Status Badan Hukum HTI Resmi Dicabut

HTI ajukan uji materi Perppu Ormas.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM mengumumkan pencabutan status badan hukum organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada Rabu (19/7).

Langkah ini termaktub dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI.

Pemerintah menindaklanjuti Perppu Ormas.

Status Badan Hukum HTI Resmi DicabutReno Esnir/ANTARA FOTO

Dirjen AHU Kemenkumham, Freddy Harris  mengatakan bahwa pencabutan status badan hukum HTI sejalan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan atau Perppu Ormas. "Maka dengan mengacu pada ketentuan Perppu tersebut terhadap status badan hukum HTI dicabut," tegas Freddy, seperti dikutip dari Kompas.

Menurut Freddy, kementeriannya berwenang secara legal administratif untuk mengatur pengesahan sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) maupun mencabut pengesahan tersebut. Lebih lanjut, Freddy menyatakan ormas yang dibubarkan adalah yang memiliki ideologi berlawanan dengan ideologi dan hukum Indonesia.

Baca Juga: Tolak Dibubarkan, HTI Siapkan Tim Hukum

HTI meminta uji materi Perppu Ormas.

Status Badan Hukum HTI Resmi DicabutGalih Pradipta/ANTARA FOTO

Pengesahan Perppu Ormas oleh pemerintah memang merugikan HTI. Pasalnya, dengan secara terbuka mendukung pendirian negara khilafah, ormas tersebut dinilai bermusuhan dengan Pancasila sebagai dasar negara sehingga dipandang mengancam persatuan.

Pemerintah pun mengatakan bahwa sesuai aturan tersebut, maka HTI harus dibubarkan. Pihak HTI sendiri mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan uji materi Perppu Ormas kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini resmi dilayangkan pada Selasa (18/7).

Kuasa hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan ada pasal-pasal dalam Perppu Ormas yang bertentangan dengan UUD 1945, termasuk pasal-pasal yang multitafsir. Ia mempertanyakan definisi pemerintah soal ajaran atau paham yang bertolak belakang dengan Pancasila, seperti ateisme dan komunisme.

Menurutnya, ini adalah bentuk kesewenang-wenangan pemerintah. Ia kemudian mempersoalkan tidak adanya peran pengadilan dalam penafsiran dari definisi tersebut. "Kalau tidak melalui pengadilan, maka tafsir hanya berasal dari pemerintah. Tafsir anti-Pancasila bisa berbeda antara satu rezim dengan rezim yang lain," tambahnya.

Baca Juga: HTI Dibubarkan, Sejumlah Tokoh Agama Angkat Bicara

Topik:

Berita Terkini Lainnya