Berikan Kartu Kuning ke Jokowi, Ketua BEM UI Tak Bisa Dilaporkan

Pemerintah tidak boleh antikritik

Jakarta, IDN Times - Mantan aktivis Orde Baru Ray Rangkuti angkat bicara terkait tindakan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Zaadit Taqwa yang memberikan ‘kartu kuning’ kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Ray yang kini menjadi Direktur Eksekutif Lingkar Madani mewanti-wanti agar pihak berwajib tidak menjadikan Zaadit sebagai tersangka atas dugaan penghinaan terhadap simbol negara.

“Kalau beliau diproses (secara hukum) karena tindakannya, maka itu tidak benar. Apalagi jika ditersangkakan, maka pihak Kepolisian harus ditegur,” katanya di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat.

1. Undang-Undang tentang penghinaan kepada Presiden dibatalkan Mahkamah Konstitusi

Berikan Kartu Kuning ke Jokowi, Ketua BEM UI Tak Bisa DilaporkanIDN Times/Vanny El Rahman

Kemudian, pria yang sering tampil mengenakan songkok hitam ini membeberkan alasan mengapa perilaku Zaadit tidak bisa diproses secara hukum.

“Pertama, memang tidak ada pasal penghinaan kepada kepala negara, karena sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Jadi cukup diamankan saja saat kejadian, karena dengan asumsi akan mengancam keamanan kepala negara. Kalau diproses secara hukum sangat tidak beralasan sekali,” ujarnya usai menghadiri diskusi publik yang membahas tentang RUU KUHP.

Baca juga: Hadir di Acara KAMMI, Fahri Hamzah Keluarkan Kartu Merah

2. Bedakan antara kritik dengan penghinaan

Berikan Kartu Kuning ke Jokowi, Ketua BEM UI Tak Bisa DilaporkanIDN Times/Vanny El Rahman

Ray juga meminta pemerintah lebih memahami batasan antara kritik dengan menghina.

“Yang dilakukan itukan cuma kritik, tidak sampai pada definisi yang dibilang menghina kepala negara. Undang-undang ini memang dibatalkan karena batasan itu kabur,” tutur pria yang beralmamater Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidyatullah ini.

Dampak yang dirasakan publik, tambah Ray, apabila undang-undang ini tetap diberlakukan adalah perilaku pemerintah yang semena-mena dalam menanggapi aspirasi masyarakat.

“Kalau dilanjutkan (undang-undangnya), nanti akan tergantung selera pemerintah. Kalau merasa dikritik yang membangun, maka akan bebas. Kalau ia merasa cara kritiknya atau redaksi bahasanya menyinggung perasaannya, ya bisa dipakai pasal ini,” sambung dia.

Menurut Ray, apabila yang bersangkutan kedapatan memberikan ancaman secara nyata, seperti membawa pistol atau pisau, maka Zaadit bisa diproses secara hukum.

3. Ada potensi kriminalisasi kritik apabila pasal penghinaan dihidupkan kembali

Berikan Kartu Kuning ke Jokowi, Ketua BEM UI Tak Bisa DilaporkanIDN Times/Vanny El Rahman

Melalui RUU KUHP yang tengah digodok oleh DPR, rupanya anggota dewan ingin memasukkan kembali pasal penghinaan kepada kepala negara itu. Padahal, aturan tersebut pernah dibatalkan oleh MK pada 2006 silam.  

“MK pernah membatalkan karena memang tidak jelas undang-undang ini. Yang dikatakan menghina itu seperti apa? Dan sekarang DPR ingin menghidupkan kembali undang-undang ini. Mereka sudah menerobos prinsip kepastian hukum MK. Penting juga untuk diketahui, yang dibatalkan oleh MK bukan redaksinya, tapi prinsip dan norma hukumnya. Sehingga pasal ini harusnya sudah selesai,” papar Ray.

“Kecenderungannya, pasal ini hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan untuk kriminalisasi semua kritik dengan alasan penghinaan kepada kepala negara. Inilah yang kami protes,” tutup dia.

Baca juga: Mahasiswa "Kartu Kuning" Jokowi, Mensos Angkat Bicara

 

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya