Pro Kontra Regulasi Cukai Rokok Elektrik:  Bahaya Asap Vs Uap

Benarkah cukai dinaikkan hanya untuk mengejar target pendapatan?

Jakarta, IDN Times - Ahmad Rifani (23) mulai berhenti merokok sejak 2015. Bukan tanpa alasan, teguran dari pihak keluarga menjadi alasan utama mengapa ia menghentikan kebiasaan yang telah dilakukannya sejak tahun 2011.

“Karena namanya orang tua pasti gak suka melihat anaknya ngerokok ya. Selain tahu gak sehat, bau rokok juga nyengat banget,” kata laki-laki yang karib disapa Ifan kepada IDN Times, Sabtu (27/1).

Meski demikian, Ifan mengaku tidak mudah menghentikan kebiasaan merokoknya. Atas saran saudaranya, ia mulai berani untuk menjajal rokok elektrik atau biasa disebut Vape.

Gue ngeliat abang gue yang ngevape dan udah mulai ngurangin rokoknya. Terus dia saranin gue untuk nyoba dulu. Terus juga, karena orang tua tahu kalau anaknya pasti ngerokoknya diem-diem, mereka juga nyaranin beralih ke rokok elektrik,” ujarnya.

Pro Kontra Regulasi Cukai Rokok Elektrik:  Bahaya Asap Vs UapDok IDN Times/Ahmad Rifani

Alhasil, hampir dua tahun Ifan tidak lagi mengonsumsi rokok asap atau rokok dengan filter. Selain itu, dari segi pengeluaran, dia juga merasa rokok elektronik tidak membuat kantongnya jebol.

“Pas masih ngerokok, sehari bisa habisin dua bungkus rokok dengan harga Rp40.000-an. Kalau seminggu bisa lebih dari Rp280.000. Kalau rokok elektrik, emang sih mahal di tools-nya atau Mod-nya. Tapi untuk liquid-nya, gue beli yang 60 mili dengan harga Rp150.000. Itu habis paling cepat seminggu dan bisa juga sampe dua minggu,” ujar Ifan.

Bukan hanya Ifan, manfaat rokok elektrik juga dirasakan oleh Helmi Firdaus saat menghadiri diskusi publik tentang regulasi pemberian cukai terhadap liquid rokok elektrik.

“Saya sebagai konsumen rokok elektrik sangat merasakan manfaatnya. Dulu ketika masih merokok, berat saya 45 kilogram, sekarang berat saya 89 kilogram. Itu kan menunjukkan sejak saya berganti ke rokok elektrik asupan gizi dari makanan hampir seluruhnya terserap,” klaim Helmi, saat hadir dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (27/1)

Ketika rokok elektrik mulai digemari banyak kalangan dan dianggap sebagai alternatif pengganti rokok asap, Kementerian Perdagangan mengeluarkan keputusan untuk memberlakukan cukai sebesar 57 persen untuk liquid atau cairan rokok elektrik tersebut.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan memastikan rokok elektrik atau vape yang saat ini sedang populer penggunaannya akan dikenakan cukai sebesar 57 persen yang mulai berlaku pada 1 Juli 2018.

"Bahan dasar dari rokok jenis ini adalah cairan dari tembakau, sehingga tentunya ini objek dari UU Cukai yang konsumsinya masih harus dikenakan cukai," kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi, sebagaimana dikutip laman Antara (2/11/2017)

Heru memastikan cukai yang dikenakan sebesar 57 persen dari harga jual eceran ini akan dikenakan kepada cairan vape.

Untuk itu, terkait pungutan cukai ini, otoritas Bea dan Cukai akan berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan guna memastikan penegakan hukum dari kebijakan ini dapat berjalan dengan baik.

1. Liquid diberikan cukai karena bagian dari Hasil Pengelolaan Tembakau Lainnya

Pro Kontra Regulasi Cukai Rokok Elektrik:  Bahaya Asap Vs UapIDN Times/Vanny El Rahman

Keputusan memberlakukan cukai sebesar 57 persen kepada setiap liquid atau cairan sontak menuai pro-kontra. Pasalnya, rokok elektrik mulai dikenal oleh masyarakat sebagai media pengganti rokok asap.

Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai Sunaryo menjelaskan, pemberlakuan pajak sebesar 57 persen merupakan upaya pemerintah untuk mengawasi peredaran produk yang dinilai berdampak negatif di masyarakat.

“Cukai diberikan kalau ada barang yang perlu diawasi peredarannya. Kemudian, diberikan juga kepada barang yang membahayakan,” kata dia dalam diskusi yang digelar di Cikini, Jakarta Pusat.

Dasar hukum yang memuat aturan soal barang yang dikenakan cukai adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Lebih lanjut, Sunaryo menyampaikan kalau pemberian pajak terhadap liquid adalah bagian dari undang-undang tersebut.

“Di Indonesia, baru tiga yang dikenakan cukai, di antaranya minuman alkohol, etil alkohol, dan hasil tembakau. Nah hasil tembakau kalau di salah satu pasal UU cukai, ada rokok daun, tembakau iris, dan cerutu. Varian tembakau itulah yang dinamakan Hasil Pengelolaan Tembakau Lainnya (HPTL),” kata dia.

Menurut Sunaryo, mengkategorikan liquid sebagai hasil olahan tembakau  telah dipertegas dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia (PMK) Nomor 146 tahun 2017.

“Nah, untuk HPTL inilah ekstrak tembakau yang terkandung dalam konten vape atau liquid. Jadi kalau melihat definisinya, liquid ini bukan bagian dari ekstensifikasi atau bukan barang baru. Sehingga sudah selayaknya kena cukai,” tambah dia.

Perihal besaran cukainya, dia mengatakan angka tersebut keluar melalui beragam pertimbangan.

“Kenapa tarifnya 57 persen tentu kami dalam menetapkan banyak pertimbangan. Pertama, kita harus melindungi tenaga kerja yang tergolong padat karya. Kedua, kami melihat (liquid) ini masih padat modal,” kata Sunaryo.

Selain itu, pertimbangan angka 57 persen merupakan bagian dari survei internal yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan di lima kota berbeda, yaitu Bali, Bandung, Yogyakarta, Jakarta, dan Surabaya. Temuannya adalah harga liquid lebih tinggi dibanding harga rokok pada umumnya, harga liquid sekitar Rp90.000-Rp300.000 dengan volume 100 mili.

Pemerintah memberlakukan regulasi pajak terhadap liquid guna mencegah maraknya liquid ilegal beredar di masyarakat. “Dengan regulasi nanti ketahuan semua pemainnya karena terdata. Kalau tidak terdata kami tidak tahu kandungannya apakah ada barang berbahaya atau tidak,” ujar Sunaryo.

2. Benarkah rokok asap 95 persen lebih bahaya dibanding rokok elektrik?

Pro Kontra Regulasi Cukai Rokok Elektrik:  Bahaya Asap Vs UapIDN Times/Vanny El Rahman

Dalam diskusi publik tersebut, turut hadir Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik Indonesia (YPKP) dokter Amaliya.

Amaliya mengkritisi kebijakan pemerintah perihal besaran pajak yang rencananya diperlakukan sejak Juli 2018 mendatang. Pasalnya, angka 57 persen akan berdampak terhadap melambungnya harga liquid di pasaran, sehingga rokok elektrik yang dianggap baik sebagai sarana pengganti rokok asap berpotensi untuk ditinggalkan.

“Perbedaan mendasar antara rokok elektrik dengan rokok asap dari cara kerjanya. Rokok asap itu dibakar, sedangkan rokok elektrik itu dipanaskan. Hasil akhirnya berbeda, yang satu mengeluarkan asap atau tar, seperti membakar kayu atau hasil knalpot, dan ini juga output dari rokok. Kalau rokok elektrik mengeluarkan uap,” katanya.

“Penting untuk diketahui, yang perlu disalahkan itu bukan Nikotin, tapi tar. Karena Nikotin kadang ada manfaatnya juga. Vape atau rokok elektrik baik sebagai media replacement nicotine. Karena kalau rokok elektrik, nikotinnya masuk ke tubuh tapi tar-nya dibuang. Sedangkan rokok, nikotinnya masuk, tarnya masuk. Sama seperti kita minum, airnya masuk sampahnya juga masuk,” kata Amaliya.

Berikutnya, perempuan yang juga berprofesi sebagai dokter gigi ini mengutip hasil penelitian di Inggris soal perbandingan antara rokok elektrik dengan rokok asap.

“Berdasarkan hasil Public Health of England, risiko bahayanya 100 persen, kalau rokok elektrik bahayanya 5 persen. Jadi ada penurunan bahaya sebesar 95 persen. Angka itu diteliti dari kandungan antara dua rokok itu. Pada rokok asap, ada zat racun pencetus kanker. Jadi semua racun itu menurun drastis pada rokok elektrik,” tuturnya.

Penelitian lain yang dikutipnya adalah hasil pengamatan terhadap tiga sampel, yaitu orang yang mengonsumsi rokok asap, orang yang telah beralih ke rokok elektronik selama enam bulan, dan orang yang masih mengonsumsi dua rokok tersebut. Hasilnya, adalah perokok elektronik kandungan racun dalam tubuhnya menurun hingga 97 persen sedangkan kandungan racun pada dua sampel lainnya adalah sama.

Kemudian, dokter yang juga mengajar di Universitas Padjajaran ini membeberkan dampak bagi perokok pasif atau mereka yang berada di sekitar penikmat rokok, baik rokok elektrik ataupun rokok asap.

“Untuk orang yang berada di sekitar pengguna rokok elektrik, pastinya bahaya racunnya menurun 95 persen. Jadi untuk rokok asap, ada sekitar 4000 zat berbahaya yang terkandung di dalamnya. Sehingga perokok pasif juga terancam menghirup 4000 zat itu,”  kata dia.

Meski demikian, Amaliya juga mengingatkan agar tidak mengonsumsi rokok elektrik berlebihan lantaran ada bahaya overdosis. “Batas tubuh untuk mempu menerima nikotin adalah 50-60 miligram. Jadi kalau keseringan mengonsumsi rokok elektrik juga bahaya keracunan,” kata dia.

“Suami saya juga perokok akut. Saya tahu kalau gak bisa untuk minta berhenti langsung. Sejak shift ke rokok elektrik, pelan-pelan dia bisa mengurangi kebutuhan rokoknya,” cerita Amaliya tentang keluarganya yang menjadikan rokok elektrik sebagai cara untuk mengurangi kebutuhan rokok asap.  

3. Lebih dari dua juta liquid telah tersebar di publik

Pro Kontra Regulasi Cukai Rokok Elektrik:  Bahaya Asap Vs UapIDN Times/Vanny El Rahman

Dendy Dwi Putra selaku Ketua Bidang Legal and Business Development Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) turut menyebutkan jumlah pengguna rokok elektrik beserta liquid yang beredar di masyarakat.

“Untuk pengguna rokok elektrik, ada sekitar satu juta pengguna. Sedangkan untuk liquidnya, ada sekitar dua juta liquid yang tersebar,” kata Dendy.

Menanggapi regulasi cukai yang diatur oleh Kementerian Keuangan, Dendy menyetujui pengawasan atau regulasi terhadap peredaran liquid di masyarakat asal berlandaskan kajian dan diskusi yang komprehensif.

“Kami setuju dengan pemerintah karena regulasi perlu agar kami diakui. Namun kami menyayangkan pernyataan dari menteri yang meminta untuk beralih saja ke rokok asap. Dalam benak kami, masyarakat ini kan punya kebebasan untuk memilih dari dua produk yang paling rendah resikonya. Sedangkan mereka belum ada data yang pasti, mereka hanya berpatokan kepada PMK,” sambungnya.

Besarnya pajak dikhawatirkan Dendy akan berdampak terhadap peritel penyedia rokok elektrik beserta liquidnya.

“Belum terdata dengan pasti, namun ada ribuan toko liquid dengan minimal ada dua pekerja. Dengan aturan itu, banyak anggota kami yang memang usaha liquid ini masuknya Usaha Mikro Kecil dan Menengah  (UMKM), sudah banyak yang wanti-wanti akan gulung tikar. Ini kan lapangan pekerjaan juga dan tidak seperti rokok asap yang pekerjanya berpendidikan tinggi,” kata Dendy.

Dendy juga menyampaikan bahwa sesudah tahun 2014, produksi liquid lokal telah meningkat 70 persen.  Tidak hanya itu, kualitas liquidnya juga telah diakui oleh banyak negara.

“Rokok elektrik ini memang masuk mulai tahun 2012. Saya agak bingung sebenarnya kalau data impor, karena memang antara 2012-2014 lebih banyak impor. Tapi setelah itu justru 70 persen dari lokal. Kualitasnya diakui dan kami mendukung regulasi karena kita juga berharap produk yang kita ekspor berlabel SNI,” beber dia. 

