Aksi 1998 di Jogja: Dari Safari Harmoko Hingga Referendum Mahasiswa

Tak hanya di Jakarta, gerakan reformasi pun bergulir di Yogyakarta

Jakarta, IDN Times - Gerakan menuntut reformasi pada 1998 tak hanya berlangsung di Jakarta, tapi juga di sejumlah kota lain seperti Bandung, Medan, dan Yogyakarta. Saat itu mahasiswa bersatu meminta Soeharto mundur dari kursi presiden.

Di Yogyakarta, misalnya, ribuan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar referendum. Seperti apa kisahnya? Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gajah Mada saat itu, Ridaya La Ode Ngkowe, mencoba merekonstruksi kembali peristiwa bersejarah tersebut.

1. Oktober 1997, mahasiswa Yogyakarta siap gelar aksi

Aksi 1998 di Jogja: Dari Safari Harmoko Hingga Referendum MahasiswaIDN Times/Helmi Shemi

La Ode menceritakan pergerakan mahasiswa di Yogyakarta sudah mulai digulirkan sejak Oktober 1997. Mereka saat itu bergerak dengan satu tujuan: menurunkan Soeharto. Saat itu, Ketua Umum Golkar Harmoko, sedang bersafari untuk mensosialisasikan Soeharto akan akan maju lagi sebagai presiden untuk periode 1998-2003.

"Dan puncak pernyataan dia itu waktu ulang tahun Golkar Oktober 1997. Saat itu Harmoko sebagai Ketua Golkar, mengatakan rakyat Indonesia ingin Soeharto melanjutkan lagi," cerita La Ode mengenang masa-masa itu.

Baca juga: Gen Millennial, Yuk Kenali  Sosok 4 Pahlawan Reformasi Mei 1998

2. Lahirnya gerakan Referendum UGM

Aksi 1998 di Jogja: Dari Safari Harmoko Hingga Referendum MahasiswaHarmoko. Foto dari Historia

Mendengar pernyataan dari Harmoko tersebut, seluruh elite mahasiswa di Yogyakarta, termasuk La Ode, tidak bisa menerima hal itu. Sulit bagi mereka membayangkan akan kembali dipimpin oleh Soeharto selama lima tahun ke depan.

Akhirnya, mereka membuat gerakan referendum. Mereka meminta mahasiswa menentukan apakah Soeharto harus maju kembali atau mundur.

"Kita buat sesuatu. Kita waktu itu ingin yang simple, kalau sekarang mungkin sudah gak elite sama sekali dan mungkin biasa banget. Kita membuat referendum. Di UGM," ujar La Ode.

Waktu itu, aktivis mahasiswa di UGM memberikan pertanyaan kepada mahasiswa: Apakah mereka setuju atau tidak, Soeharto kembali menjadi presiden periode 1998-2003?

"Hasilnya angkanya signifikan. Sudah bisa ditebak sebenarnya, pasti mahasiswa tidak setuju soal pencalonan Soeharto," terang La Ode.

3. Mahasiswa memanfaatkan media alternatif untuk bacakan hasil referendum

Aksi 1998 di Jogja: Dari Safari Harmoko Hingga Referendum MahasiswaEdupost.ID

Setelah hasil referendum keluar, La Ode dan aktivis mahasiswa UGM bersiap mengumumkan hasil tersebut. Namun rupanya langkah itu tak semulus yang mereka pikirkan. Sebab mereka mendapatkan tekanan dari pihak rektor dan intel.

"Dan pada sata itu kita juga ditekan oleh intel. Sampe momennya adalah, sampai besoknya kita mengumumkan hasil referendum, kita sudah ditekan oleh intel dan rektorat, gak boleh mengumumkan itu. Tekanan pihak intel AD dan polisi itu lewat PR3 (Pembantu Rektor 3)," jelasnya.

Tak menyerah, La Ode dan teman-temannya tetap mencari jalan keluar agar hasil referendum bisa diketahui masyarakat luas. Ia pun mengatakan bahwa satu-satunya cara adalah melalui media anti mainstream yang tidak diawasi oleh pemerintah.

"Tapi kami akalin bagaimana caranya bekerjasama dengan teman-teman media, bagaimana kami tidak terlihat jelek di mata rektorat, tapi teman-teman media juga tetap mengangkat," ujar dia.

Akhirnya, La Ode dan aktivis mahasiswa lainnya memutuskan untuk mengumumkan hasilnya melalui media anti mainstream, seperti BBC, Suara Australia, VOA, dan yang lainnya.

