Amnesty International: Penegakan HAM di Indonesia Mengalami Kemunduran

Masih banyak kasus pelanggaran HAM berat yang belum terungkap

Jakarta, IDN Times-  Dua puluh tahun pasca reformasi, Indonesia masih memiliki sederet pekerjaan rumah dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Sebut saja kisah perjuangan Sumarsih mencari keadilan atas kematian putranya bernama Wawan yang tewas dalam peristiwa Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998.

Sampai hari ini, Sumarsih masih mencari keadilan untuk putranya tersebut. Setiap Kamis, ia berdiri di depan Istana Negara, berharap pemerintah mau sedikit memperhatikan kasus anaknya. Perempuan yang sempat bekerja di Sekretariat DPR RI ini menolak anggapan bahwa Wawan tidak sengaja tertembak dalam bentrokan di penghujung tahun 1998 itu.

“Katanya Wawan masuk dalam daftar lima nama orang yang akan dihabisi dan dia urutan yang pertama,” begitu cerita seorang Ibu yang ditinggal anak sulungnya kepada IDN Times saat ditemui di rumahnya yang berlokasi di Komplek Perumahan Pegawai DPR RI.

1. Demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran

Amnesty International: Penegakan HAM di Indonesia Mengalami KemunduranIDN Times/Vanny El Rahman

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyampaikan jika rektorika kebencian yang tengah dipraktekan oleh pemerintah dan non-pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia, menyebabkan kemunduran suatu negara dalam menegakkan HAM. Tidak bisa dipungkiri hal itu merupakan dampak dari perebutan kekuasaan.

“Saya mengutip tulisan seorang guru besar Indonesia di Melbourne University, dia menilai Indonesia pada tahun 2017 mengalami kemunduran demokrasi. Saya kira ini baru pertama kalinya ilmuwan sosial memvonis Indonesia mengalami kemunduran demokrasi. Sebelumnya paling hanya menilai mengalami kemandekan,” kata Usman saat merilis laporan Amnesty International tahunannya yang berjudul The State of The World’s Human Rights.

Dikatakan demikian karena pria lulusan The Australian National University ini melihat suasana politik Indonesia yang tercemar akan politik kebencian kerap merugikan etnis minoritas dan kelompok yang tidak pro-pemerintah.

“Di Indonesia sendiri politik kebencian mengeksploitasi sentimen moralitas agama dan nasionalisme sempit oleh aktor negara dan non-negara. Mereka mengajak masyarakat untuk membenci mereka yang berbeda, seperti kelompok yang dituduh ‘berbeda’, ‘antinasionalis’, ‘menyimpang dari Islam’, atau juga ‘radikal’,” kata Usman di kantor di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (22/2).

Untuk diketahui, retorika atau politik kebencian adalah instrumen yang digunakan oleh banyak politisi hingga oknum lainnya untuk merebut kekuasaan. “Seperti bagaimana Trump menyuarakan antiIslam dan Meksiko. Kemudian ada Rizieq Shihab yang mendorong pemerintah untuk segera memvonis Ahok, dan menilai HTI yang antipancasila,” tambahnya.

Bagi Usman, hal demikian menjadi pertanda akan kemunduran HAM di Indonesia yang berujung kepada kemunduran demokrasinya.

Baca juga: 13 Bukti Nyata Kalau Hak Asasi Manusia Orang Itu Bisa Dirampas dengan Seenaknya

2. Polisi dan Militer masih menggunakan wewenangnya secara berlebihan

Amnesty International: Penegakan HAM di Indonesia Mengalami KemunduranIDN Times/Vanny El Rahman

Dalam laporan tahunannya, Amnesty International menilai aparat penegak hukum di Indonesia masih melakukan penyalahgunaan wewenang. Hampir serupa dengan kasus yang mengorbankan Wawan, kali ini giliran Otis Pekei atau pria asal Papua yang menjadi korban.

Peristiwa terjadi antara bulan September 2016 dan Januari 2017. Pada awalnya, pasukan gabungan polisi dan militer melakukan operasi keamanan di Dogiyai, Papua, menjelang pemilihan kepala daerah. Selanjutnya pada 10 Januari 2017, tim gabungan menangkap seorang pria yang menolak untuk menyerahkan pisaunya ke pos keamanan.

Nahas nasib Otis, pada hari berikutnya ia dikembalikan oleh tim gabungan dalam kondisi tidak bernyawa. Pihak keluarga yakin Otis mengalami penyiksaan selama ditahan.

Begitu juga dengan peristiwa pada 1 Agustus 2017, di mana petugas Kepolisian melepaskan tembakan secara sewenang-wenang ke kerumunan massa tanpa ada peringatan terlebih dahulu.

“Sejak awal kami memang mendukung pemerintah untuk melawan politik kebencian. Sayangnya, pemerintah justru mengalami keberpihakan ideologis. Dampaknya adalah memaksa kelompok mayoritas untuk mengalah kepada minoritas. Untuk apa? Untuk mencegah kebencian tersebar. Itu pendekatan yang keliru,” papar Usman Hamid.

3. Pemerintah yang terkesan antikritik memperburuk citra HAM Indonesia

Amnesty International: Penegakan HAM di Indonesia Mengalami KemunduranIDN Times/Vanny El Rahman

Menanggapi pasal penghinaan kepada Presiden dan anggota DPR yang tengah disorot publik, Usman menilai kedua pasal tersebut merupakan alat pemerintah untuk memperkuat kekuasaannya ketimbang memberikan jaminan HAM kepada masyarakat.

“Dalam kasus penghinaan presiden, kelihatan sekali itu untuk melindungi pemerintah dari pada memberikan jaminan kepada masyarakat untuk memberikan kritik tanpa dibayang-bayangi ancaman hukum,” katanya.

“Mengapa ini menjadi kritik bagi kami, karena ini semua (politik kebencian) disponsori oleh negara dan aktor non-negara. Pemerintah jadi bisa merepresi segala aktivitas yang dianggap menyimpang melalui pemenjaraan, undang-undang, dan penahanan,” katanya.

Kembali kepada Sumarsih, ia berharap tindakan sewenang-wenang penegak hukum tidak lagi terulang. Ia juga meminta agar agenda reformasi segera direalisasikan.

“Masalah kekerasan negara, masalah pelanggaran HAM ini tidak boleh terjadi lagi. Cukup kami sekeluarga saja. Ini kemudian yang mendorong saya untuk tetap berusaha agar nilai-nilai kemanusiaan itu tetap dijunjung tinggi. Baik oleh masyarakat ataupun oleh para pemangku kekuasaan. Jadi tuntutan saya adalah pemerintahan, siapapun yang berkuasa, agar menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, ” kata Sumarsih.

Baca juga: 5 Kabar Terbaru Soal Kematian Siyono dan Dugaan Pelanggaran HAM oleh Densus 88

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya