Mencari Jejak Keturunan Yahudi di Surabaya
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Surabaya, IDN Times - Tak banyak yang tahu kalau warga keturunan Yahudi pernah bermukim di Surabaya. Mereka umumnya merupakan imigran dari beberapa negara eropa. Tak sekadar menetap, mereka bahkan membangun sebuah tempat ibadah yang lazim disebut sinagoge.
Namun, seiring perkembangan zaman, keberadaan mereka di Indonesia semakin terdesak. Selain karena tak masuk dalam lima agama yang diakui pemerintah, Yahudi juga terlanjur mendapat cap jelek karena diidentikkan dengan negara Israel.
Setelah tak lagi mendapat tempat, sebagian mereka memilih kembali ke negara masing-masing. Namun, tak sedikit dari mereka melanjutkan hidup di Surabaya dan berbagai kota lain. Meski saat ini mereka menutup diri, namun tanda-tanda bahwa mereka sempat menikmati hidup di Kota Pahlawan bisa terlihat dari berbagai bukti sejarah.
1. Ada seorang saudagar besar Yahudi di Surabaya yang terkenal
Kedatangan bangsa Yahudi di Surabaya tak bisa dilepaskan dengan aktivitas perdagangan di Kota Pahlawan tersebut. Hal ini dibenarkan oleh salah satu sejarawan dari Universitas Ciputra, Freddy Sutanto.
Layaknya penyebaran agama lain, ajaran Yahudi juga berasimilasi dengan budaya setempat melalui transaksi jual beli. Setidaknya, kata dia, ada satu nama saudagar besar Yahudi di Surabaya yang tenar saat itu. Ia adalah Charles Mussry.
Mussry yang diketahui lahir pada tahun 1919 itu terkenal sebagai pengusaha otomotif. Ia memiliki beberapa bengkel dan showroom di Surabaya. "Dia meninggal sekitar tahun 1971, makamnya di Kembang Kuning," ujar Freddy.
2. Pernah berdiri sebuah sinagoge
4. Komunitas Yahudi memiliki makam khusus di Surabaya
Tetenger lain dari keberadaan komunitas Yahudi di Surabaya adalah pemakaman mereka di kawasan Kembang Kuning. Satu area di salah satu pojok dikhususkan untuk pengikut Yahudi. Saat kami berkunjung ke sana, kami melihat jumlah makamnya tak sebanyak milik Kristen. Barangkali tidak sampai 50 makam.
Banyak yang dimakamkan di sana lahir sebelum Indonesia merdeka. Satu yang tertua lahir pada 1876. Pengikut Yahudi di Surabaya memang cukup berkembang pada masa Perang Dunia II untuk menghindari Holocaust di Jerman.
Seiring berlalunya waktu, jumlah mereka kian menurun. Indonesia sendiri tidak mengakui Yahudi sebagai agama resmi. Ini berbeda dengan pada masa kolonialisme Belanda ketika mereka mendapatkan tempat di Nusantara.
5. Mereka juga sempat memiliki tempat perkumpulan yang sebagian kini digunakan kantor BPN
Bangunan lain yang menjadi saksi bisu keberadaan keturunan Yahudi adalah gedung perkumpulan Freemason. Pengikut Yahudi, termasuk yang berdarah Jerman dan Belanda, pernah menjadi anggota organisasi ini. Di Surabaya, mereka mendirikan sebuah markas di Jalan Tunjungan dengan nama Loge De Vriendschap atau yang berarti Loji Persahabatan. Komunitas ini mengalami masa kejayaan pada 1800-an.
Tempat tersebut memang kemudian mendapatkan status Bangunan Cagar Budaya dari Wali Kota Surabaya pada 1996. Sayangnya, ketika kami mendatanginya, gedung yang sebenarnya masih terasa kesan magisnya itu justru terlihat sangat tidak terurus. Selain dipenuhi ilalang liar di sisi kanan kirinya, pelatarannya juga dipakai tempat parkir biasa.
Editor’s picks
Di bagian gapura ada tulisan yang menyebutkan tanah tersebut milik Perkumpulan Loka Pamitran yang merupakan nama lain Loge De Vriendschap. Bagian depan bangunan sudah difungsikan untuk arsip Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Kami pun bertanya kepada Rahman, penjaga bagian lain dari gedung tersebut. Ia dekat dengan Eddy Samson yang disebut sebagai satu-satunya orang yang memegang kunci ke dalam area Loji Pamitran. Rahman mengaku pernah masuk ke dalam ruangan bawah tanah bersama Eddy.
"Di bawah itu besar [ukurannya]. Ada lukisan-lukisan, keramik. Lalu, ada terowongan besar yang salah satunya mengarah ke Hotel Majapahit. Ada yang ke Sogo Tunjungan Plaza. Dulu kan daerah sana itu sungai," kata Rahman.
Rahman juga mengaku masih sering ada tamu dari Belanda yang datang berkunjung dan masuk ke bawah tanah. "Syaratnya ya sudah dijadwalkan sama Pak Eddy," tambahnya. "Nanti kalau sama Pak Eddy, dia bawa buku besar, akan ditunjukkin foto tahun berapa, pintu apa buat apa."
6. Keturunan Yahudi kebanyakan berasal dari Armenia dan Jerman
Adapun sejarawan lain, Kuncarsono Prasetyo mengatakan, bahwa kebanyakan komunitas Yahudi di Surabaya berasal dari Armenia. Mereka umumnya saat ini merupakan keturunan keempat hingga kelima. "Jadi secara visual wajah memang mirip orang eropa timur." Selain Armenia, sebagian lain berasal dari Jerman.
Menurut Kuncar, tak ada catatan resmi tentang awal mula masuknya warga keturunan Yahudi ke Surabaya. Namun, mereka diduga mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1890an. Asumsi ini didasarkan pada tahun dibukanya terusan Suez.
Mereka tiba di Indonesia menumpang bangsa Belanda. "Jadi kan waktu itu Belanda ke sini gak cuma tentara. Ada juga, ilmuwan, arsitek, serta profesi lainnya."
7. Mereka kini memilih menutup diri
Kuncar mengatakan, keturunan Yahudi yang tersisa di Indonesia cenderung tertutup. Alasannya jelas, hingga saat ini keberadaan Yahudi masih dianggap sebagai representasi Israel dan segala kekejamannya di tanah Palestina.
Padahal, kata Kuncar, para pemeluk Yahudi di Surabaya hanya menjalankan ritual yang diajarkan para leluhur. Mereka tak memiliki agenda menguasai Indonesia.
Bagi yang sudah mendapatkan Kartu Tanda Penduduk, mereka umumnya mencantumkan salah satu agama yang diakui di Indonesia. "Kalau gak gitu, agamanya ditulis agama kepercayaan. Padahal sebagian dari mereka masih melakukan ritual layaknya pemeluk Yahudi. Saya pernah bertemu dengan komunitas ini, tapi sekarang mereka benar-benar hilang kontak dan menutup diri."
Mereka semakin terkucil usai satu-satunya sinagoge di Surabaya dirobohkan. Keberadaan rumah ibadah tersebut memang sempat menjadi kontroversi. Bagi yang tak menghendaki adanya Yahudi di Indonesia, mereka menuntut agar bangunan tersebut dirobohkan.
Sebaliknya, para pakar sejarah dan budayawan menilai sinagoge yang ada di Surabaya seharusnya tetap dipertahankan. Sebab, bangunan itu merupakan bagian dari sejarah. Mereka juga memprotes pemerintah kota saat itu yang tak menetapkannya sebagai cadar budaya. "Mungkin pemkot juga dilema. Kalau mereka kasih ini sebagai cagar budaya, nanti dianggapnya mendukung keberadaan Yahudi."
Hal ini diperparah dengan adanya konflik internal pada pengurus sinagoge. Konflik ini sendiri akhirnya berujung pada dijualnya sinagoge tersebut pada pihak ketiga sebelum akhirnya dirobohkan. (Laporan Rosa Folia dan Faiz Nashrillah)