Penggusuran Bukit Duri: Ketika Birokrasi Mengalahkan Sisi Kemanusiaan

Ini menyangkut hidup manusia

Rabu (28/9) penggusuran bangunan penduduk di Bukit Duri yang terletak di pinggir Kali Ciliwung oleh Pemprov DKI dimulai. Banyak pihak, termasuk pendiri Sanggar Ciliwing Merdeka bernama Sandyawan dan politisi Fadli Zon, mengkritik keputusan tersebut sebagai tindakan ilegal.

Penggusuran tetap berjalan meski banyak pihak menuduh Pemprov DKI melakukan tindakan ilegal.

Penggusuran Bukit Duri: Ketika Birokrasi Mengalahkan Sisi Kemanusiaantirto.id

Berdasarkan informasi dari Jakarta Post, Ciliwung Merdeka adalah sebuah organisasi yang mengadvokasi penduduk Bukit Duri yang memperjuangkan hak mereka atas tanah dan rumah yang selama ini mereka tempati. Sandyawan berupaya menuntut Pemprov DKI yang ia yakini telah melakukan aksi ilegal sebab proses hukum berkaitan dengan Bukit Duri masih berjalan.

Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Fadli Zon. "Pemprov DKI Jakarta tak bisa melakukan pembongkaran, karena proses pengadilan masih berlangsung. Tunggu keputusan pengadilan. Jika hukum dan tuntutan keadilan dilanggar terus, negara ini akan menuju kehancuran," kata politisi Gerindra tersebut dalam siaran persnya yang dikutip oleh Okezone (28/9).

Fadli juga mengingatkan Pemprov DKI agar selalu mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan hukum, utamanya karena penggusuran ini menyangkut hidup manusia. Selain Sandyawan dan Fadli Zon, para aktivis dari berbagai LSM juga menyuarakan protes serupa. Ada sekitar 100 keluarga Bukit Duri yang melayangkan gugatan class-action ke pengadilan.

Baca Juga: Foto-foto Nasib Bukit Duri yang Kini Diratakan dengan Tanah oleh Pemprov DKI Jakarta

Ahok punya alasan untuk tetap mengeksekusi rencana penggusuran.

Penggusuran Bukit Duri: Ketika Birokrasi Mengalahkan Sisi Kemanusiaantirto.id

Pada 9 September lalu Berita Jakarta merilis pernyataan Ahok bahwa rencana penggusuran di Bukit Duri akan terus berjalan. Ahok menantang warga Bukit Duri untuk menunjukkan bukti kepemilikan sah. "Iya, mereka punya dokumen, tapi dokumen apa? Kenyataannya, mereka hanya punya bukti pembelian rumah yang telah dibangun di atas tanah negara", Ahok melanjutkan, "Lebar asli dari Sungai Ciliwung adalah 60 meter (berdasarkan peta era kolonial), namun sekarang hanya antara 5 hingga 10 meter. Artinya, warga Bukit Duri mengklaim tanah yang bukan milik mereka." 

Lalu, Ahok juga memberi alasan bahwa urusan birokratis yang tidak bisa ditunda membuat rencana penggusuran tersebut harus tetap dilanjutkan. "Pemprov DKI tidak bisa lagi menunda penggusuran meski proses hukum masih berjalan sebab program normalisasi Sungai Ciliwung adalah proyek yang berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan menggunakan anggaran negara tahun 2016. Maka normalisasi harus segera dimulai", ujarnya seperti dilansir dari Jakarta Post.

Selain itu, cagub petahana DKI Jakarta itu menyebutkan bahwa sebagian besar warga Bukit Duri sudah pindah ke rusunawa Rawa Bebek di Jakarta Timur. Memang ada sejumlah 313 keluarga Bukit Duri yang sudah meninggalkan Bukit Duri sejak mengetahui kabar penggusuran akan tetap dilakukan.

Apakah ini berarti penggusuran tersebut adalah hal yang bijak?

Penggusuran Bukit Duri: Ketika Birokrasi Mengalahkan Sisi Kemanusiaanposkotanews.com

Ahok sempat berkata bahwa dia tidak peduli pada protes aktivis-aktivis LSM yang mengkritik keputusannya. "Mereka boleh protes, tapi berikan solusi alternatifnya," ujar Ahok kepada Jakarta Post.
Persoalan banjir dan lingkungan hidup di Jakarta memang sudah sangat mendesak untuk diselesaikan. Salah satu caranya adalah dengan normalisasi waduk dan sungai. Tapi, Pemprov DKI melupakan sesuatu: warga yang tinggal di bantaran sungai maupun waduk tidak tinggal disana karena keinginan mereka.

Seperti manusia pada umumnya, mereka juga ingin tinggal di tempat yang nyaman.
Hanya saja, perkaranya tidak sesederhana 'pergilah dari tempat tinggalmu di pinggir sungai dan pindahlah ke rusunawa di sebelah sana'.

Pertama, ada keterikatan batin yang dirasakan sebagian besar orang terhadap tempat mereka lahir dan besar. Ini adalah karakter kebanyakan orang Indonesia. Meski tempatnya kumuh, mereka punya banyak kenangan disana. 

Kedua, pertimbangkan mata pencaharian mereka. Orang-orang yang tinggal di pinggir sungai bukan orang yang memiliki kendaraan pribadi yang akan mengantar mereka kemanapun tempat mereka bekerja. Uang untuk transportasi umum pun lebih baik digunakan untuk membeli beras. Mayoritas dari mereka bekerja di sekitar tempat tinggal mereka dan bukan golongan orang yang bisa mudah pindah pekerjaan karena persoalan skill.

Ketiga, dengan setidaknya mempertimbangkan kedua hal tersebut, masih ada dari mereka yang ingin memperjuangkan haknya. Jika Pemprov DKI berargumen bahwa menempatkan mereka ke rusunawa gratis juga bertujuan mengangkat harga diri mereka, tidakkah menghargai proses hukum yang sedang berjalan juga bentuk apresiasi terhadap harga diri mereka?

Tidakkah mereka merasa lebih dihargai jika diajak berdiskusi dengan baik dan sama-sama membuat rencana jangka panjang? Warga yang dikatakan sebagai penghuni ilegal ini juga ingin dianggap sebagai manusia yang bisa diundang untuk membuat kebijakan, terutama yang mempengaruhi hajat hidup mereka.

Baca Juga: Kabut Asap Indonesia Berpotensi Telan Nyawa Hingga 100.000 Orang, Dunia Minta Pemerintah Beraksi!

Topik:

Berita Terkini Lainnya