Setelah 48 Tahun, Soe Hok Gie Tetap Jadi Aktivis Idola Anak Muda

Hari ini tepat 48 tahun wafatnya aktivis pencinta alam tersebut.

Jakarta, IDN Times - Siapa tak pernah mendengar nama Soe Hok Gie? Saking terkenalnya, sosok aktivis yang vokal sejak usia muda tersebut sampai dibuatkan film berjudul Gie, yang diperankan oleh Nicholas Saputra.

Tak bisa dipungkiri sejak dirilisnya Gie pada 2005, laki-laki keturunan Tionghoa tersebut seperti sudah menjadi bagian dari kultur pop di Indonesia. Statusnya mungkin belum sepopuler aktivis belahan dunia lainnya, Che Guevara, yang potretnya banyak terpampang di kaos-kaos, dan dengan bangga dipakai anak muda dari berbagai negara.

Meski demikian, Gie adalah sosok inspirasi bagi millennial Indonesia yang melek politik dan sastra. Hari ini, 16 Desember 2017, tepat 48 tahun sejak Gie menghembuskan napas terakhirnya di puncak Gunung Semeru, Jawa Timur. Ia meninggal sehari sebelum genap memasuki usia 27 tahun.

Setelah 48 Tahun, Soe Hok Gie Tetap Jadi Aktivis Idola Anak MudaTempo

Banyak sekali yang bisa diteladani dari sosok Gie semasa hidupnya. Di antaranya adalah tiga hal berikut ini:

1. Gie ikut membantu mendirikan Mapala UI.

Laki-laki kelahiran Jakarta itu sangat mengagumi alam. Maka, kematiannya di puncak gunung yang perkasa seperti Gunung Semeru pasti tidak bisa lebih puitis lagi. Kecintaannya pada alam membuatnya ikut turun tangan mendirikan organisasi Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) pada 1965.

Meski ia telah tiada, tapi organisasi ini tetap menunjukkan eksistensinya. Barangkali pelajaran yang bisa diambil oleh millennial masa kini adalah, hobi positif yang kamu sukai berpotensi menjadi sesuatu yang besar jika kamu sungguh-sungguh menjalaninya.

Baca Juga: [OPINI] Millennials Perlu Berpolitik, Jangan Titipkan Indonesia Pada Para Badut!

2. Baginya manusia baru bisa disebut manusia jika punya rasa iba.

Kegemarannya menikmati karya-karya puisi dan esai filsafat membuat aktivis yang sering mengkritik Soekarno dan Soeharto ini menjadi pemikir yang tak hanya menggunakan akal, tapi juga hati. Menurutnya, bukan sekadar kepandaian yang membedakan manusia dengan yang lainnya.

Dalam bukunya yang berjudul Catatan Seorang Demonstran, Gie pernah menulis: "Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: 'dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan'. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurd-lah hidup kita."

Setelah 48 Tahun, Soe Hok Gie Tetap Jadi Aktivis Idola Anak MudaInstagram Rezza Pramaditya

3. Tulisan menjadi senjata Gie dalam memprotes banyak ketidakadilan yang dilihatnya.

Gie sangat aktif menulis. Ia pun selalu menyimpan catatan harian untuk menuliskan segala keresahannya. Sejumlah tulisannya berhasil diterbitkan oleh harian Kompas dan Sinar Harapan.

Salah satu tulisan yang menarik dari Gie adalah tentang pembantaian anggota dan orang-orang yang diduga anggota PKI di Bali. Gie secara lantang menyuarakan rasa tidak sukanya kepada PKI, namun ia juga adalah salah satu orang pertama yang menentang pembantaian tersebut.

Melalui salah satu esai dalam Zaman Peralihan, Gie menulis: "Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian. Jika di antara pembaca ada yang mempunyai teman orang Bali, tanyakanlah apakah dia mempunyai teman yang menjadi korban pertumpahan darah itu. Ia pasti akan mengiyakan karena memang demikianlah keadaan di Bali. Tidak seorang pun yang tinggal di Bali pada waktu itu yang tidak mempunyai tetangga yang dibunuh atau tidak dikuburkan oleh setan hitam berbaret merah yang berkeliaran di mana-mana pada waktu itu."

Posisi Gie bukan untuk menunjukkan standar ganda, melainkan bukti bahwa baginya moralitas itu tidak bersifat abu-abu. Ia mengutuk PKI dan cara-cara yang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan.

Namun, apa yang dilakukan PKI tidak bisa menjadi pembenaran pihak lain, dalam hal ini pemerintahan Soeharto, untuk menggunakan cara yang tak berperikemanusiaan untuk menumpas mereka. Gie juga patut mendapat pujian karena ia berani menyebut militer yang sangat berkuasa saat itu sebagai "setan".

Baca Juga: Henk Ngantung, Pria Kristen dan Keturunan Tionghoa Pertama yang Jadi Gubernur Jakarta

Topik:

Berita Terkini Lainnya