Kesi dan Sutrisno, Seperempat Abad Menjaga Perlintasan Kereta Tak Berpalang

Tak hanya mobil, kereta juga pernah disetop

Surabaya, IDN Times - Siang itu, matahari di langit Kota Surabaya tepat di atas kepala. Sesosok pria berompi hijau dengan sabar memantau pengendara yang melintas perlintasan kereta api tak berpintu di Jalan Gayung Kebonsari, Kec. Gayungan, Kota Surabaya. 

Kesi dan Sutrisno, Seperempat Abad Menjaga Perlintasan Kereta Tak BerpalangIDN Times/Rudy Bastam

Bermodalkan bendera merah seadanya, pria bernama Kesi (64) itu berdiri dengan jarak hanya selemparan batu dari rel. Hanya topi caping dan selembar kain yang diikatnya di leher sebagai penangkal sengatan matahari. Sesekali dia menenggak air mineral kemasan untuk sekadar menghilangkan dahaganya.

Mata dan telinganya cukup waspada. Saat dari kejauhan terdengar desis mesin kereta, dia akan segera merentangkan tangan, tanda larangan melintas bagi pengendara.  

Atas dasar sukarela sejak 25 tahun yang lalu.

Kesi dan Sutrisno, Seperempat Abad Menjaga Perlintasan Kereta Tak BerpalangIDN Times/Rudy Bastam

Pria kelahiran Jember, Jawa Timur itu telah menjadi penjaga palang pintu kereta api sejak tahun 1992 atau 25 tahun yang lalu. Dia mengaku mengawali pekerjaan sebagai penjaga palang pintu kereta api atas dasar sukarela. "Saya lihat dulu belum ada palangnya tapi kendaraan yang lewat sudah banyak. Jadi sukarela saya jaga," ujarnya kepada IDN Times Senin, (30/10).

Kesi berbagi tugas dengan empat rekan lainnya. Dalam sehari, dirinya mendapat jadwal berjaga antara pukul 12.00 hingga 16.30 WIB. Sebenarnya, kata dia, ada palang pintu besi hasil sumbangan dari warga setempat, namun Kesi enggan menggunakannya. "Terlalu berat, saya gak kuat ngangkat dan nurunin sendiri," ujarnya. 

Baca juga: 5 Jalur Kereta Api Terekstrim di Dunia, Berani Lewat?

Tak hanya mobil, kereta juga pernah disetop.

Kesi dan Sutrisno, Seperempat Abad Menjaga Perlintasan Kereta Tak BerpalangIDN Times/Rudy Bastam

Sekitar dua kilometer dari lokasi tersebut juga terdapat perlintasan kereta api tak berpintu yang dijaga oleh Sutrisno (60). Sama seperti Kesi, Sutrisno juga telah menjadi penunggu perlintasan kereta api sejak 25 tahun yang lalu. "Alhamdulillah, senang bisa nolong orang," ujarnya. Baik Kesi dan Sutrisno sama-sama bersyukur sebab sejak awal bekerja hingga saat ini belum ada kecelakaan di perlintasan mereka. 

Walau demikian Sutrisno mengaku ada kejadian yang tak terlupakan. Saat itu, kondisi perlintasan macet akibat jam sibuk. Beberapa mobil bahkan tepat berhenti di atas rel kereta. Sadar kereta sudah waktunya datang, Sutrisno berlari ke arah datangnya kereta dengan melambai-lambaikan bendera merah meminta masinis untuk menghentikan laju keretanya. 

"Itu dari penataran PJKA (sekarang PT KAI), antisipasi kemacetan kita lari ke arah datangnya kereta minimal 1,5 kilometer, supaya kereta bisa direm," kenangnya. Sutrisno mengaku sudah dua kali mengalami momen serupa. 

Tambal kebutuhan dapur dengan cuci mobil.

Kesi dan Sutrisno, Seperempat Abad Menjaga Perlintasan Kereta Tak BerpalangIDN Times/Rudy Bastam

Rasanya tak ada seorang pun yang bercita-cita menjadi penjaga palang pintu kereta. Selain harus bergelut dengan debu dan terik matahari, profesi ini juga sarat risiko. Namun, karena tak ada pilihan, mereka terpaksa menjalani pekerjaan ini hingga seperempat abad. 

Tak hanya abai dalam hal keselamatan, pendapatan para penjaga perlintasan juga tak menentu. Maklum, rezeki mereka tergantung dari sumbangan sukarela para pengendara yang melintas.

Jika sedang apes, mereka hanya mendapatkan tak lebih dari Rp 30 ribu. Sebaliknya, jika mujur, Rp 100 bisa mereka kantongi dalam sehari. Tentu duit sejumlah itu tak cukup untuk membiayai hidup mereka dan keluarga.

Untuk menambahnya, mereka harus mencari sumber pendapatan lain. Kesi misalnya, memilih menjadi buruh cuci mobil. Lain halnya dengan Sutrisno, dirinya mengais rejeki dengan mengumpulkan besi-besi bekas untuk kemudian dijual lagi. "Jual rombeng (barang bekas), itu di samping rumah saya," ujarnya seraya menunjukkan tumpukan besi bekas tak jauh dari rel kereta. 

Bagaimanapun nasib yang harus dijalani, mereka mengaku pasrah. Bagi Kesi dan Sutrisno, Tuhan tak pernah keliru, apalagi libur dalam memberi rezeki.

Baca juga: Merasa Hidupmu Sulit? Bangkitkan Motivasimu dengan 10 Kisah Ini

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya