Sejarah Lima Bintang Emas di Pundak Soeharto

Jenderal besar adalah pangkat tertinggi yang berhasil dicapai oleh perwira TNI Angkatan Darat

Jakarta, IDN Times - Jenderal besar adalah pangkat tertinggi yang berhasil dicapai oleh perwira TNI Angkatan Darat. Pangkat tersebut ditandai dengan bintang emas di pundaknya.

Dalam sejarah TNI Angkatan Darat, hanya ada tiga orang yang dianugerahi pangkat kehormatan ini, mereka adalah Jenderal Besar Sudirman, Jenderal Besar A.H. Nasution, dan Jenderal Besar Soeharto. Dengan kata lain, tiga perwira tersebut memiliki jasa luar biasa terhadap Indonesia.

Sejarawan sekaligus pengamat politik militer Indonesia, Salim Said, mengisahkan cikal-bakal di balik lima bintang yang dimiliki oleh ketiga perwira tinggi tersebut. Catatan sejarah itu dituliskannya dalam buku 'Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian'.

Ingin tahu bagaimana kisah Soeharto mendapat gelar Jenderal Besar di tengah pro-kontra kepemimpinannya, terkhusus pasca penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin oleh Soeharto. Yuk cari tahu di bawah ini. 

1. Berawal dari gagasan Salim Said usai pelantikan Wiranto sebagai Pimpinan Angkatan Darat 

Sejarah Lima Bintang Emas di Pundak SoehartoANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Pada sub-bab 'Tentang Tiga Jenderal Besar', Salim membeberkan kisah tatkala dirinya memiliki gagasan untuk memberikan penghargaan khusus kepada Jenderal Nasution. Pemikiran tersebut muncul ketika dirinya melihat Wiranto sebagai pimpinan Angkatan Darat membungkukkan badan dan mencium tangan Nasution. 

"Saya tiba-tiba melihat kesinambungan yang menarik. Wiranto lahir pada 1984, tahun ketika Nasution memimpin perang gerilya di Pulau Jawa. Kenyataan itu merangsang perasaan dan pemikiran saya, sehingga lahirlah gagasan pantasnya Nasution menjadi jenderal bintang lima," tulis Salim.

Baca juga: Survei Indo Barometer: Presiden Soeharto Presiden Paling Berhasil

Kendati muncul tiba-tiba, Salim tetap berupaya agar gagasannya tidak menjadi wacana belaka. Dia kemudian menghadap Jenderal Sayidiman Suryohadiprojo dan Jenderal Zaini Azhar Maulani untuk berkomunikasi lebih lanjut soal gagasan tersebut. Singkat cerita, perbincangan tersebut menghasilkan satu kesimpulan, yaitu Soeharto sebagai presiden kala itu tidak akan rela jika ada Nasution memiliki bintang lebih tinggi daripada dirinya. 

"Setelah berhari-hari saya berpikir, saya menemukan jalan keluar. Untuk itu, Panglima Besar Sudirman juga harus dianugerahi bintang lima. Alasan yang dipakai adalah peran mereka bertiga dalam dwifungsi ABRI. Tapi kepada siapa gagasan itu saya harus jual supaya bisa jadi kenyataan?," terangnya.  

2. Salim bertemu Jenderal TNI Feisal Tanjung, Panglima ABRI

Sejarah Lima Bintang Emas di Pundak SoehartoPemakaman Feisal Tanjung. ANTARA/Widodo S. Jusuf/Koz

Atas bantuan rekan militernya, akhirnya Salim mendapat kesempatan untuk menyampaikan gagasannya ke Jenderal TNI Feisal Tanjung. Pertemuan tersebut terjadi pada awal Agustus 1997. Karena Feisal tetarik, dia turut meminta Salim untuk menulis dasar pertimbangannya. Tidak lama, sekitar tanggal 6 Agustus 1997, Salim sudah mengirimkan dasar pertimbangan itu. 

Salim sempat bertolak ke Nigeria dan Kairo membawa rombongan Dewan Kesenian Jakarta. Sekembalinya ke Jakarta, Salim bertemu dengan Akbar Tanjung dan dia berkata kepada Salim, "Eh, kabarnya nanti Pak Harto dan beberapa jenderal akan mendapat bintang lima,". Menanggapi kabar itu, Salim tidak memberikan komentar sedikitpun. 

Kemudian, Salim segera menghubungi Nurdin, mantu Jenderal A.H. Nasution. Nurdin berkata kepada Salim, "Kami juga mendengar kabar itu. Tapi, kita lihat saja nanti,". Tidak lama setelah itu, sekitar tanggal 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari Angkatan Bersenjata, ketiga orang tersebut sudah mengenakan bintang lima di pundaknya. 

Keakraban antara tiga jenderal besar itu seolah menggambarkan bahwa mereka tidak memiliki masa lalu yang kelam. "Seperti tidak pernah terjadi apa-apa antara keduanya," ujar Maulani kepada Salim.

3. Berikut dasar pertimbangan Salim Said untuk bintang lima Sudirman

Sejarah Lima Bintang Emas di Pundak SoehartoMonumen Pangsar Sudirman di Ambarawa. IDN Times/Sugeng Wahyudi

Sudirman terpilih oleh kumpulan pemuda bersenjata sebagai Panglima Besar Tentara pada November 1945 di Yogyakarta. Kumpulan pasukan bersenjata kala itu lahir dari semangat kawula muda untuk merebut senjata dari penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 

Boleh jadi karena masalah komunikasi antara Jakarta dan Yogyakarta, serta para politisi di Ibu Kota yang tidak senang karena pemuda menerima Sudirman sebagai pemimpin tentara, terjadi silang pendapat antara kubu Sudirman dengan pemeritah kala itu.

Buntutnya, Sudirman beserta konstituennya memiliki sikap politik yang berbeda dengan pemerintah yang berkuasa saat itu. 

Perbedaan sikap yang paling jelas antara pemerintah dengan tentara adalah bagaimana mereka menyikapi Belanda. Sikap pemerintah yang selalu berunding untuk mencoba jalan damai dengan Belanda dianggap menjadi masalah bagi Sudirman. Rupanya benar firasat Sudirman, Desember 1948 Yogyakarta dilumpuhkan dan Sudirman segera 'mendeklarasikan' perang gerilya dengan penjajah. 

Setelah perang gerilya usai, terjadi fenomena ancam-mengancam antara Sudirman dengan Sukarno. Pasalnya, Sukarno meminta Sudirman untuk menghentikan tembakan sebelum perundingan di Den Haag, Belanda. Kolonel A.H. Nasution berhasil menjadi penengah serta menyudahi pertikaian antara kedua belah pihak.

Sikap Sudirman yang tegas menolak intevensi pemerintah juga pihak oposisi (kubu Tan Malaka juga PKI), berhasil membawa TNI untuk mempertahankan keutuhan bangsa. 

4.  Berikut dasar pertimbangan Salim Said untuk bintang lima Nasution

Sejarah Lima Bintang Emas di Pundak Soeharto infobiografi.com

Memasuki masa kepemimpinan A.H. Nasution, tantangan yang dihadapi bangsa adalah ancaman PKI. Sukarno yang semakin ingin memperkuat dukungannya, akhirnya merangkul PKI untuk berada di pihaknya. Duet Sukarno-PKI semakin menyudutkan posisi TNI. Dampaknya adalah TNI hanya bertahan pada posisi defensif menghadapi ancaman PKI. 

Pada kesempatan itu, Nasution berupaya untuk menciptakan suatu doktrin 'Jalan Tengah' untuk membela peranan dan partisipasi politik tentara. Wacana tersebut dicetuskan pada November 1958 saat dirinya berpidato di Akademi Militer Nasional Magelang.

Layaknya ideologi 'Jalan Tengah' pada umumnya, gagasan Nasution merupakan pernyataan posisi tentara di satu pihak bukan tanpa peran politik, di pihak lain bukan juga keinginan tentara untuk menguasai negara sebagaimana pasukan keamanan di Amerika Latin. 

Hingga insiden berdarah 'Gestapu' Oktober 1965 meletus dan Sukarno menjadi pihak yang turut terperosok. Saat itu, Angkatan Darat adalah pasukan terdepan yang paling anti terhadap komunis. Sehingga, dalam keadaan darurat, Angkatan Darat adalah kekuatan politik yang paling siap mengambil alih kekuasaan.

Yang tidak dipunyai Jenderal Soeharto saat itu adalah teori yang membenarkan peran dominan tentara dalam politik. 

5. Berikut dasar pertimbangan Salim Said untuk bintang lima Soeharto

Sejarah Lima Bintang Emas di Pundak SoehartoTwitter/@HMSoeharto1921

Setelah suasana Indonesia semakin kondusif, Soeharto berikutnya menciptakan teori untuk landasan peranan tentara sebagai pengelola negara. Sebab, teori yang dikembangkan Nasution pada Orde Lama belum lagi memperhitungkan kemungkinan datangnya suatu masa ketika TNI berdiri tegak di atas panggung politik Indonesia sebagai kekuatan utama. 

Melalui seminar Angkatan Darat II pada Agustus 1966 di Bandung, bahwa ABRI, pada umumnya, dan Angkatan Darat, pada khususnya, mendeklarasikan diri sebagai harapan tumpuan masyarakat. Karenanya, TNI hanya memiliki satu pilihan, yaitu memenuhi harapan rakyat dalam bentuk membangun pemerintah yang kuat dan progresif. 

Secara singkat, peran tiga jenderal tersebut adalah tidak salah menyebut Sudirman sebagai peletak dasar peran politik tentara, Nasution perumus 'Jalan Tengah' atau dwifungsi ABRI, dan Soeharto adalah jenderal yag memanfaatkannya untuk pembangunan Indonesia. 

Tidak hanya itu, Sudirman juga dikenal sebagai panglima besar degan reputasi gemilang sebagai pimpinan dan komandan tempur di Palagan Ambarawa serta pimpinan perang yang legendaris. Nasution merupakan konseptor perang gerilya dan juga KSAD yang memimpin penumpasan pemberontakan PRRI/Semesta.

Soeharto terkenal sebagai komandan yang memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Yogyakarta dan Panglima Kostrad yang berhasil menyelamatkan negara dari ancaman komunis. 

Atas tiga pertimbangan itulah Salim Said mempertimbangkan agar tiga tokoh TNI tersebut menyandang gelar jenderal besar atau berpangkat bintang lima.

Baca juga: 66 Jam yang Menegangkan: Kronologi Jelang Soeharto Lengser

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya