Jaksa New York Buru Perusahaan yang Jual Followers Palsu

Beli bot untuk panjat sosial? Atau sebarkan hoaks?

New York, IDN Times - Sebuah perusahaan bernama Devumi diduga menjalankan bisnis jual-beli jutaan followers Twitter palsu kepada para pengguna. Jaksa Agung dari negara bagian New York, Eric Schneiderman, mengaku tengah menyelidiki dugaan tersebut.

1. Devumi dituding mencuri identitas orang untuk dijadikan akun palsu

Jaksa New York Buru Perusahaan yang Jual Followers Palsuunsplash.com/William Iven

Seperti dilaporkan The New York Times, sangkaan kepada Devumi muncul karena sejumlah pengguna Twitter menduga identitas dan foto mereka diduplikasi. Selanjutnya, itu digunakan untuk membuat akun-akun palsu atau yang juga dikenal dengan "bot".

Akun-akun palsu itu kemudian dijual kepada setiap pengguna yang membutuhkan tambahan followers agar mereka semakin populer di Twitter. Siapa saja bisa membeli followers dari mereka, termasuk para aktor, politisi hingga orang biasa.

Jumlah followers diyakini sebagai salah satu cara untuk mempengaruhi opini warganet untuk beragam isu. Di situs Devumi disebutkan bahwa siapapun bisa memesan hingga 250.000 followers dengan harga mulai dari Rp 160.000. Tak hanya followers, pengguna Twitter juga bisa membeli likes maupun retweets. Selain Twitter, Devumi juga menjual followers YouTube, LinkedIn, serta Pinterest.

Baca Juga: Dianggap Ilegal, Pabrik Pembuat "Like" Palsu Digerebek

2. Beberapa tokoh publik membeli followers dari Devumi

Jaksa New York Buru Perusahaan yang Jual Followers Palsuinstagram.com/twitter

Menurut penyelidikan The New York Times, sejumlah akun yang diduga membeli followers dari Devumi antara lain Hilary Rosen (kontributor CNN), Martha Lane Fox (pengusaha sekaligus anggota parlemen Inggris yang jadi petinggi Twitter) dan Randy Bryce (politisi Partai Demokrat).

Rosen membeli lebih dari 500.000 followers, tapi mengaku bahwa sebagian besar sudah dihapus. Followers Lane Fox meningkat sebanyak 25.000 hanya dalam hitungan hari pada April 2016. Sedangkan Bryce membenarkan ia membeli followers pada 2015.

Ketiganya sama-sama mengaku alasannya bukan untuk panjat sosial. Rosen dan Bryce berkata keduanya membeli followers karena alasan eksperimen. Sedangkan Lane Fox menyebut karyawan Twitter bertanggung jawab atas pesatnya jumlah followers yang dimilikinya.

3. Pembelian followers palsu atau akun bot melemahkan demokrasi

Jaksa New York Buru Perusahaan yang Jual Followers Palsuinstagram.com/twitter

Melalui serangkaian cuitan, Schneiderman mengungkapkan mengapa persoalan jual-beli followers palsu ini sangat penting untuk diinvestigasi. Menurut Schneiderman "impersonasi dan penipuan itu ilegal di bawah hukum New York". Maka, pihaknya tengah melakukan investigasi terhadap Devumi.

Lebih lanjut, Schneiderman melihat bahwa internet yang seharusnya menjadi "salah satu alat hebat untuk demokrasi" justu "diubah menjadi tempat bermain berbayar yang tak transparan". Faktor yang membuat ini terjadi adalah "pesatnya pertumbuhan bot berarti suara dari orang nyata seringkali tenggelam".

"Siapapun yang bisa membeli followers terbanyak bisa membeli jalan mereka untuk mendapatkan pengaruh," tambah Schneiderman. Sementara itu, Twitter menegaskan bahwa jual-beli followers itu melanggar kebijakan kami dan tidak bisa diterima. Twitter mengaku sedang berusaha menghentikan praktik tersebut.

Baca Juga: Inilah Socialblade, Situs yang Bisa Deteksi Fake Followers!

Topik:

Berita Terkini Lainnya