"Ya kami wawancara di situ untuk mengumumkan. Kita tahu bahwa orang gak percaya dengan suara media sini. Mainstream. Gak terlalu dipercaya. Orang percaya untuk tahu kondisi politik di Indonesia lewat siaran-siaran media seperti itu," kata La Ode.

4. Aksi digelar mahasiswa di Jogja untuk menarik perhatian media alternatif

Aksi 1998 di Jogja: Dari Safari Harmoko Hingga Referendum Mahasiswaselasar.com

La Ode juga bercerita, beberapa kali mahasiswa di Yogyakarta menggelar aksi untuk menarik perhatian media alternatif, karena itu adalah satu-satunya cara agar suara mereka dapat didengarkan. Menurutnya, di zaman kekuasaan Soeharto, dapat mengumpulkan massa di Yogyakarta hingga ratusan adalah sesuatu yang luar biasa.

"Pada maret 1998, di Jogja digelar aksi untuk menarik media-media alternatif. Dan bagi media alternatif itu menjadi scene yang sangat menarik," tutur La Ode.

"Kalo kita lihat eskalasinya tipikal zaman itu, kalau kita aksi 100 sampai 200 orang, itu hebat," sambung dia. "Intinya, kita sekalipun Golkar mencalonkan Soeharto jadi presiden, rakyat menolak."

5. Krisis ekonomi membuat mahasiswa bertekad turunkan Soeharto

Aksi 1998 di Jogja: Dari Safari Harmoko Hingga Referendum Mahasiswawikipedia.com

Ekonomi yang semakin terpuruk akibat krisis, menjadi salah satu alasan rakyat menolak Soeharto untuk kembali memimpin Indonesia. La Ode pun mengungkapkan, jika ekonomi Indonesia makin merosot saat Januari 1998, setelah bulan ramadan.

"Kalau saya amati, bulan Januari ramadan, lalu teman-teman UGM mau ujian. Habis ramadan kan liburan ya, pulang-pulang mahasiswa seperti dapat tonjokan di uluhati gitu," ungkap La Ode.

"Sebelum kita pulang ramadan, kita makan, Rp 500 sudah dapat nasi sayur dan telor.  Waktu balik, gak dapet lagi setelah itu. Makan pake telur Rp 1.300," lanjutnya.

Bukan hanya masalah makanan yang terasa kenaikannya. La Ode menjelaskan jika harga kertas HVS juga menjadi sangat mahal saat itu.

"Februari awal itu ujian, dan mahasiswa mau ujian itu foto copy soal-soal tahun sebelumnya, baru terasa. Ini barang sudah mahal. Kertas 1 rim Rp 12 ribu - Rp 13 ribu per rim 70 kg, naik sampe Rp 35 ribu sampe Rp 70 ribu," terang La Ode.

Kenaikan harga yang luar biasa lah, menurut La Ode, yang membuat mudah untuk mengumpulkan massa yang banyak saat itu.

"Itu yang saya kira kita jadi gampang untuk ngumpulin orang. Dan bahkan, saya sebagai pimpinan mahasiswa pada waktu itu, kalau kita ada jeda lama, kapan lagi nih aksi," kata dia.

6. Aksi digelar karena aspek kompetisi

Aksi 1998 di Jogja: Dari Safari Harmoko Hingga Referendum Mahasiswasuma.ui.ac.id

La Ode mengungkapkan, aksi yang digelar ribuan mahasiswa di berbagai kota sesungguhnya karena didasari juga oleh aspek kompetisi antar kampus dan antar kota. Jika salah satu kampus turun aksi, kampus lain akan merasa 'panas' dan ingin juga turun aksi.

"Jadi kalo UI udah turun, masa Jogja gak. Gerakan kita itu ada suasana seperti itu. Yang gerakan kita adalah gerakan kompetisi," ujar La Ode.

Uniknya lagi, pada masa itu tidak ada handphone untuk berkomunikasi. Sehingga, para mahasiswa hanya berkomunikasi melalui pager dan juga media.

"Zaman itu tidak ada handphone, dan pake pager. Kalau di Jogja cuma 1 dan 2 orang (yang punya handphone)," ucapnya.

"Yang membuat komunikasi tidak langsung adalah keributan di tv. Media ini, kita membutuhkan media sebenarnya waktu itu," tambah La Ode.

Baca juga: Flashback Peristiwa 12-13 Mei 1998, Begini Kronologinya

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya