Mengenal Konferensi yang Akan Dihadiri Panglima TNI Gatot Nurmantyo di AS

Apa sih Chiefs of Defense Conference on Country Violent Extremist Organizations itu?

Beberapa minggu terakhir, nama Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo kerap mewarnai situasi perpolitikan Indonesia. Mulai dari pernyataan Panglima TNI terkait polemik pembelian 5000 senjata ilegal, kontroversi pemutaran film G30S/PKI, hingga yang terbaru adalah pelarangan Jenderal Gatot Nurmantyo untuk memasuki Amerika Serikat (AS) pada 21 Oktober silam. 

Dilansir dari Liputan 6 News, keterangan diberikan oleh Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal Wuryanto bahwa Panglima TNI mengunjungi AS untuk memenuhi undangan dari Panglima Angkatan Bersenjata AS Jenderal Joseph F Dunford. Jenderal Gatot diundang untuk menghadiri acara Chiefs of Defence Conference on Country Violent Extremist Organizations (VEOs) yang akan diselenggarakan pada 23-24 Oktober 2017 di Washington DC, AS. 

Menaiki maskapai Emirates, belum sempat melakukan penerbangan, Panglima TNI beserta istri diberi tahu bahwa mereka tidak boleh memasuki wilayah AS oleh US Custom and Border Protection. Menarik untuk mencari tahu, sebenarnya acara apa sih itu? Dan kenapa Jenderal Gatot turut diundang pada acara tersebut?  

Combating Terrorism Fellowship Program (CTFP).

Peta perpolitikan AS berubah pasca peristiwa 11 September 2001 yaitu insiden dimana pesawat yang diduga milik kelompok Al-Qaeda menabrakkan diri ke gedung World Trade Center (WTC) di New York, AS. Merepon fenomena tersebut, AS dibawah pemerintahan George W. Bush mengeluarkan kebijakan War on Terrorism. 

Kebijakan CTFP merupakan rangkaian dari respon pemerintah AS terhadap insiden yang memakan korban jiwa sebanyak 2.996 orang.

CTFP diresmikan pada 2002 di bawah pengawasan Kementerian Pertahanan. Kebijakan ini merupakan inisiasi AS untuk melawan ekstremisme dengan berbagai pendekatan, termasuk pendidikan dan pelatihan, kepada perwira militer militer dan pejabat keamanan di berbagai negara. CTFP didasari atas asumsi AS bahwa memerangi terorisme dibutuhkan kerja sama yang terorganisir.

Tujuan CTFP adalah mengembangkan sumber daya manusia dalam melawan ideologi radikalisme, memperkuat jaringan global, dan membangun harmoni dalam pemberantasan terorisme. 

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan AS, alumni CTFP dari 2003 hingga 2017 telah lebih dari 30.000 orang dan tentunya datang dari 145 negara yang berbda. 

Violent Extremist Organizations (VEOs).

Pada tahun anggaran AS 2015, CTFP menjadikan Afrika sebagai prioritas untuk melawan kegiatan terorisme. Alumni CTFP di Afrika bersama AS meresmikan USAFRICOM sebagai komitmen kedua belah pihak untuk melawan ekstremisme. Di antara kegiatan yang dilakukan oleh USAFRICOM adalah sosialisasi terkait ancaman dan perkembangan yang dilakukan oleh organisasi kekerasan dan ekstremisme atau Violent Extremist Organizations (VEOs).

Format diskusi terkait VEOs terus diperbaiki seiring berjalannya waktu. Tidak hanya memberikan pemahaman tentang organisasi terorisme, CTFP juga menjadikan forum VEOs sebagai sarana untuk mencari solusi guna melawan kelompok radikal serta menjadi instrumen untuk mempererat hubungan antar negara dalam bidang pertahanan. 

VEOs pernah diselenggarakan di berbagai negara, diantaranya adalah Jerman, Yordania, Yunani, dan Thailand. Di antara isu yang menjadi pembahasan dalam VEOs adalah menganalisis ancaman dari Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Boko Haram, Al-Shabaab, Al-Qaeda, kemudian mencari solusi bersama untuk menghadapinya. 

Sehingga, forum VEOs yang diselenggarakan pada 23-24 Oktober 2017 di Washington D.C menjadi tempat bertemunya menteri pertahanan atau perwira militer untuk mendiskusikan tentang perkembangan organisasi terorisme, indikasi dukungan negara terhadap kelompok radikal, hingga perkembangan terorisme di Barat. 

Urgensi dari VEOs yang diselenggarakan di Washington D.C ini tidak bisa lepas dari temuan baru The Minerva Research Initiative. Lembaga think-tank milik Kementerian Pertahanan AS tersebut mengklaim bahwa mereka menemukan modus komunikasi, kerja sama antar kelompok, dan pola perekrutan baru yang diduga belum diketahui oleh negara lain. 

Partisipasi Indonesia dalam VEOs.

Berdasarkan data yang dimiliki oleh Kementerian Pertahanan AS, sejak tahun 2002 terhitung lebih dari 23 orang dari Indonesia mengikuti pelatihan dan program yang diselenggarakan oleh CTFP, termasuk forum VEOs. Untuk itu pemerintah AS telah mendanai partisipan Indonesia lebih dari $216.000.  

Indonesia dikenal sebagai negara yang turut berpartisipasi dalam memerangi terorisme. Sebagai negara multietnis, multikultural, dan multiagama Indonesia kerap menjadi sasaran terorisme. Sebut saja bom Bali, bom Marriot, bom Sarinah, hingga kasus terorisme di Ambon dan Poso.  

Peran Indonesia di panggung global mulai dipandang setelah Indonesia berhasil membuktikan bahwa demokrasi dan Islam, sebagai agama dengan penganut mayoritas, bisa berjalan beriringan. Hal tersebut menjadi perhatian dunia ketika melihat data yang dirilis oleh Freedom House di awal 2015, bahwa dari 54 negara yang menganut sistem non-demokrasi 25 diantaranya merupakan negara Timur Tengah yang mayoritas adalah Muslim.

Angka di atas mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki formula unik untuk memunculkan semangat nasionalisme di tengah perbedaan.

Vanny El Rahman Photo Writer Vanny El Rahman

International Relations Graduates

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya