Duterte Tutup Paksa Situs Rappler

"Ini adalah saat kami akan berkata, kami berjuang untuk kebebasan pers."

Manila, IDN Times - Pemerintah Filipina, melalui Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC), mencabut izin operasi situs media Rappler pada 15 Januari 2017. Mereka beragumen bahwa Rappler telah menyalahi aturan terkait kepemilikan media yang berbasis di Filipina.

1. SEC menyebut Rappler dimiliki pihak asing sehingga tak sesuai aturan

Duterte Tutup Paksa Situs RapplerAFP/Ted Aljibe

Menurut surat pernyataan SEC yang beredar luas, situs Rappler harus ditutup karena melanggar aturan kepemilikan dan kontrol dari entitas media massa. Pasalnya, Rappler didanai oleh Omidyar Network yang dibentuk bos eBay, Pierre Omidyar. Ia juga berada di balik pendirian situs media The Intercept.

Melalui Omidyar Network, miliarder tersebut bisa melakukan investasi di Rappler melalui skema yang dikenal bernama Philippine Depositary Receipts (PDR). SEC, yang berada di bawah kekuasaan Presiden Rodrigo Duterte, menyatakan skema tersebut ilegal.

"Kehadiran mereka hanya bertujuan untuk menggunakan skema tipuan untuk melangkahi konstitusi," tulis SEC melalui pernyataan mereka bertanggal 11 Januari dan diunggah ke situs resmi pada 15 Januari. Ini adalah pertama kalinya SEC menutup paksa sebuah situs media di Filipina.

Baca juga: Kebebasan Pers Terancam, Indonesia Berada di Peringkat 124

2. Rappler menyatakan bahwa PDR adalah skema yang wajar terjadi di berbagai media

Duterte Tutup Paksa Situs RapplerAFP/Ted Aljibe

Pihak Rappler sendiri merasa tidak ada yang keliru dengan skema PDR. Dalam situs mereka, PDR disebut sebagai "instrumen finansial yang tak memberikan pemilik suatu hak voting dalam jajaran direksi atau hak memutuskan sesuatu untuk urusan operasi atau manajemen harian dari perusahaan".

"Sejumlah perusahaan media besar memiliki PDR," tulis Rappler. Lebih lanjut, media yang berdiri pada 2012 itu menilai bahwa perintah penutupan oleh SEC tersebut memiliki arti besar untuk kepentingan publik. Rappler menyampaikannya melalui sebuah rilis kepada para pembaca.

Duterte Tutup Paksa Situs RapplerAFP/Ted Aljibe

Ini artinya, tulis Rappler, SEC "memerintahkan kami untuk menutup toko, berhenti bercerita, berhenti mengatakan kebenaran kepada penguasa, dan untuk merelakan segalanya yang sudah kami bangun—dan kami ciptakan—bersama kalian sejak 2012".

"Setiap tahun sejak kami berdiri pada 2012, kami telah memenuhi semua regulasi SEC dan menyerahkan semua persyaratan bahkan ketika itu berisiko kebocoran data korporasi ke tangan-tangan tak bertanggung jawab yang memiliki agenda tertentu. Transparansi, kami percaya, adalah bukti dari niat dan sikap baik," tambah Rappler.

3. CEO Rappler mencurigai ada motif politik di balik keputusan SEC

Duterte Tutup Paksa Situs RapplerAFP/Ted Aljibe

Maria Ressa, CEO Rappler, memberikan pernyataan resmi dalam sebuah konferensi pers. Ia memprotes langkah itu sebagai sesuatu yang "sangat dilatarbelakangi kepentingan politik". Mantan wartawan CNN itu juga mengaku tidak ada proses hukum yang berjalan serta pihaknya tidak diberi kesempatan untuk merespons temuan SEC terkait kepemilikan tersebut.

Meski begitu, Ressa berkata,"Apa yang kami akan lakukan adalah bersiap untuk berperang. Kami berdiri tegak, kami berdiri dengan yakin. Ini adalah saat kami akan berkata, kami berjuang untuk kebebasan pers."

Direktur Amnesty International untuk kawasan Asia Tenggara, James Gomez, berkata bahwa Rappler selama ini adalah media yang berani. "Ini adalah keputusan yang murni dimotivasi oleh politik dan hanya upaya terakhir untuk menarget siapapun yang berani mengkritik pemerintah," kata Gomez, seperti dikutip dari The Sydney Morning Herald.

4. Duterte sempat berjanji akan membongkar kepemilikan Rappler

Duterte Tutup Paksa Situs RapplerAFP/Noel Celis

Seperti dilaporkan The Guardian, pada pidato kenegaraan yang disampaikan di depan Kongres Filipina tahun lalu, Duterte menarget Rappler yang ia sebut "dimiliki Amerika Serikat". Menanggapi keputusan SEC, juru bicara Duterte, Harry Roque, menilai apa yang tengah terjadi adalah sesuatu yang wajar.

"Persoalannya adalah kepatuhan terhadap peraturan bahwa 100 persen kepemilikan dan manajemen media massa adalah oleh orang Filipina. Ini bukan tentang pelanggaran kebebasan pers. Tak ada yang di atas hukum. Rappler harus patuh," kata Roque.

5. Aliansi jurnalis Filipina geram dengan keputusan SEC

Duterte Tutup Paksa Situs RapplerAFP/Ted Aljibe

Usai kabar penutupan Rappler menyebar pada Senin, Aliansi Nasional Jurnalis Filipina (NUJP) menyatakan geram terhadap pemerintah. Mereka menggalang dukungan untuk Rappler dan ingin ada perlawanan terhadap segala upaya untuk membungkam jurnalis.

Asosiasi Koresponden Asing Filipina juga mengutarakan hal serupa. "Para jurnalis harus mampu bekerja secara independen dalam lingkungan yang bebas dari intimidasi dan ancaman. Sebuah serangan terhadap jurnalis adalah serangan terhadap demokrasi," kata organisasi tersebut.

Baca juga: Media Independen Tutup, Demokrasi Kamboja di Ujung Tanduk

Topik:

Berita Terkini Lainnya