[INFOGRAFIS] Cepatnya Penindakan Korupsi di Korea Selatan, Bagaimana dengan Indonesia?

Ada kasus e-KTP, Century, BLBI...

Mantan Presiden Korea Selatan Park Geun-hye telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Perkara tersebut menjadi perhatian publik karena melibatkan salah satu orang terdekatnya Choi Soon Sil dan bos Samsung Group, Lee Jae Yong. Jaksa menyebut bahwa Park bisa ditahan sampai 20 hari untuk memudahkan proses investigasi.

Pemakzulan dan penahanan Park, serta penangkapan Choi dan Lee, terjadi hanya dalam waktu lima bulan, cukup singkat. Bahkan, Korea Selatan sendiri sudah siap memilih Presiden baru pada 9 Mei mendatang. Penindakan kasus korupsi di Negeri Ginseng itu menggelitik kita untuk bertanya: lalu bagaimana dengan di Indonesia?

Keputusan untuk melengserkan dan menahan seorang presiden tersebut terbilang sangat cepat.

[INFOGRAFIS] Cepatnya Penindakan Korupsi di Korea Selatan, Bagaimana dengan Indonesia?Kim Hong Ji/Reuters/ANTARA FOTO

Park dimakzulkan pada 10 Maret 2017 usai Mahkamah Konstitusi Korea Selatan menyetujui keputusan parlemen untuk mencopotnya dari jabatan Presiden. Proses tersebut tergolong cepat. Pasalnya, baru pada Oktober lalu Park mengakui bahwa dirinya memang terlibat skandal penyalahgunaan kekuasaan.

Kala itu, ia membenarkan bahwa sahabatnya, Choi Soon Sil, punya akses terhadap sejumlah aturan kepresidenan, termasuk mengedit pidatonya. Tuduhan bahwa Park menerima suap dari bos Samsung karena permintaan Choi pun menyeruak.

Sejak Oktober juga jutaan masyarakat Korea Selatan turun ke jalan menuntut pemakzulan Park. Dua bulan kemudian, parlemen mengadakan voting untuk menentukan nasib Park. Meski begitu, baik Park maupun Choi membantah tuduhan korupsi yang dilayangkan kepada keduanya. Tak hanya Park, Choi sendiri saat ini tengah ditahan, begitu juga dengan Lee, untuk kasus yang sama.

Baca Juga: Lebih dari 1 Juta Rakyat Korea Selatan Turun ke Jalan Menuntut Presiden Mundur

Rakyat Korea Selatan terlibat dalam protes terbesar sepanjang sejarah untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas tuduhan skandal korupsi.

[INFOGRAFIS] Cepatnya Penindakan Korupsi di Korea Selatan, Bagaimana dengan Indonesia?Kim Hong Ji/Reuters

Begitu mendengar pengakuan Park bahwa dirinya telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, masyarakat Korea Selatan tak tinggal diam. Jutaan orang turun berjalan selama beberapa hari untuk menuntut Park mundur dari jabatannya.

Di tengah cuaca dingin akhir tahun, mereka berdemonstrasi dengan menyalakan lilin dan obor. Aksi mereka sendiri dimulai dari siang hingga malam hari. Protes tersebut merupakan protes terbesar dalam sejarah Korea Selatan. Ketika rakyat turun ke jalan, parlemen sendiri menyiapkan jalan menuju proses pemakzulan.

Memalukan, namun proses penindakan kasus itu menumbuhkan kepercayaan tentang penegakan hukum di Korea Selatan.

[INFOGRAFIS] Cepatnya Penindakan Korupsi di Korea Selatan, Bagaimana dengan Indonesia?Kim Kyung Hoon/Reuters

Tak bisa dipungkiri bahwa sejumlah pihak pasti menilai cepatnya penindakan kasus korupsi tersebut dipengaruhi oleh tekanan dari masyarakat yang begitu besar. Jika itu benar, maka proses demokrasi di Korea Selatan berjalan sesuai jalur.

Sistem politik mengenal sebutan input dan output di mana input bisa berasal dari mana saja, termasuk rakyat, yang kemudian menghasilkan output berupa keputusan resmi pemerintah. Di dalam prosesnya, ada dukungan yang dibutuhkan. Untuk Korea Selatan, dukungan itu datang dari cekatannya legislatif dan yudikatif dalam menindak kasus korupsi yang menjerat presidennya sendiri.

Pemakzulan dan penangkapan Park bisa dilihat sebagai hal positif. Sook Jong Lee, Presiden Institut Asia Timur yang merupakan sebuah organisasi think tank mandiri di Seoul, mencatat bahwa persepsi publik terhadap penegakan hukum di Korea Selatan pun membaik.

Berdasarkan tulisan Sook diketahui bahwa sebelumnya kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Korea Selatan sangat buruk karena dinilai tumpul ke atas. Setelah keputusan Mahkamah Konstitusional pada 10 Maret, tingkat kepercayaan mereka pun meningkat. Sook juga menilai kegigihan rakyat untuk turun ke jalan sebagai langkah baik dalam proses demokrasi.

Sayangnya, di Indonesia hal tersebut belum terlihat.

[INFOGRAFIS] Cepatnya Penindakan Korupsi di Korea Selatan, Bagaimana dengan Indonesia?Mohammad Ayudha/ANTARA FOTO

Demonstrasi belum dilihat sebagai sebuah tindakan efektif di Indonesia. Meski sudah ada contoh pada 1998 di mana kekuatan massa mampu menggulingkan pemerintahan otoriter Soeharto, tapi masih banyak yang menilai bahwa aksi turun ke jalan hanya buang-buang waktu.

Bukannya masyarakat tak pernah bersuara menuntut ketegasan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Terbaru, pada pada Kamis (30/3) lalu puluhan mahasiswa berdemo di depan Gedung DPR/MPR meminta pemerintah menyelesaikan kasus korupsi seperti e-KTP dan lainnya.

Selain e-KTP, sejumlah demonstrasi juga dilakukan untuk menuntut penindakan kasus korupsi Bantuan Likuidasi Bank Indonesi (BLBI), dana haji dan pengadaan Al Quran, Bank Century, serta bantuan sosial. Sayangnya, demonstrasi tersebut tak diimbangi dengan kesadaran dan partisipasi aktif dari masyarakat.

Menariknya, yang terjadi justru demonstrasi meminta Gubernur non aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk dipenjara. Sejumlah massa menilai ia telah melakukan penistaan agama sehingga harus dicopot dari jabatannya dan dipenjara. Demonstrasi itu bahkan berlangsung berkali-kali sejak akhir 2016.

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj bahkan menyarankan para massa demonstrasi tersebut untuk memprotes sesuatu yang lebih serius dan merugikan bangsa. "Demo anti-narkoba, demo anti-korupsi, demo anti-teroris, demo anti-pedofil, ya itulah penyimpangan-penyimpangan yang merugikan bangsa ini," ujar Said.

Indonesia punya masalah sistematis terkait penindakan kasus korupsi.

[INFOGRAFIS] Cepatnya Penindakan Korupsi di Korea Selatan, Bagaimana dengan Indonesia?Reno Esnir/ANTARA FOTO

Pada 2016, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menyebut bahwa penindakan kasus korupsi di Indonesia mengalami penurunan. Menurut ICW, sepanjang Januari hingga Juni 2016 penegak hukum telah menyidik 210 kasus korupsi yang menjerat 500 orang di mana negara dirugikan sebesar Rp 890,5 miliar.

Jumlah itu, meski terlihat banyak, tapi sebetulnya menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2015 dalam rentang waktu yang sama ada 299 yang melibatkan 595 tersangka dan merugikan negara sebesar Rp 3,9 triliun yang ditindak oleh penegak hukum.

ICW menilai penyebabnya adalah: 1) pemangkasan anggaran penanganan kasus korupsi untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan; 2) kapasitas penyidik dalam mencari bukti, serta; 3) adanya Inpres Anti Kriminalisasi yang memungkinkan penyelesaian secara internal, misalnya dalam institusi tersangka, sehingga tak perlu diambil tindakan hukum.

Ini adalah masalah sistematis. Artinya dari pihak pemerintah sendiri memang belum mampu menyediakan dukungan yang dibutuhkan dalam penindakan kasus korupsi dalam negeri. Konsekuensinya, masyarakat selaku salah satu input bisa putus asa dan pada akhirnya menyerah pada penegakan hukum.

Ada skeptisisme bahwa pemerintah akan mampu menuntaskan banyaknya kasus korupsi yang ada. Lebih buruk lagi, dari segi output, bila pemerintah benar-benar impoten dalam proses penegakkan hukum terhadap mereka yang merugikan negara.

[INFOGRAFIS] Cepatnya Penindakan Korupsi di Korea Selatan, Bagaimana dengan Indonesia?Faiz Nashrillah/IDNtimes.com

 

 

Baca Juga: Soal Bancakan Uang Proyek e-KTP, Keterangan Saksi Saling Bertentangan

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya