Memahami Intifada, Gerakan Perlawanan Palestina Terhadap Israel

Muncul seruan untuk menggelar Intifada ketiga

Yerusalem, IDN Times - Langkah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Rabu (6/12) mendapat protes dari berbagai kalangan.

Misalnya, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyebut keputusan itu sebagai "langkah mundur Amerika Serikat dari proses perdamaian". Dia juga menilai bahwa Trump "memposisikan diri sebagai aktor konflik dan bukan mediator". Dikutip dari CNN, ia bahkan menolak bertemu Wakil Presiden Mike Pence selama kunjungannya ke Timur Tengah.

Selain Abbas, pemimpin Hamas, Ismail Haniya juga mengecam keputusan Trump itu. Dilansir dari Al Jazeera, ia menyebutnya sebagai sebuah "deklarasi perang melawan warga Palestina". Tak sampai di situ saja, Haniya mengajak Palestina untuk melakukan Intifada jilid tiga. Intifada sendiri merupakan gerakan perlawanan secara terus-menerus oleh warga Palestina terhadap Israel.

Intifada pertama terjadi pada akhir 1980-an.

Memahami Intifada, Gerakan Perlawanan Palestina Terhadap IsraelANTARA FOTO/REUTERS/Mohammed Salem

Warga Palestina  pertama kali melakukannya pada akhir 1980-an, tepatnya pada 1987. Saat itu, perlawanan mereka diyakini muncul secara spontan dan berkelanjutan.

Salah satu pemicunya adalah seorang warga Israel yang menabrak mobil yang membawa empat pekerja Palestina di kamp pengungsi Jabalya di Jalur Gaza. Keempatnya tewas dan warga Palestina pun bereaksi keras dengan melakukan demonstrasi.

Tak hanya itu, ratusan warga juga melakukan tindak kekerasan hingga boikot massal dan penolakan bekerja di Israel. Warga memanfaatkan bom Molotov dan persenjataan lain untuk menyerang pihak Israel. Ketika terjadi eskalasi konflik, militer Israel menurunkan kekuatan penuh untuk menghentikan mereka.

Hubungan Israel dan Palestina sebelumnya juga sudah memburuk. Pasalnya, politisi sayap kanan dan kiri berhasil bersatu membentuk pemerintahan Israel. Mereka juga terus melakukan perampasan lahan di mana Israel kemudian semakin mengontrol segala aspek kehidupan warga Palestina.

Baca juga: Memahami "Two-State Solution", Solusi Israel-Palestina yang Dilanggar Trump

Yasser Arafat mengakui Israel berhak menjadi negara dan Intifada pertama berakhir.

Memahami Intifada, Gerakan Perlawanan Palestina Terhadap IsraelANTARA FOTO/REUTERS/Ammar Awad

Intifada pertama itu berlangsung selama enam tahun. Organisasi hak asasi manusia Israel, B'Tselem, mengestimasi ada 1.070 warga Palestina yang tewas di tangan militer Israel selama kurun waktu tersebut.

B'Tselem juga menyatakan bukan hanya militer yang membabi-buta, warga Yahudi pun turut menghabisi nyawa 54 orang Palestina. Lalu, ada ribuan rumah orang Palestina yang dihancurkan Israel sebagai bagian dari strategi collective punishment atau hukuman secara menyeluruh.

Intifada pertama berakhir di waktu yang hampir bersamaan dengan Perang Teluk pada 1991. Irak, salah satu pendukung Palestina, mulai sibuk menghadapi Amerika Serikat dalam perang tersebut. Yasser Arafat yang saat itu menjadi pemimpin pergerakan politik Palestina merasa mereka telah kalah.

Ia pun bersedia terlibat dalam proses perjanjian damai di Madrid dan Oslo. Pada 1993, Arafat akhirnya mengakui hak Israel untuk mendirikan negara. Tensi antara Israel dan Palestina kemudian perlahan-lahan mulai menurun.

