Beredar, Petisi Penghapusan Pasal Penodaan Agama

"Apakah kamu dan cuitanmu akan jadi korban selanjutnya?"

Vonis yang dijatuhkan kepada Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) membuka kembali perdebatan pasal yang menjeratnya. Banyak yang menilai bahwa pasal penodaan harus tetep diperlukan. Namun, tak sedikit pula yang meminta agar jerat hukum dengan sangkaan penodaan agama dihapuskan. Bahkan, sehari setelah vonis dibacakan, sebuah petisi di situs change.org pun muncul.

Petisi itu meminta pemerintah menghapus pasal penodaan agama.

Beredar, Petisi Penghapusan Pasal Penodaan AgamaNyoman Budhiana/ANTARA FOTO

Dalam petisi yang dimulai pada 10 Mei 2017 tersebut sang penggagas, yakni, Gita Putri Damayana mengajak masyarakat yang tak setuju dengan keberadaan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama untuk memberikan tandatangannya. 

Menurut Gita, pasal penodaan agama selama ini telah disalahgunakan. "Vonis untuk Ahok adalah salah satu dari sekian banyak contoh, termasuk kasus Arswendo Atmowiloto, Gafatar, Lia Eden dan H.B. Jassin, yang menunjukkan bahwa pasal 156a KUHP digunakan untuk menghakimi keyakinan dan gagasan seseorang. Bahwa perbedaan adalah sesuatu yang salah," tulisnya. Hingga Rabu (17/5) sore, jumlah netizen yang menandatangani petisi tersebut mencapai 9974. 

Baca Juga: Firza Husein Resmi Tersangka, Bagaimana dengan Rizieq?

Gita mengutip pernyataan YLBHI yang menilai pasal penodaan agama bisa dipakai untuk menjegal lawan politik.

Beredar, Petisi Penghapusan Pasal Penodaan AgamaYulius Satria/ANTARA FOTO

Tuntutan yang dipetisikan oleh Gita sejalan dengan konsistensi Yayasan Lembaga Bantuan Hukuman Indonesia (YLBHI) yang juga menuntut pemerintah untuk menghapus pasal penodaan agama. Gita pun mengutip pernyataan YLBHI terkait bahayanya pasal penodaan agama.

YLBHI dalam siaran persnya menyatakan bahwa implementasi pasal 156a KUHP saat ini semakin kebablasan dan bisa dimanfaatkan untuk apa saja, termasuk mengatasi persaingan politik. Ditambah lagi data menunjukan bahwa sangat jarang atau bahkan tidak ada terjadi vonis kasus penodaan agama tanpa diawali dorongan massa dan tekanan publik yang berpotensi mengaburkan pentingnya pertimbangan hukum.

Asfinawati, Ketua YLBHI, berulangkali mengeluarkan pernyataan bahwa pasal penodaan agama adalah pasal karet sebab tak ada definisi jelas terkait apa itu penodaan agama. Karena tak jelas itu, maka pasal tersebut bisa dimanfaatkan untuk apa saja, terhadap siapa saja, dan oleh siapa saja.

"Sebagai kuasa hukum sudah 4 kali menangani kasus penodaan agama di pengadilan dan bisa saya katakan tidak ada standar apa yang dimaksud dengan penodaan agama," ujar Asfinawati kepada Metro TV. Ia pun menilai kasus Ahok memperlihatkan bahwa pasal penodaan agama bisa dipolitisasi.

"Ini bisa jadi bola liar, bisa dipakai buat apa saja. Karena memang tidak ada yang dimaksud penodaan agama di dalam KUHP Pasal 156a, penjelasannya apa. Itu kayak pasal sampah," kata Asfinawati dalam wawancara dengan Tirto.id.

MK pernah menolak uji materi pasal penodaan agama.

Beredar, Petisi Penghapusan Pasal Penodaan AgamaMonalisa Jingga/ANTARA FOTO

Pada 2010 Mahkamah Konstitusi pernah menolak uji materi pasal 156a yang diajukan oleh antara lain YLBHI dan almarhum KH Abdurrahman Wahid. Alasan penolakan adalah pemohon tak bisa membuktikan pasal tersebut melanggar konstitusi mengancam kebebasan beragama, dan bersifat diskriminatif serta berpotensi melakukan kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas.

Anggota Panitia Kerja KUHP Komisi III DPR RI, Arsul Sani, mengatakan bahwa pasal itu akan dipertahankan. Salah satu alasannya adalah penolakan MK itu. Arsul pun mengklaim negara masih membutuhkan pasal penodaan agama untuk mengontrol masyarakat.

Baca Juga: Kata Pengacara Rizieq, Inilah Sosok Kak Emma

Topik:

Berita Terkini Lainnya