanpa peran aktif masyarakat pengguna perpustakaan yang merasakan manfaat koleksi dan fasilitas perpustakaan, sebuah perpustakaan hanya menjadikan dirinya gudang dengan sekian banyak buku di antara rak berdebu yang tidak pernah disentuh," tulis Wien.

Tidak adanya komunikasi dua arah antara pihak yang melayani (pustakawan) dan yang dilayani (pemustaka) tentu menyulitkan perpustakaan untuk bisa memahami apa yang sebenarnya mereka perlu perbaiki dan tingkatkan.

4. Saat anak-anak dan ibu-ibu di perkampungan ingin membaca, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) rupanya tak mampu merespons dengan baik

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaKondisi salah satu Taman Bacaan Masyarakat di daerah Dukuh Pakis Surabaya. Sebagai alternatif selain perpustakaan umum, kondisi TBM juga tak lebih baik. (IDN Times/Rosa Folia)

Jika situasi di perpustakaan umum masih tidak ideal, kondisi Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di Surabaya lebih membuatku mengelus dada. Padahal, kata Wiwiek, keberadaan TBM berfungsi untuk menumbuhkan minat baca di kalangan masyarakat.

Salah satu TBM yang aku tengok terletak di Kecamatan Dukuh Pakis. Saat aku datang, hanya ada seorang pengurus bernama Sari dan satu anak yang tinggal di sekitarnya. Perempuan berjilbab itu sudah sembilan tahun merawat TBM tersebut.

Lagi-lagi aku mendengar tentang koleksi buku yang tidak mendapat perhatian pemerintah. "Pernah ngasih terakhir pada 2013. Setelah itu belum dapat buku lagi dari dinas," ungkap Sari. Minimnya koleksi buku membuatnya dia sering mendapatkan keluhan dari pengunjung.

"Anak-anak suka tanya,'Mbak gak ada buku lain, buku baru?'. Soalnya sudah lama tidak ada yang baru, jadi bosan. Ibu-ibu juga nanya apa gak ada novel baru," tambahnya. Sari yang tak pernah belajar soal ilmu perpustakaan secara formal itu diwajibkan berinovasi sendiri oleh petugas dinas.

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaMinimnya dukungan pemerintah terhadap TBM tak jarang membuat para pengurus merogoh kantong pribadi untuk pengadaan fasilitas. (IDN Times/Rosa Folia)

Tak hanya mengirim proposal ke Ketua RW atau bertukar buku dengan TBM lain, ia dan rekan-rekannya di satu kecamatan menyisihkan Rp 20 ribu dari gaji yang diterima setiap bulan demi menyelenggarakan kegiatan. Satu yang baru selesai adalah lomba puisi dan pelatihan membuat rujak pada Sabtu (24/2).

Yang tak kalah mengejutkan, Sari mengaku pernah beberapa kali membeli buku sendiri. "Tapi lama-lama aku pikir kok gimana gitu ya...," ucapnya seraya tertawa kecil. Ia mengingat pernah mendapat sumbangan buku, tapi mayoritas adalah buku agama. Dia juga mengaku kondisi TBM lain di kecamatannya tidak jauh berbeda.

Aku menanyakan ini kepada sang kepala dinas. "Untuk koleksi buku kita gunakan sistem mutasi. Ada penambahan koleksi 2017 tapi belum kita distribusikan karena sedang proses entry di SIPUS," kata Wiwiek. SIPUS (Sistem Informasi Perpustakaan) sendiri adalah situs yang bisa dimanfaatkan oleh pemustaka yang ingin mengakses katalog buku.

Wiwiek juga menginformasikan bahwa tugas Pemerintah Kota Surabaya hanya menggaji pengurus TBM dan menyiapkan fasilitas. Untuk program, pengurus dan RW harus bekerja sama. "Kadang petugas berinisiatif agar ramai dengan kasih hadiah seperti gimmick untuk menarik minat pengunjung."

5. Komitmen pemerintah terhadap literasi masyarakat dipertanyakan

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaPerpustakaan Umum Kota Surabaya yang terletak di Jalan Gubernur Suryo No.15 Surabaya. (IDN Times/Rosa Folia)

Di tengah jalan aku kembali merenungkan hasil studi tentang peringkat literasi yang didapat oleh Indonesia. Persoalannya bukan lagi soal jumlah perpustakaan. Sebab menurut data Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, ada lebih dari 25.700 perpustakaan di seantero negeri. 1.161 di antaranya adalah perpustakaan umum yang berada di bawah tanggung jawab pemerintah.

Jumlah tersebut menempatkan Indonesia di peringkat 36, di atas Malaysia yang berada di posisi 44. Lalu, mengapa negara kita justru kalah dari segi kemampuan literasi yang tak hanya soal kapasitas membaca teks?

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaSeorang dosen tampak menggunakan fasilitas di salah satu perpustakaan umum di Surabaya. Dia mengeluhkan minimnya fasilitas di tempat tersebut, salah satunya colokan listrik. (IDN Times/Rosa Folia)

Kepala Perpustakaan Nasional, Muhammad Syarif Bando, menyadari kelemahan mayoritas perpustakaan umum di Indonesia yang kemudian berdampak pada literasi warga. Menurutnya, terbatasnya koleksi buku mematikan hasrat publik untuk menyukai perpustakaan.

"Mungkin opini tentang rendahnya budaya baca boleh jadi adalah hasil penelitian, tapi substansi pemecahan masalahnya itu gak ada yang mau dibaca. Bagaimana mau membaca kalau tidak ada yang tersedia?" ujar Syarif. Ini persis seperti yang dikeluhkan Cindy, Najwa dan Safina.

Ia menyinggung tentang produksi buku di Indonesia dan kebutuhan riil masyarakat. Syarif mengutip data IKAPI di mana pada 2017 ada sekitar 40.000 buku terbit. "Sebagian besar adalah buku-buku paket pelajaran. Tentu itu tidak ada kaitannya dengan bahan bacaan masyarakat umum. Ibu-ibu kan tidak baca [buku] Matematika, Fisika atau Kimia."

Meski tak menampik fakta bahwa perpustakaan adalah institusi dengan anggaran terendah, tapi ia membantah itu adalah bentuk rendahnya komitmen pemerintah terhadap literasi. Menurutnya, keberadaan Undang-undang No. 43 Tahun 2007 sudah memperlihatkan pemerintah menyadari budaya baca di Indonesia rendah.

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaKotak saran di salah satu perpustakaan umum di Kota Surabaya tampak tak terisi. (IDN Times/Rosa Folia)

Sebaliknya, Direktur Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia (YPPI), Trini Haryanti, mengatakan bahwa perpustakaan masih "dipengaruhi mindset pimpinan". "Perpustakaan masih dianggap sebagai tempat buangan bagi birokrat bermasalah."

Ini menjadikan perpustakaan umum sulit mengikuti perkembangan yang ada. Menurut dia, tinggi dan rendahnya kemampuan literasi dipengaruhi kebijakan yang mendukung terbentuknya minat baca, termasuk ketersediaan bahan bacaan dan seberapa dekatnya dengan masyarakat.

"Sepanjang perpustakaannya belum dibenahi, layanan belum prima, fasilitas tidak mengikuti perkembangan zaman, belum otomasi, tidak memiliki koleksi digital, ya tidak menarik," ujarnya. Meskipun begitu, dia menilai bahwa penanggung jawab sama sekali tak melakukan inovasi. Hanya masih banyak yang perlu ditingkatkan.

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaPengunjung di salah satu perpustakaan nampak sedang menggunakan katalog digital. Beberapa perpustakaan memang sudah menyediakan berbagai fasilitas digital untuk mempermudah pengunjung. (IDN Times/Rosa Folia)

Salah satu perpustakaan yang saat ini bisa menjadi tolak ukur adalah Perpustakaan Nasional yang memiliki layanan Indonesia OneSearch dan OPAC yang memungkinkan publik mengakses jutaan buku secara digital. Tampilan situsnya pun bersih dan user-friendly. Ini timpang dengan situs milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur maupun Pemerintah Kota Surabaya.

Meski tak menemukan novel Dilan atau Milea di situs-situs tersebut, tapi usaha penanggung jawab perpustakaan untuk mengadopsi teknologi harus terus didorong. Salah satu cara agar mereka bisa melakukannya adalah aktif meminta dan menerima saran dari pengguna perpustakaan itu sendiri.

6. Jangan jadikan perpustakaan sebagai institusi yang tak ramah kepada masyarakat

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaBeberapa anak nampak sedang berkunjung ke perpustakaan. (IDN Times/Rosa Folia)

Setelah berkunjung ke beberapa lokasi dan bertanya kepada sejumlah orang, aku punya cukup pencerahan tentang mengapa banyak anak muda tak menganggap pergi ke perpustakaan adalah aktivitas yang gaul atau Instagrammable (wajib didokumentasikan melalui Instagram).

Momen "Aha!" itu semakin nyata saat aku berada di perpustakaan anak milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Di sana desain interior cukup diperhatikan. Saat melihat anak-anak itu antusias membolak-balik halaman buku, aku bertanya pada diriku sendiri.

Mengapa perpustakaan untuk anak dibuat berwarna-warni dengan tambah dekorasi, sedangkan yang digunakan oleh orang dewasa sangat membosankan? Lalu, mereka diizinkan untuk datang dengan pakaian seadanya, bahkan mengobrol dengan asyik sambil memegang buku yang dipilih.

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaTampak anak-anak sedang membaca di perpustakaan milik Pemprov Jawa Timur. Kesan menakutkan dan serius seharusnya memang diterapkan oleh semua perpustakaan. (IDN Times/Rosa Folia)

Bisa jadi ini yang membuat perpustakaan dianggap sebagai tempat orang cupu dan sangat kaku. Setidaknya ini yang dirasakan Widi Wynson ketika ditolak masuk oleh sekuriti di Perpustakaan Nasional karena ia memakai sandal. Menurut sekuriti, itu tidak sopan.

Widi sendiri mengaku beradu argumen dengan kepala keamanan yang tampak marah. "Dia ngomong,'Gak boleh masuk, mas, ini kan gak sopan pakai sandal jepit. Apalagi kan sudah standar di lembaga pemerintahan,'" kata Widi menirukan si petugas.

Ia mengaku jengkel karena pihak keamanan tak bisa menunjukkan aturan yang menyebutkan pengunjung harus berpakaian tertentu. Syarif sendiri belum merespons saat aku menanyakan masalah ini.

Rahma Sugihartati, dosen ilmu perpustakaan Universitas Airlangga, melihat masalah dasarnya ada pada paradigma yang dimiliki mayoritas pengelola tentang konstruksi umum dari perpustakaan. 

"Perpustakaan di Indonesia ini perlu melakukan de-sakralisasi diri. Konstruksi perpustakaan di benak masyarakat, terutama anak-anak muda, siswa remaja, itu sebagai tempat yang memiliki aturan-aturan yang kaku. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Tidak boleh makan, harus berpakaian yang sopan."

Persoalan koleksi buku yang tak lengkap juga ia sebut menjadi alasan mengapa banyak millennial enggan menghabiskan waktu di perpustakaan umum. Ia mencontohkan kurangnya perhatian terhadap bahan bacaan ringan seperti novel dan komik untuk remaja.

Padahal, kata Rahma, reading for pleasure atau membaca untuk kesenangan itu penting diperhatikan. Tujuannya adalah agar membaca tidak selalu diasosiasikan dengan aktivitas serius, penuh beban dan membosankan. "Minat baca adalah pintu masuk kemampuan literasi yang baik," tegas Rahma.

7. Perpustakaan dituntut menjadi tempat menyenangkan yang berperan menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaSuasana di perpustakaan milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur. (IDN Times/Rosa Folia)

Kurangnya strategi yang menarik jadi isu tersendiri. Ia mencontohkan perpustakaan umum di Singapura seperti National Library. "Di sana pustakawan mau menggunakan strategi yang dekat dengan budaya populer. Mereka mengamati kegemaran remaja pada bacaan yang tidak bisa dilepaskan dari film."

Dan aku kembali teringat pada tidak adanya novel Dilan dan Milea seperti yang dikeluhkan Cindy, Najwa dan Safina. "Di sana juga perpustakaan tidak didesain tradisional seperti di Indonesia. Contohnya, di sebelah perpustakaan ada kafe. Disediakan sofa, boleh tidur-tiduran. Jadi tempatnya menyenangkan," tambahnya.

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaPerpustkaan ramah anak, konsep yang harus dimiliki semua ruang baca di Indonesia. (IDN Times/Rosa Folia)

Rupanya itu kata kuncinya. Perpustakaan harus menjadi tempat yang menyenangkan, bukan angker dan penuh tekanan. Sebab membaca sewajarnya juga tidak jadi sesuatu yang membosankan karena yang tersedia adalah buku-buku usang dengan tema-tema berat.

Ketersediaan dan tampilan perpustakaan digital yang menjangkau publik juga perlu diperhatikan sehingga tidak lagi berprinsip "asal ada". Jika membaca sudah dianggap sebagai kegiatan yang ringan dan mudah, maka harapannya level literasi di masyarakat juga akan meningkat.

Perpustakaan Umum, Balada di Tengah Rendahnya Minat BacaIDN Times/Sukma Shakti

Baca juga: ipusnas, Evolusi Perpustakaan di Era Digital 

Topik:

Berita Terkini Lainnya