Ketidakjelasan Prosedur Pemblokiran oleh Kemkominfo Memakan Korban?

Meresahkan...

Gerah dengan banyaknya berita bohong atau hoax, Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan pemblokiran terhadap terhadap media online yang dianggap mengndung konten negatif. Terbaru, sebanyak 11 situs online diblokir oleh kementerian. Selain dituduh menyebarkan berita bohong, mereka juga dinilai menebar rasa kebencian. Sayangnya pemblokiran tersebut membawa korban. Sebuah situs yang mewadahi opini netizen bernama Qureta.com, ikut diblokir sejak Selasa (3/1). Padahal mereka tidak masuk dalam daftar blokir. 

Sebuah situs mengalami pemblokiran selama dua hari tanpa ada keterangan atau alasan yang melatarbelakanginya.

Ketidakjelasan Prosedur Pemblokiran oleh Kemkominfo Memakan Korban?twitter.com/qureta

Chief Editor Qureta, Luthfi Assyaukanie mengatakan bahwa pemblokiran itu tanpa pemerintahuan. Para pengguna Qureta pun membanjiri mereka dengan berbagai pertanyaan. "Padahal semua tulisan yang masuk ke Qureta pasti diseleksi oleh tim editor. Selain memperhatikan hal teknis, editor juga punya berbagai standar," ujar Luthfie saat dihubungi IDNtimes.com, Jumat (6/1). Standar yang mereka miliki antara lain, tulisan dilarang menyinggung SARA, mengandung ujaran kebencian, atau bertujuan memprovokasi pembaca untuk melakukan tindakan kekerasan. Dengan pakem yang menurutnya telah dipegang Qureta, wajar bila ia dan pembaca sangat bingung serta kecewa mengapa situs Qureta bisa diblokir. 

Baca Juga: RUU ITE Akan Segera Disahkan, CCTV Bisa Jadi Alat Bukti Sah!

Rupanya Qureta menjadi korban salah blokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi.

Ketidakjelasan Prosedur Pemblokiran oleh Kemkominfo Memakan Korban?twitter.com/qureta

Luthfie kemudian mencoba mencari tahu mengapa situsnya diblokir. Hasilnya, diketahui bahwa pemblokiran dilakukan oleh para perusahaan penyedia jasa telekomunikasi. Selain itu, berdasarkan informasi yang didapatkannya, diketahui bahwa ada satu artikel dalam Qureta dianggap bermuatan hal yang menyinggung SARA. Sebaliknya, dia menilai bahwa artikel yang dimaksud sama sekali tak memenuhi unsur SARA. 

Tak puas, dia kemudian mencoba menghubungi langsung Menkominfo Rudiantara. Sebab, menurut dia, tak mungkin provider melakukan pemblokiran tanpa rekomendasai dari regulator. Rupanya Rudiantara tak tahu-menahu perihal ini. Ia kemudian menjelaskan bahwa Qureta tak termasuk dalam daftar situs yang harus diblokir oleh Kemkominfo. Rudiantara pun kemudian memerintahkan agar para provider mencabut blokir terhadap Qureta. Setelah dua hari terblokir tanpa kejelasan, akhirnya pada 5 Januari 2017 situs Qureta sudah bisa diakses kembali.

Perdebatan tentang tepat atau tidaknya pemblokiran karena melanggar Undang-undang Dasar dianggap tak penting karena pemerintah tetap melanjutkan kebijakan ini.

Ketidakjelasan Prosedur Pemblokiran oleh Kemkominfo Memakan Korban?Arief Kamaludin/katadata.co.id

Meskipun pemblokiran terhadap Qureta dicabut, namun Luthfie mengaku kecewa dengan ketidakjelasan prosedur pemblokiran yang dilakukan Kemkominfo. Dari awal, kata dia, upaya pemblokiran situs yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika ini sudah melanggar hak kebebasan berpendapat yang sejatinya dijamin oleh Undang-undang Dasar. "Kami tak pernah menyetujui pemblokiran terhadap situs apapun. Warga negara Indonesia punya hak untuk menyuarakan pendapat," tambahnya.

Standar dan prosedur pemblokiran oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika yang tak jelas dan tak transparan ini semakin meresahkan.

Ketidakjelasan Prosedur Pemblokiran oleh Kemkominfo Memakan Korban?Widodo S. Jusuf/ANTARA FOTO

Kementerian Komunikasi dan Informatika sendiri telah menerbitkan SK Menteri Nomor 209 Tahun 2015 Tentang Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Di dalamnya mengatur pembentukan sebuah divisi yang berisi beberapa Tim Penilai yang khusus mengurusi pemblokiran situs-situs yang dianggap mengandung SARA atau ujaran kebencian. Divisi tersebut bertanggungjawab untuk memberi rekomendasi penanganan situs yang bermuatan SARA dan melakukan verifikasi jika ada aduan dari masyarakat mengenai situs atau konten tertentu. Mereka juga bertugas untuk menutup suatu situs atau tidak.

Dalam SK tersebut juga dicantumkan bahwa mereka wajib melakukan pendekatan multi stakeholder sebelum membuat keputusan. Namun, apa yang terjadi kepada Qureta ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Selain masalah transparansi prosedur,  yang perlu dipertanyakan adala efektivitas pemblokiran yang sudah dilakukan beberapa kali. Sebab, penyebaran ujaran kebencian juga ternyata tidak berkurang dengan adanya penutupan portal berita. 

 

Baca Juga: 3 Hal Penting yang Harus Polisi Perhatikan Sebelum Patroli Siber Pilkada

Topik:

Berita Terkini Lainnya