Penyerangan YLBHI dan Media Sosial yang Naik Kelas

Media sosial adalah pisau bermata dua

Publik baru saja dihebohkan dengan pengepungan terhadap Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di kantor LBH Jakarta, pada Minggu (17/9). Massa yang mengepung menuding bahwa lembaga tersebut sedang menyelenggarakan sebuah acara yang berbau komunisme. Padahal, acara yang bertajuk #AsikAsikAksi tersebut berisi kegiatan seni seperti pembacaan puisi tentang "demokrasi yang terepresi". Sehari sebelumnya, diskusi terkait tragedi 1965 juga dibatalkan kepolisian.

Pengepungan itu sendiri berakhir ricuh. Massa yang sudah terlanjur terpancing emosi mencoba masuk, melempari dengan batu dan melakukan provokasi. Polisi pun tak tinggal diam. Mereka mencoba membubarkan kerumunan massa dengan water canon.

Penyerangan YLBHI dan Media Sosial yang Naik KelasANTARA FOTO/Muhammad AdimajaTudingan adanya acara berbau komunis itu dibantah oleh Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhamad Isnur. Lewat akun Facebook, Isnur menuliskan bahwa YLBHI  sudah menegaskan kepada aparat keamanan bahwa acara itu tak berkaitan sama sekali dengan Partai Komunis Indonesia atau Komunisme.

"Hoax atau berita-berita bohong telah disiarkan, propaganda tuduhan yang mengada-ada telah diviralkan, instruksi-instruksi untuk menyerang LBH dilakukan secara sistematis dan meluas bahwa ini acara PKI, menyanyikan lagu genjer-genjer dll, padahal sama sekali tidak ada, kami khawatir ini ditunggangi oleh pihak-pihak yang menghendaki chaos dan rusuh," tulis Isnur dalam penjelasannnya.

Isnur menambahkan bahwa sejak Jumat (15/9), kabar yang menyatakan bahwa kegiatan di YLBHI berbau komunisme sudah cukup viral di media sosial. Dia pun menyayangkan tentang mudahnya massa mempercayai kabar palsu tersebut. 

Kegusaran Isnur sedikit banyak sudah terjawab oleh sebuah riset yang dilakukan oleh lembaga think-tank Amerika Serikat, Pew Research Center. Pada 2015 lalu, mereka memublikasikan sebuah hasil survei tentang penggunaan media sosial. Riset tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak warga Amerika Serikat yang menjadikan media sosial seperti Facebook dan Twitter sebagai sumber informasi. 

Media sosial "naik kelas".

Penyerangan YLBHI dan Media Sosial yang Naik Kelashercampus.com

Riset tersebut juga menyebutkan, jika sebelumnya kedua media sosial hanya digunakan untuk mengetahui kabar teman-teman dan saudara, sekarang ada kecenderungan masyarakat jauh lebih tertarik berbagi dan mencari tahu informasi terkait isu politik dan sosial. Tren itu terus berlanjut hingga pemilu presiden Amerika Serikat pada 2016 lalu.

Bukan hanya di Negeri Paman Sam, pergeseran peran media sosial dalam kehidupan sehari-hari juga terjadi di Indonesia. Contohnya, saat pemilihan presiden 2014 dan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017 lalu. Setiap pihak punya akses untuk membagikan pendapat mereka melalui media sosial. Sayangnya, tak hanya pendapat, berita palsu alias hoax pun menjadi komoditas para pengguna media sosial. Bahkan, adanya fenomena penyebaran hoax secara terstruktur juga dibuktikan dengan tertangkapnya kelompok berjuluk Saracen

Baca juga: Minat Baca Rendah Bikin Hoax Kian Menjamur

Ada orang-orang yang giat mencari informasi, ada juga yang sebaliknya.

Penyerangan YLBHI dan Media Sosial yang Naik KelasANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Skeptisisme terhadap pernyataan pemerintah atau media juga menjalar di Indonesia, seperti isu bangkitnya komunisme itu. Di satu sisi, ini adalah hal yang baik jika masyarakat terus berusaha mencari informasi yang rasional. Di sisi lain, rumor, gosip dan hoax menyebar sehingga terkesan kebenaran itu tergantung pada keyakinan masing-masing.

Pew Research Center merilis hasil survei terkait bagaimana orang-orang Amerika mendapatkan fakta dan informasi pada 11 September. Survei itu menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara derajat kepercayaan terhadap sumber informasi dengan keinginan mereka untuk terus belajar.

Contohnya, ketika orang mempercayai sumber informasi dan punya semangat untuk belajar, atau saat mereka tak percaya pada sumber itu tapi tak punya keinginan untuk belajar. Ada saatnya juga ketika mereka kurang percaya pada sumber berita, tapi masih berniat untuk terus mencari tahu.

Riset ini menemukan adanya 5 kelompok berdasarkan cara mereka mendapatkan informasi.

Penyerangan YLBHI dan Media Sosial yang Naik KelasWilliam Iven via Unsplash

Dalam survei itu, Pew Research mendapatkan lima kelompok saat menerima mendapatkan informasi. Mereka antara lain:

1. The Eager and Willing (22 persen). Kelompok ini merupakan orang-orang yang giat mencari informasi dan mau terus belajar, tapi khawatir akan kemampuan mereka dalam menjelajahi internet masuk ke dalam kategori

2. The Confident (16 persen). Mereka adalah kelompok yang memiliki dua karakter pertama, tapi merasa yakin bisa mendapat informasi secara mandiri. 

3. The Cautious and Curious (13 persen). Mereka sangat tertarik terhadap berita dan informasi, punya akses teknologi, tapi tak punya kepercayaan kepada sumber informasi seperti media massa dan pemerintah.

4. The Doubtful (24 persen). Mereka mencurigai sumber informasi seperti media massa dan tak punya ketertarikan untuk meningkatkan kemampuan mencari informasi, terlebih secara online.

5. The Wary (25 persen). Mereka memiliki kepercayaan terendah terhadap sumber informasi dan hampir tak punya akses terhadap teknologi.

Namun, menariknya, tak semua yang punya akses terhadap internet tertarik untuk mencari informasi yang bisa dipercaya. Ini terjadi pada kelompok The Doubtful, yang mengejutkannya, cukup berpendidikan dan memiliki status ekonomi di atas rata-rata. Jadwal yang sibuk dan keengganan untuk meningkatkan kemampuan digital memperparah ketertarikan mereka dalam memperbaharui informasi.

Hoax bisa ditangkal dengan terus meningkatkan kemampuan digital.

Penyerangan YLBHI dan Media Sosial yang Naik Kelasfreestocks via Unsplash

Dengan mengetahui perilaku manusia secara umum terhadap fakta dan informasi, kita bisa mencari cara untuk meminimalisir penyebaran berita bohong. Walau internet berperan besar dalam pertumbuhan informasi, tapi pemblokiran situs atau penghentian diskusi bukan hanya melanggar kebebasan berekspresi, namun bisa berdampak pada meningkatnya skeptisisme.

Setiap pihak bisa berdebat terkait cara yang paling efektif untuk mengurangi hoax. Misalnya, perusahaan media sosial wajib memperbaiki diri dengan membenahi algoritma atau merekrut editor khusus. Apapun itu, yang jelas pengguna juga harus bertanggungjawab untuk meningkatkan kemampuan digital dan mencari informasi dengan kritis serta obyektif.

Baca juga: Demi Profit, Facebook Terima Iklan Untuk "Pembenci Yahudi"

Topik:

Berita Terkini Lainnya