Pada awal 2000-an, Intifada muncul kembali untuk kedua kalinya.

Memahami Intifada, Gerakan Perlawanan Palestina Terhadap IsraelANTARA FOTO/REUTERS/Mohamad Torokman

Proses negosiasi damai yang berakar dari perjanjian Oslo mulai runtuh pada awal 2000. Pemicunya adalah kunjungan politikus Israel, Ariel Sharon ke Masjid Al Aqsa. Kunjungan itu menuai berbagai protes karena Al Aqsa dipandang oleh Muslim sebagai salah satu situs tersuci di dunia. Mereka menilai langkah laki-laki yang kemudian jadi perdana menteri Israel itu provokatif.

Padahal, di saat yang sama sebenarnya Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Ehud Barak tengah mengupayakan perdamaian di Camp David. Tak sedikit yang meyakini sebenarnya rasa saling tak percaya antara kedua pihak tinggi sehingga insiden sekecil apapun sangat berpotensi menciptakan konflik besar.

Intifada kedua terbilang jauh lebih berdarah dari yang pertama. Saat warga Palestina melakukan serangkaian demonstrasi, militer Israel merespons dengan menembaki mereka. Seiring dengan semakin terlibatnya kelompok militan Palestina, Otoritas Palestina menolak untuk bernegosiasi.

Hamas juga mengajak mereka untuk menyerang pos-pos tentara Israel. Sejumlah aksi bom bunuh diri yang dilakukan warga Palestina dijawab dengan kekuatan militer yang lebih besar oleh Israel. Ketika Sharon terpilih menjadi perdana menteri pada 2001, ia menyebut Palestina sebagai teroris dan menuding Arafat bertanggungjawab atas konflik tersebut.

Ketika Intifada kedua berakhir pada 2005, diketahui ada ribuan orang tewas dari kedua belah pihak.

Memahami Intifada, Gerakan Perlawanan Palestina Terhadap IsraelANTARA FOTO/REUTERS/Mohamad Torokman

Intifada kedua berlangsung sejak 2000 hingga 2005. Amerika Serikat dan PBB mengaku mulai frustrasi dengan tidak adanya perkembangan baik dari konflik antara Israel dan Palestina. Pada 2002, Dewan Keamanan PBB meloloskan Resolusi 1397 yang berisi usulan two-state solution

Pada 2003, Israel mengepung markas Arafat dan menghancurkan sebagian besarnya. Arafat juga dikurung selama dua tahun di bawah otoritas Israel. Pada 2005, Mahmoud Abbas terpilih menjadi pengganti Arafat. Dalam pidatonya, Abbas meminta gencatan senjata antara kedua belah pihak.

Hamas yang tak mematuhi Abbas menjadi target Otoritas Palestina yang kemudian dilanjutkan dengan penangkapan sejumlah petingginya. B'Tselem memperkirakan Intifada kedua memakan lebih dari 4.000 jiwa baik warga Israel maupun Palestina.

Intifada ketiga diyakini takkan terjadi.

Memahami Intifada, Gerakan Perlawanan Palestina Terhadap IsraelANTARA FOTO/REUTERS/Saumya Khandelwal

Meski pemimpin Hamas menyerukan Intifada ketiga, tapi rupanya itu belum terjadi juga hingga saat ini. Ian Black dari London School of Economics berkata kepada NBC News bahwa "kata-kata Trump memang penting, tapi hanya sekadar kata-kata".

"Sejauh ini hanya ada pertikaian level rendah. Bukan berarti hal-hal buruk takkan terjadi dan peristiwa tertentu tak bisa di luar kontrol, tapi keinginan untuk Intifada ketiga cukup kecil. Ada kegalauan dan kelelahan. Perlawanan saat ini tak membantu meningkatkan kondisi di Gaza," tambahnya.

Baca juga: Mengenal Yerusalem, Kota Suci yang Diperebutkan Israel dan Palestina

Topik:

Berita Terkini Lainnya