Maju Mundur Penutupan Guantanamo, Salah Satu Penjara Terkejam di Dunia

Trump perintahkan menteri pertahanan Amerika Serikat untuk tetap membuka Guantanamo.

Washington DC, IDN Times - Salah satu poin penting dari pidato State of the Union yang disampaikan Donald Trump di hadapan parelemen Selasa (2/2) lalu adalah tentang kamp detensi Guantanamo.

Ia menginstruksikan Menteri Pertahanan James Mattis untuk mengevaluasi kebijakan detensi militer dan tetap membuka fasilitas detensi di Teluk Guantanamo. Di penjara tersebut ada seorang teroris asal Indonesia bernama Hambali. Pada 2006, ia ditransfer dari penjara di Thailand.

1. Barack Obama sempat memerintahkan penutupan penjara Guantanamo

Maju Mundur Penutupan Guantanamo, Salah Satu Penjara Terkejam di DuniaPA/Shane T McCoy via The Guardian

Kebijakan mengenai Guantanamo yang diambil Trump bertolak belakang dengan saat masa pemerintahan Barack Obama. Pada 2009, dua hari setelah pelantikan, Obama menandatangani perintah eksekutif untuk menutup Guantanamo. Itu adalah salah satu janji kampanyenya yang banyak mendapat dukungan.

Sayangnya, kebijakan itu tak pernah bisa diimplementasikan. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan The New Yorker disebutkan bahwa manuver dan pertentangan politik yang melibatkan Gedung Putih, Kongres, Pentagon serta pemerintah negara lain menyebabkan Guantanamo sulit ditutup.

Baca juga: 5 Hal Ini Menjelaskan Mengapa Banyak WNI Bergabung Dengan Kelompok Teroris

2. Bush, Obama dan Trump punya pandangan sendiri terkait penjara yang berlokasi di Kuba tersebut

Maju Mundur Penutupan Guantanamo, Salah Satu Penjara Terkejam di DuniaDepartemen Pertahanan Amerika Serikat via Amnesty International

Aspirasi Obama untuk menyudahi keberadaan penjara Guantanamo berbeda dengan yang dilakukan presiden sebelumnya, George W. Bush. Bagi Obama, fasilitas detensi itu tidak sejalan dengan peran Amerika Serikat dalam penegakan hak asasi manusia.

"Di ruangan gelap yang dihuni Abu Ghraib dan sel-sel detensi di Guantanamo, kita telah membahayakan nilai-nilai berharga yang kita yakini," kata Obama. Abu Ghraib sendiri adalah penjara di Irak yang digunakan militer Amerika Serikat untuk menyiksa tahanan selama invasi.

Bush—orang yang menghuni Gedung Putih saat Perang Irak—menyetujui bahwa Guantanamo tetap harus dibuka. Kebijakan Bush itu sesuai dengan kebijakan "war on terror" atau "perang melawan teror" yang ia dengungkan usai serangan 9/11.

Trump sendiri berjanji untuk membiarkan Guantanamo tetap beroperasi sejak masa kampanye. "Aku akan mengembalikan waterboarding, dan aku akan membawa kembali banyak hal yang lebih buruk dari waterboarding," ujar Trump. "Jangan katakan padaku itu takkan berhasil—penyiksaan pasti berhasil."

3. Guantanamo menguras anggaran pertahanan Amerika Serikat

Maju Mundur Penutupan Guantanamo, Salah Satu Penjara Terkejam di DuniaREUTERS/Larry Downing

Sejumlah pejabat pemerintah Amerika Serikat serta para pengacara yang ikut mendirikan dan menjalankan Guantanamo kecewa dengan keputusan Trump. Dilansir dari The Guardian, mereka mengingatkan bahwa tetap membuka Guantanamo adalah langkah keliru.

Mereka berargumen bahwa Guantanamo sangat mahal jika dibandingkan penjara federal di tanah Amerika Serikat sendiri. Sejak dibuka pada 2002, kata mereka, pemerintah sudah menggelontorkan anggaran sebanyak lebih dari Rp 87 triliun.

Pada Desember 2017, Human Rights First Amerika Serikat menyebut bahwa pemerintah harus mengeluarkan hampir Rp 6 triliun per tahun untuk operasionalisasi Guantanamo. Padahal, "menempatkan tahanan di Amerika Serikat akan menghemat sebanyak lebih dari Rp 1 triliun per tahun".

4. Guantanamo menjadi simbol kekerasan dan ketidakadilan 

Maju Mundur Penutupan Guantanamo, Salah Satu Penjara Terkejam di DuniaAmnesty USA

Selain perkara anggaran, para pendukung penutupan Guantanamo menilai faktor yang jauh lebih penting adalah soal hak asasi manusia. Mark Fallon, penulis buku tentang teknik penyiksaan tahanan oleh CIA, Pentagon dan pemerintah Amerika Serikat, berkata kepada The Guardian bahwa "secara global [Guantanamo] melambangkan ketidakadilan, kekerasan dan penyiksaan".

Mantan menteri pertahanan Amerika Serikat di era Bush, Donald Rumsfeld, mendeskripsikan tahanan di Guantanamo sebagai "terburuk dari yang terburuk". Maka, menurut Rumsfeld, mereka harus diperlakukan berbeda, termasuk berhak menerima siksaan.

Sementara itu, Human Rights First mempublikasikan data yang menunjukkan para tahanan tidak perlu ditempatkan di Guantanamo. Mereka mencatat dalam kurun waktu 16 tahun, ada 780 tahanan yang dikurung di Guantanamo dengan rincian sebagai berikut:

1. Lebih dari 500 tahanan ditransfer keluar oleh Bush;

2. Obama memindahkan 197 tahanan keluar;

3. Lima tahanan mendapat status boleh dipindahkan ke penjara lain;

4. 23 tahanan dipenjara seumur hidup (tapi layak mendapatkan peninjauan kembali);

5. 10 tahanan sudah atau sedang menjalani proses pengadilan militer;

6. Tiga tahanan menunggu putusan komisi militer

Mayoritas tahanan tidak pernah menjalani proses peradilan dan menjadi korban penyiksaan. Seperti yang disebutkan Trump, teknik interogasi paling populer di Guantanamo adalah waterboarding. Tahanan digantung terbalik, sehelai kain dimasukkan ke dalam mulutnya, lalu disiram air terus-menerus.

Bahkan, hukum di Amerika Serikat menyatakan teknik ini ilegal. Kemudian, tak sedikit yang dikurung dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Amnesty International juga mempertanyakan legitimasi komisi militer karena "tak memenuhi standar pengadilan yang adil".

Sejumlah aktivis HAM Amerika Serikat pun buka suara terkait nasib Guantanamo di tangan Trump. "Kami mengecam keras keputusan Presiden Trump untuk tetap membuka kamp detensi Teluk Guantanamo," kata Homver Venters dari organisasi Physicians for Human Rights.

"Fasilitas itu jadi simbol ketidakadilan dan penyiksaan Amerika Serikat yang terkenal di seluruh dunia. Ini merepresentasikan rezim tak patuh hukum, tak  bermoral dan buruk terkait penahanan tak terbatas dan harus segera dihapus,"tambahnya.

Baca juga: Hampir 140 Imam di Inggris Tolak Salatkan Jenazah Teroris

Topik:

Berita Terkini Lainnya