Ini Surat Kartini tentang Kegelisahannya terhadap Pernikahan Anak
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times-Kartini menulis surat kepada Nona E.H Zeehandelaar atau Stella pada 25 Mei 1899, “Kami gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu.
Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, ke luar rumah tiap hari saja sudah dikatakan amat melanggar adat.
Ketahuilah bahwa adat negeri kami melarang keras gadis ke luar rumah. Ketika saya sudah berumur dua belas tahun, lalu saya ditahan di rumah, saya dikurung di dalam rumah seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tidak boleh keluar ke dunia itu lagi, bila tiada serta seorang suami...”
Sudah 119 tahun Kartini menyatakan kegelisahannya terhadap praktik perkawinan anak seperti yang dituangkan dalam suratnya kepada Stella. Ternyata kegelisahan dan perjuangannya untuk menghentikan perkawinan anak berlangsung masih terjadi hingga kini dan menjadi komitmen banyak pihak untuk mengentikannya.
1. 1.000 surat perempuan dukungan kepada komitmen presiden menerbitkan Perppu
Baca juga: Apakah Islam Membolehkan Pernikahan di Bawah Umur? Yuk Simak Penjelasannya
Surat ini disuarakan oleh para perempuan arus bawah dari Sekolah Perempuan miskin kota Jakarta, wilayah miskin pedesaan Gresik Jawa Timur, daerah terpencil dan kepulauan-Pangkep Sulawesi Selatan, wilayah pegunungan terpencil Lombok Utara dan Lombok Timur-NTB, wilayah pesisir dan kekeringan di Kupang-NTT serta wilayah kerusakan lingkungan di Kota Padang-Sumbar.
Perjuangan ini penting untuk merespons situasi Indonesia yang menduduki peringkat ketujuh tertinggi di dunia dalam praktek Perkawinan Anak. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 dan 2015 menunjukkan bahwa ada 1 (satu) kasus perkawinan anak di setiap 5 (lima) orang.
2. Perkawinan anak berdampak pada gagalnya Indonesia dalam sejumlah bidang penting
Berdasarkan realitas masyarakat terutama yang terjadi di masyarakat akar rumput, perkawinan anak merupakan masalah yang serius bahkan akut. Perkawinan anak menyebabkan perempuan putus sekolah dan ini menjadi resiko kegagalan program wajib belajar 12 tahun.
Editor’s picks
Perkawinan anak juga menyebabkan Angka Kematian Ibu tinggi dan sulit diturunkan karena secara organ reproduksi, anak perempuan belum siap menjalani kehamilan kelahiran. Dampak lainnya adalah mereka tidak dapat mengakses pekerjaan layak sehingga banyak bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan hukum, rentan kekerasan dan upah rendah.
Dengan demikian mereka berada dalam rantai kemiskinan dan menghambat penurunan ketimpangan di Indonesia.
3. Dalam rangka Hari Kartini dan Hari Pendidikan 2018 gerakan Perempuan untuk Stop Perkawinan Anak menyatakan dukungan
2. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk melakukan penyadaran dan pemberdayaan kepada publik tentang pentingnya penghapusan dan penghentian perkawinan anak.
3. Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, untuk bekerja lintas sektoral dalam upaya bersama penghapusan dan penghentian perkawinan anak.
"Kami menyerukan kepada masyarakat Indonesia untuk terlibat aktif dalam upaya pencegahan dan penghapusan perkawinan anak dan menjauhkan dari sikap-sikap yang menghambat dengan menggunakan dalih apapun," tulis mereka dalam rilis yang diterima IDN Times, Sabtu (21/4)
Aksi Bersama yang diinisiasi oleh Gerakan Perempuan untuk Stop Perkawinan Anak ini akan diselenggarakan secara serentak di 5 wilayah yaitu Kabupaten Gresik (Jawa Timur), Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Sulawesi Selatan), Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Utara (NTB), Kabupaten Kupang (NTT) dan Kota Padang (Sumbar).
"Kami bergerak dan peduli terhadap generasi dan masa depan Indonesia terutama perempuan yang rentan menjadi korban perkawinan anak."
“Cegah dan Akhiri Perkawinan Anak “
Baca juga: Kronologi Pernikahan Anak 15 dan 14 Tahun di Bantaeng, KUA Tak Kuasa Menolak