Menkes: 71 Orang Tewas Akibat Campak dan Gizi Buruk di Papua

Penggunaan dana otsus di Papua diminta dievaluasi

Jakarta, IDN Times - Menteri Sosial Idrus Marham mengatakan korban tewas akibat gizi buruk dan penyakit campak di Papua mencapai 71 orang. Namun, puluhan orang itu meninggal bukan terjadi pada tahun ini saja, tetapi sudah berlangsung beberapa tahun sebelumnya. 

Untuk meminimalisasi lebih banyak korban yang jatuh, Idrus telah menginstruksikan Kemensos mengirimkan bantuan seberat tiga ton. Di dalamnya terdapat makanan siap saji, termasuk biskuit yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak. 

Lalu, mengapa bisa terjadi gizi buruk dan penyakit campak di provinsi paling timur Indonesia itu? Berikut penjelasan yang disampaikan Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani usai menggelar rapat koordinasi dengan beberapa Menteri:

1. Sebanyak 71 orang tewas dan kebutuhan dokter

Menkes: 71 Orang Tewas Akibat Campak dan Gizi Buruk di PapuaIDN Times/Santi Dewi

Menteri Kesehatan Nila Moeloek tidak membantah pernyataan Idrus soal jumlah korban tewas akibat gizi buruk dan penyakit di Papua. Jumlahnya mencapai 71 orang di area Asmat. 

Hal itu dapat terjadi lantaran dipicu oleh empat faktor yakni kesehatan, sosial budaya, infrastruktur, dan tata kelola pemerintahan. Untuk meminimalisasi korban jiwa, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Inpres nomor 9 tahun 2017 tentang percepatan pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan payung hukum itu pula, antarkementerian dan lembaga dapat bekerja sama untuk mengatasi gizi buruk dan penyakit campak.

Selaku Menkes, Nila mengaku sudah meminta jajarannya untuk melakukan imunisasi. 

"Ada sekitar 13.300an orang yang sudah diimunisasi. Namun, ada pula beberapa distrik yang belum dapat dijangkau. Sistem yang kami lakukan saat ini, yaitu setiap 10 hari diganti (tenaga kesehatannya). Ini sudah menjadi 10 hari yang ketiga," ujar Nila ketika memberikan keterangan pers pada Rabu, 31 Januari di Kemenko PMK. 

Kemenkes juga mengerahkan tenaga kesehatan spesialis yang sayangnya baru dapat dikerahkan untuk bekerja di RSUD Agats. Ia mendapat data masih ada sekitar 30 orang yang dirawat di rumah sakit dan gereja. 

"Karena jumlah kamar yang tidak cukup di rumah sakit dan di gereja pun hanya tersisa beberapa orang lagi," kata dia.

Selain bekerja di RSUD Agats, Nila turut mengirim tenaga kesehatan di puskesmas-puskesmas di distrik-distrik di Papua. 

"Dari informasi yang kami dapat, mereka juga membutuhkan dokter umum. Oleh sebab itu, kami akan merekrut dan mengirim mereka kembali ke Papua dan Papua Barat," ujar perempuan yang menjadi Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu. 

Nila mengaku memiliki tenggat waktu tertentu kapan permasalahan Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk ini dapat teratasi secara keseluruhan. Sayangnya, dia enggan menyampaikan hal tersebut.

2. Pemerintah alokasikan bantuan Rp 3 miliar

Menkes: 71 Orang Tewas Akibat Campak dan Gizi Buruk di PapuaAntara Foto/Agung Rajasa

Di tempat yang sama, Idrus mengatakan kementerian yang ia pimpin akan mengalokasikan dana sebesar Rp 3 miliar yang digunakan untuk mengembangkan komunitas adat terpencil. Dana itu rencananya digunakan untuk jangka hingga dua tahun mendatang,

Idrus berpikir melihat cara warga Papua yang tinggal dan tersebar di beberapa area, maka ia ingin membangun komunitas adat terpencil. 

"Bagaimana nanti kami ingin menyatukan mereka di satu tempat (ada kelompok) 1-5. Tetapi, tentu nanti akan kami sesuaikan dengan kondisi yang ada. Jadi, ada pengembangan komunitas adat terpencil di beberapa tempat," kata dia. 

Diharapkan dengan adanya komunitas itu, bantuan yang didistribusikan oleh pemerintah pusat bisa lebih tepat sasaran, sehingga permasalahan gizi buruk dan penyakit campak dapat teratasi.

Sementara, di tempat yang sama Puan mengatakan program yang ditujukan untuk area Papua dan Papua barat sudah terealisasi 90 persen. Ia mengakui tidak bisa semua wilayah dijangkau oleh tim dari pemerintah pusat, karena letak geografisnya yang sulit. 

"Tetapi, itu bukan jadi penghalang bagi negara hadir di sana. Kami juga akan melakukan koordinasi dan sinergi dengan Pemerintah Daerah. Ke depannya, kami akan membawa SDM dari luar Papua untuk mengajarkan Pemda, sehingga mereka bisa terlibat lebih banyak," katanya. 

3. Dana otonomi khusus diminta untuk dievaluasi

Menkes: 71 Orang Tewas Akibat Campak dan Gizi Buruk di PapuaAntara Foto/Agung Rajasa

Bercermin dari peristiwa ini, muncul pertanyaan mengenai efektivitas Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang sudah dialokasikan pemerintah pusat bagi Papua. Dalam RAPBN 2016, pemerintah memberikan dana otonomi khusus bagi Papua dan Papua barat sebesar Rp 7.765.059.420.000. Angka ini naik dari anggaran sebelumnya yang mencapai Rp 7 triliun. 

"Alokasi dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat itu dibagi 70 persen atau Rp 5.435.541.600.000 untuk Provinsi Papua dan 30 persen atau Rp2.329.517.820.000 untuk Provinsi Papua Barat," demikian bunyi keterangan pemerintah dalam RAPBN tahun anggaran 2016 lalu. 

Angka itu tergolong besar untuk suatu daerah. Namun, faktanya di Papua justru masih banyak yang mengalami gizi buruk. 

Melihat fakta itu, Wakil Presiden Jusuf "JK" Kalla meminta agar dilakukan evaluasi yang menyeluruh terhadap penggunaan dana otsus. Hal itu perlu dilakukan untuk mengetahui apakah dana tersebut tepat sasaran atau tidak. 

JK menilai kalau ada indikasi korupsi dalam penggunaan dana otsus, maka perlu ada tindakan hukum. 

"Jadi, memang dievaluasi itu berarti benar atau tidak peruntukan dana untuk otsus itu," ujar JK di Jakarta pada Selasa kemarin (30/01).

Menindak lanjuti permintaan ini, Puan mengaku masih menunggu evaluasi dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. 

"Itu sedang dilihat dan dikaji dulu. Tapi yang pasti dana otsus yang dikirim pemerintah ke Papua dan Papua Barat cukup besar, jadi seharusnya cukup," kata Puan. 

Selan Papua, provinsi lain yang menerima dana otsus adalah Yogyakarta dan Aceh. 

Topik:

Berita Terkini Lainnya