4. Pemerintah mulai cemas dengan kurangnya cukai rokok asap

Pro Kontra Regulasi Cukai Rokok Elektrik:  Bahaya Asap Vs UapIDN Times/Vanny El Rahman

Ekonom Indef Bima Yudistira turut menyayangkan keputusan pemerintah untuk membebankan liquid dengan pajak sebesar 57 persen. Menurutnya, masih banyak barang yang harus diberi pengawasan dan dibebankan cukai ketimbang liquid.

Bima mengawali pernyataannya dengan mengembalikan fungsi cukai itu sendiri.

“Kalau kita mengembalikan cukai kepada filosofinya, banyak barang yang lebih berbahaya bagi kesehatan, tapi sekarang political will-nya kenapa menyerang pengusaha kecil dengan pemberian tax,” katanya.

Bima khawatir pemberian cukai terhadap liquid merupakan upaya pemerintah untuk mengejar target pendapatan dari cukai.

“Target cukai pemerintah pada tahun 2018 adalah Rp155,4 triliun. Sementara, dari tiga produk yang dikenakan cukai, alkohol, etil alkohol, dan rokok, komposisi rokok itu sudah 95 persen cukainya. Pada tahun 2017 ada sekitar 331 miliar batang rokok diproduksi. Sedangkan pada produksi rokok tahun 2018 berkurang sekitar 9,8 miliar batang. Jadi ini merupakan kecemasan pemerintah karena gak bisa lagi mengandalkan cukai dari rokok asap,” kata Bima.

Apabila definisi barang bahaya diberikan kepada liquid, sambung Bima, maka pemerintah harusnya mampu melihat potensi barang yang lebih berbahaya dibanding liquid.

“Indonesia ini negara paling sedikit yang produknya dikenakan cukai, cuma ada tiga barang. Dengan 57 persen cukai liquid untuk dua juta liquid yang tersebar di masyarakat, maka pemerintah hanya mendapat Rp114 miliar. Angka itu tidak seberapa dibanding pruduk lainnya yang perlu diawasi,” katanya lagi.

Di antara barang yang disebutkan oleh Bima adalah kendaraan bermotor, plastik, dan minuman manis. Mengingat, rokok asap dibebankan cukai sebesar 52 persen, sedangkan rokok elektrik yang dinilai lebih baik ketimbang rokok asap dibebankan cukai sebesar 57 persen.

“Dari kendaraan bermotor saja kalau dikenakan cukai, pemerintah bisa dapat Rp 6 triliun kalau hanya 5 persen. Dari plastik bisa dapat Rp 500 miliar. Untuk minuman manis dan berkarbonasi, karena menyebabkan diabetes ini penyakit ketiga berbahaya di Indonesia, itu bisa dapat Rp 400 miliar. Itu kan semuanya juga berbahaya bagi masyarakat. Jadi secara logika pun pemerintah gak masuk akal untuk membebankan pajak ke liquid apalagi belum ada data yang jelas,” kata Bima.

Target pajak liquid yang belum jelas menjadi perhatian Bima. Pasalnya, selama ini rokok asap dibebankan pajak karena banyaknya penyakit yang mendera setiap perokok aktif.

“Terus, nanti uang pajaknya mau dikemanakan? Gak bisa buat tambal APBN. Kalau ke BPJS, kan belum ada data pasti berapa orang yang sakit karena rokok elektrik. Apalagi kalau tadi dikatakan rokok elektrik ini bisa mengurangi penderita penyakit karena merokok, harusnya cukai ke BPJS juga menurun kalau begitu,” kata dia.

Pro Kontra Regulasi Cukai Rokok Elektrik:  Bahaya Asap Vs UapIDN Times/Vanny El Rahman

Kendati polemik regulasi terhadap liquid belum menemukan titik terang, Ifan selaku konsumen rokok elektrik mengaku akan tetap menggunakannya meski terjadi kenaikan harga yang cukup signifikan.

“Sebenarnya sangat disayangkan, kan kasian orang mau berhenti ngerokok jadi gak bisa lagi pakai rokok elektrik karena mahal. Tapi kalau kebutuhan liquidnya, karena harganya beda-beda ya, jadi kadang-kadang beli liquid yang harga berapa akan tergantung dengan kondisi keuangan yang ada,” kata dia.

Topik:

Berita Terkini Lainnya