Tanggapan Guru Besar Fakultas Kedokteran UI terkait Kasus Dokter Terawan

Uji disertasi saja tak cukup

Jakarta, IDN Times - Metode Digital Substraction Angiography (DSA) atau cuci otak yang diterapkan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Seobroto (RSPAD) Mayjen TNI Terawan Agus Putranto atau lebih dikenal dokter Terawan, masih menjadi perdebatan. 

1. Metode DSA harus diuji klinik

Tanggapan Guru Besar Fakultas Kedokteran UI terkait Kasus Dokter Terawanantaranews.com

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Akmal Taher mengatakan, keberhasilan sebuah penelitian adalah adanya bukti yang bisa diterapkan disertai standar pelayanan. Jika sudah ada standar pelayanan, terbukti bermanfaat dengan minim efek samping, langkah selanjutnya adalah dibuktikan melalui uji klinik. Paling mudah adalah melalui perbandingan dengan metode yang sudah lama.

"Misalnya produk lama keberhasilannya 70 persen, yang baru berapa persen? Harus ada penelitian khusus mengenai hal itu. Tidak bisa asal ngomong berhasil sekian persen. Harus dalam satu set penelitian. Ada juga faktor lain yang dilihat, misalnya kalau yang 70 persen berhasil itu harga 50 perak, tapi yang baru juga 70 persen tapi mahal, maka lebih baik pakai yang lama," kata Akmal di Jakarta, Kamis (12/4) lalu.

Baca juga: IDI Tunda Sanksi Dokter Terawan, Apa Sebabnya?

2. Metode baru harus menaati skema

Tanggapan Guru Besar Fakultas Kedokteran UI terkait Kasus Dokter Terawankoranjakarta.com

Menurut Akmal, penemuan metode baru juga harus melewati skema. Misalnya dalam hal obat, harus diuji dulu ke binatang. Jika terbukti bagus, baru dicoba ke orang dalam jumlah kecil, kemudian berlanjut ke orang dalam jumlah besar. Pengujian harus dilakukan sukarela dan yang bersangkutan tahu jika dirinya menjadi bahan penelitian.

"Misalnya obat suntik dan minum, orang lebih memilih minum. Kemudian harga, pasti lebih murah. Efek sampingnya juga pasti yang rendah. Semuanya harus dihitung. Tapi yang terpenting adalah semua harus tahu apakah itu manfaat atau tidak," kata dia.

3. Peneliti bisa mencari sponsor pendukung penelitian

Tanggapan Guru Besar Fakultas Kedokteran UI terkait Kasus Dokter Terawanantaranews.com

Uji klinik memang membutuhkan waktu lama dan dana besar. Jika peneliti merasa berat, kata Akmal, maka peneliti bisa mencari sponsor.

"Kalau obatnya bagus, yang punya hak itu sponsornya. Kalau soal metode pengobatan dokter Terawan, ini harus diteliti dulu, antara cara dokter Terawan dengan cara yang sudah ada," kata Akmal.

Perihal disertasi dokter Terawan yang mengangkat metode DSA, menurut Akmal, disertasi hanya sebatas kegiatan akademik untuk menjelaskan fenomena ilmu pengetahuan. Menurut dia, setiap penelitian memiliki standar operasional dan prosedur. Ada peraturan cara buat uji klinik dan berapa banyak yang harus dipakai.

"Ada peraturan menteri dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) yang mengatur cara menguji alat kesehatan yang baik. Sertifikat apa yang harus dimiliki untuk uji klinik," kata Akmal.

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) sempat melayangkan surat keputusan sanksi etik kepada Mayjen TNI Terawan Agus Putranto atau lebih dikenal dokter Terawan, Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Seobroto (RSPAD) yang memiliki terapi metode Digital Substraction Angiography (DSA) atau cuci otak.

Sanksi tersebut berupa pemecatan sementara selama 12 bulan dari keanggotaan IDI dan pencabutan rekomendasi izin praktik. Namun, PB IDI kemudian memutuskan menunda sanksi etik tersebut hingga mengetahui hasil uji klinik oleh tim Health Technology Assesement (HTA) Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Baca juga: IDI: Uji Kelayakan Metode Cuci Otak Dokter Terawan Masuk Ranah Kemenkes

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya