Aprila Wayar, Suarakan Jeritan Papua Melalui Novel

Dalam novel terbarunya "Sentuh Papua", Aprila menyoroti tentang kaitan transmigrasi dan konflik.

Surabaya, IDN Times - Bagi mayoritas masyarakat Indonesia, cerita tentang Papua hanya didapatkan dari pemberitaan media dan pernyataan pemerintah pusat di Jakarta. Minimnya sumber terkadang yang membentuk asumsi-asumsi tersendiri mengenai situasi di provinsi paling timur Indonesia tersebut.

Lalu muncullah nama Aprila Wayar. Ia seorang jurnalis sekaligus novelis yang lahir di Jayapura. Meski pindah ke Tasikmalaya saat masih berusia delapan tahun, perempuan berdarah asli Papua itu mengabdikan waktu sekitar tujuh tahun untuk kembali ke tanah kelahirannya. Di sana, ia memberitakan tentang apa yang terjadi. Tak hanya melalui berita, terbaru ia juga menulis novel yang akan segera dirilisnya.

Aprila Wayar, Suarakan Jeritan Papua Melalui NovelDok. Pribadi/Aprila Wayar

Novel berjudul "Sentuh Papua" itu menyinggung tentang kaitan antara transmigrasi pasca Otonomi Khusus (Otsus) pada 2001 dan menajamnya konflik di Papua. Karena ini, Aprila mendapatkan sorotan dari media Selandia Baru, Radio New Zealand, yang merilis artikel tentang novelnya pada 23 April kemarin.

Itu bukan novel pertamanya. Sebelumnya Aprila pernah menulis dua novel yang berlatar Papua juga, yaitu "Mawar Hitam Tanpa Akar" (2009) dan "Dua Perempuan" (2013). IDN Times berkesempatan untuk berbincang dengan Aprila mengenai novel terbarunya tersebut dan mengulik pandangannya mengenai transmigrasi di Papua.

Dalam perbincangan yang berlangsung sekitar 40 menit, alumni Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, itu menuturkan kegelisahannya selama ini yang dituangkan dalam Sentuh Papua.

Baca juga: Catatan dari Selandia Baru: Ini yang Dibicarakan Presiden dengan Mahasiswa Papua

1. Ia menilai para transmigran gelombang pertama secara umum bersikap baik

Aprila Wayar, Suarakan Jeritan Papua Melalui NovelIDN Times/Sukma Shakti

Transmigrasi ke Papua dibagi ke dalam tiga gelombang. Pertama, pada 1960-an, termasuk saat Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969. Kedua, sejak 1975 hingga awal 1990-an. Ketiga, pasca Papua mendapatkan status Otonomi Khusus pada 2001.

Sebagai putri daerah Papua, Aprila mengaku bahwa kedatangan transmigran gelombang pertama sebenarnya tak menimbulkan masalah. "Jadi, transmigran yang datang pada 1960-an itu cenderung punya niat baik. Sebab, banyak dari mereka itu guru di pelosok-pelosok," ucapnya. 

"Di Wamena, misalnya, saya bertemu guru-guru yang dari Jawa, yang memang sangat baik—baik dalam pengertian moral dan apa yang diajarkan itu baik. Saya masih ingat guru PMP saya (Pendidikan Moral Pancasila) itu namanya Pak Sukarno dan saya tahu dia itu transmigran dan beberapa guru-guru lain yang ada di Wamena saat itu.

2. Aprila menyayangkan transmigran yang ke Papua hanya karena alasan ekonomi

Aprila Wayar, Suarakan Jeritan Papua Melalui NovelIDN Times/Sukma Shakti

Tak seperti transmigran di gelombang pertama yang memiliki pengaruh baik kepada masyarakat, kebanyakan mereka yang datang pada abad 21 justru hanya fokus pada persoalan mencari rupiah. 

Hal itu dirasakannya langsung saat menjadi jurnalis. Ini membuatnya berpikir ulang tentang kebijakan transmigrasi pemerintah. Aprila sendiri akhirnya memang kembali ke Papua setelah 20 tahun berada di Jawa. Ia pun memutuskan menajdi jurnalis sejak tahun 2008.

"Kerja sebagai jurnalis membuat saya merasa sedikit terganggu dengan kehadiran transmigran yang ketiga ini pasca Otsus yang datang ke Papua memang karena iming-iming dapat pekerjaan yang lebih baik, ditambah dengan pemekaran-pemekaran yang dilakukan oleh provinsi Papua, kepentingan-kepentingan politik lah," kata Aprila.

Padahal, menurutnya, sumber daya manusia asli Papua belum mampu bersaing dengan para transmigran dari Jawa yang rata-rata berpendidikan lebih baik. Dalam novelnya, ia mengkritik pemerintah yang dinilai tak memajukan warga Papua. Ini diperparah dengan ekspansi ekonomi yang hanya menerima pekerja berijazah. 

"Sehingga kemudian dalam kehidupan sehari-hari tentu akan muncul konflik—konflik sosial. Apalagi ketika pembukaan-pembukaan lahan untuk mereka tinggal itu di dalam program REPELITA [Rencana Pembangunan Lima Tahun] itu sebenarnya ada dampak, ada konflik yang cukup tapi tidak besar, tidak meluas seperti yang saat ini pasca Otsus."

3. Ia berharap para transmigran mengadopsi prinsip "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung"

Aprila Wayar, Suarakan Jeritan Papua Melalui NovelIDN Times/Sukma Shakti

Dalam laporannya untuk UNDP, Riwanto Tirtosudarmo, menuliskan bahwa "transmigrasi yang sangat dipaksakan oleh pemerintah secara mudah dipandang sebagai penyebab marginalisasi populasi lokal sebab program itu secara simbolik mewakili karakteristik opresif dari pemerintah pusat ke wilayah".

Begitu juga dengan transmigrasi secara sukarela. "Program transmigrasi secara inheren memunculkan sumber tensi sosial antara migran dan non-migran, sebagaimana terjadi di wilayah tujuan di mana relasi sosial dan politik lokal rentan, seperti di Papua," tambahnya.

Menurut Aprila, persoalannya bukan hanya karena paksaan proses asimilasi oleh pemerintah melalui transmigrasi dan perbedaan sumber daya yang kerap kali sangat mencolok, tapi juga karena warga pendatang enggan beradaptasi.

"Saya merasa mereka harus tahu bagaimana mereka harus berhadapan dengan orang. Ketika tinggal di Jawa saya juga menghargai bahasa Sunda, saya tinggal di Tasikmalaya saya bisa berbahasa Sunda."

Ia melanjutkan,"Saya bisa bagaimana berbahasa Sunda kepada orang yang lebih tua dari saya, yang seumur, atau yang lebih muda dari saya. Begitu juga ketika saya tidak bisa berbahasa Jawa, saya pakai bahasa Indonesia yang baik. Kan di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung."

Baca juga: Dianiaya Kelompok Bersenjata, Petugas Kesehatan di Papua Tewas

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya