Meramal Politik SARA Pilkada 2018: Kasus di DKI Jakarta Bakal Terulang?

Penumpang gelap selalu ada di setiap kompetisi

Laporan Teatrika Handiko Putri, Vanny El Rahman, Rochmanudin

Jakarta, IDN Times - Memasuki tahun politik 2018, konstelasi politik mulai memanas. Sederet drama politik menjadi suguhan kontras bagi masyarakat di Tanah Air, menjadi bagian dinamika jelang pemilihan kepala daerah atau Pilkada. 

Konflik di internal partai hingga kampanye hitam pun mulai mewarnai untuk menjatuhkan lawan politiknya. Pasangan calon maupun partai politik juga mulai ketar-ketir akan terulangnya kasus suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) seperti pada Pilkada DKI 2017 lalu.

Black campaign atau kampanye hitam, politik SARA, hingga hoax pun menjadi pekerjaan rumah besar bagi aparat kepolisian dan penyelenggara pemilu, agar Pilkada 2018 berlangsung aman. Lantas, apakah politik SARA akan terjadi pada Pilkada serentak 2018?

1. Eksploitasi politik identitas akan mengalami kemunduran peradaban

Meramal Politik SARA Pilkada 2018: Kasus di DKI Jakarta Bakal Terulang?mpr.go.id

Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah mengatakan, jika Pilkada 2018 mengeksploitasi politik identitas, Indonesia akan mengalami kemunduran peradaban demokrasi 80 tahun dan kalah dengan generasi Sumpah Pemuda. Menurut dia saat ini politik hanya menjadi panggung popularitas.

"Politik seakan-akan menjadi industri politik. Dalam sistem kapitalisme instan, akan menghasilkan sesuatu yang instan, yang terjebak dalam popularitas," ujar Basarah, di Gedung Megawati Institut, Rabu 24 Januari 2018.

Berbeda dengan money politic, kata Basarah, politisasi SARA akan berdampak jangka panjang bagi masyarakat. Dia mencontohkan kasus yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017, ketika seorang kepala daerah yang bukan beragama tertentu, disinggung mengenai agama dan hal sensitif lainnya. Seharusnya ras dan agama harus dipedomani seperti halnya Pancasila.

"Karena itu, demokrasi Indonesia yang dibangun dengan susah payah ini, kita jaga kualitasnya, jaga prosesnya, dan jaga hasilnya, dengan tujuan untuk meperkokkh Negara Kesatuan Republik Indonesia ini," kata dia.

Basarah pun mengimbau agar rakyat Indonesia menyambut tahun demokrasi ini dengan kegembiraan dan menjaga persaudaraan kebangsaan Indonesia.

Basarah mengklaim sebagai partai pengusung yang kadernya pernah menjadi 'korban' isu SARA, pada pesta demokrasi kali ini politik SARA akan dijadikan PDIP sebagai tantangan, bukan lagi ancaman.

“Kami tak sepenuhnya bilang ancaman, tapi tantangan,” ujar dia.

Baca juga: 5 Langkah KPU-KPAI Cegah Anak Jadi Korban Kampanye Hitam dan Hoax saat Pilkada

Sebagai upaya antisipasi politik SARA, kata dia, PDIP akan membangun prinsip hukum dan menyerahkan semuanya kepada aparat penegak hukum.

“Komitmen PDIP bangun prinsip negara hukum. Semua serangan fitnah dan provokasi yang sengaja ditujukan kepada PDIP dan Jokowi, kami serahkan pada law enforcement, aparat penegak hukum,” ujar dia.

Hal itulah, lanjut Basarah, yang membuat partai kepala banteng moncong putih itu tetap diam, dan tidak melawan ketika menjadi serangan politik isu SARA.

Dia menyebut, prinsip negara demokrasi berdasar atas hukum. Hukum di dalam konteks Pilkada adalah hukum negara, sehingga semua yang terlibat dalam Pilkada serentak 2018, bisa mematuhi sebagai pedoman negara. 

Basarah berharap pada pertarungan politik pada Pilkada 2018, partai oposisi tidak menyerang mengenai latar belakang.

“UU Pilkada tak atur latar belakang, suku, agama, ras calon kepala daerah. Jangan dipersoalkan latar belakang. UU Pilkada, UU antidiskriminasi ras dan etnis. UU itu melarang penyerangan pihak tertentu dengan isu sara, jangan lakukan itu,” dia mengimbau.

Basarah mengatakan, apabila pendidikan politik di Indonesia semakin ditingkatkan, maka pemahaman masyarakat berdemokrasi atau politik bisa menjadi lebih baik.

“Dalam sistem demokrasi yang kita bangun, prasyarat penting adalah pendidikan politik berjalan baik. Sehingga standar pemahaman politik masyarakat, mengikuti proses demokrasi yang sedang berjalan,” ucap dia.

2. Pilkada diperkirakan aman karena tidak ada polarisasi dan konfigurasi paslon maupun partai cenderung cair

Meramal Politik SARA Pilkada 2018: Kasus di DKI Jakarta Bakal Terulang?Antara Foto

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan memperkirakan Pilkada 2018 berjalan aman dan tidak ada polarisasi.

“Kalau dilihat dari peta calon-calon yang bertarung, sama peta partai-partai yang mendukung itu, tidak ada polarisasi,” kata Djayadi, di Gedung Megawati Institut, Jakrta, Rabu 24 Januari 2018.

Djayadi mengatakan pemetaan dari paslon kepala daerah yang tidak memiliki potensi untuk memancing isu politik SARA. Beberapa daerah di Pilkada serentak 2018 dinilainya aman.

“Di semua wilayah tidak ada polarisasi yang tajam antara calon yang satu dengan calon yang lain, dari segi agama, maupun segi suku. Misal di Jabat, Sunda semua, Islam semua. Di Jateng, Jawa semua, Islam semua. Di Jatim apalagi NU semua. Jadi di daerah-daerah lain juga begitu. Di Sumut kan gabungan, ada Jawa sama Melayu,” dia mencontohkan.

Djayadi menyebutkan, gabungan kekuatan dari pasangan calon Pilkada serentak 2018 maupun koalisi partai politik tahun, juga cukup baik dan cair satu sama lain.

“Gabungan antara konfigurasi paslon maupun konfigurasi partai-partai pendukung di Pilkada 171 daerah itu cenderung sangat cair,” kata Djayadi.

Sehingga, dia memprediksi, tidak terjadi polarisasi antar-kandidat maupun antar-partai pendukung dan pengusung. Suasana politik yang cair tahun ini tidak akan mudah bagi lawan untuk membidik satu sama lain.

“Kalau posisinya seperti itu, tidak mudah untuk hanya membidik satu atau dua orang, untuk dijadikan target kampanye hitam,” ucap dia.

3. Kapolri meramal Pilkada 2018 berlangsung aman

Meramal Politik SARA Pilkada 2018: Kasus di DKI Jakarta Bakal Terulang?IDN Times/Indiana Malia

Kapolri Jenderal Pol Muhammad Tito Karnavian yakin Pilkada yang rencananya digelar pada Juni 2018 akan berlangsung aman. Bukan tanpa alasan, Mantan Kadensus 88 Polda Metro Jaya itu menyampaikan tiga hal yang mendasari pernyataannya.

Tito yakin ketegangan politik serupa pesta demokrasi sebelumnya tidak akan terulang. Sebab, partai pemerintah dengan partai oposisi umumnya mengusug calon yang sama di 171 wilayah.

"Sekali lagi, rata-rata partai pemerintah dengan partai pendukung oposisi mengusung calon yang sama. Sehingga nanti potensi emosional yang muncul emosional perorangan dibanding dengan emosional poros partai ini beda dengan kasus (Pilkada) Jakarta," kata Tito di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan, Rabu 23 Januari 2018.

Sebagai aparat penegak hukum, Kapolri telah mengeluarkan 12 imbauan kepada seluruh aparat kepolisian agar menghindari interaksi terhadap pasangan calon yang berpotensi untuk mengurangi netralitas.

Kemudian, orang nomor satu di kepolisian itu juga mengakui kesadaran demokrasi masyarakat Indonesia yang tinggi turut menurunkan potensi konflik.

"Kita yakin masyarakat juga kesadarannya sudah makin tinggi untuk berdemokrasi. Polri dan TNI akan berada di posisi netral. Ini saya intruksikan kepada seluruh jajaran Polri, netral. Kemudian kalau sudah dapat kepercayaan publik, kita bakal diberi legitimasi untuk bertindak," kata dia pada Rapat Pimpinan Polri 2018.

Tito menjamin keamanan berlangsungnya Pilkada 2018 akan didukung TNI.
 
"Kita Polri dan TNI, ini catat poinnya Polri, TNI, Pemerintah yakin bahwa Pilkada di 171 wilayah ini berlangsung aman. Selagi TNI-Polri Kompak sampai kejadian terbawah Insyaallah akan aman," kata dia.

Baca juga: 5 Langkah KPU-KPAI Cegah Anak Jadi Korban Kampanye Hitam dan Hoax saat Pilkada

4. Persiapan polisi di lokasi rawan saat Pilkada

Meramal Politik SARA Pilkada 2018: Kasus di DKI Jakarta Bakal Terulang?ANTARAFOTO/Aprillio Akbar

Kapolda Papua Irjen Pol Boy Rafli Amar membeberkan strategi kepolisian setempat guna menghadapi Pilkada pada Juni 2018 mendatang.
 
Pesta demokrasi di wilayah timur Indonesia itu mendapat perhatian khusus, lantaran banyaknya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang tersebar secara sporadis di sepanjang daerah Papua.

"KKB memang menjadi salah satu kelompok kecil dalam masyarakat yang ada di Papua yang berpotensi (mengganggu Pilkada). Kita terus mengupayakan untuk mengatasi gerakan-gerakan mereka yang merugikan dalam kegiatan pesta demokrasi," kata Boy di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan, Rabu 24 Januari 2018.

"Kita upayakan proaktif preventif (kepada KKB). Namun apabila mengganggu melampaui batas toleransi. Penegakan hukum nantinya akan kita kedepankan di dalam menghadapi mereka," dia melanjutkan.

Berdasarkan pemetaan wilayah Pilkada, kata Boy, Papua tergolong daerah yang rawan akan konflik menghadapi momentum demokrasi tersebut.

Baca juga: Awasi Pelanggaran Pilkada, Bawaslu Punya Dana Rp2,8 Triliun

Menanggapi isu yang beredar, polisi berpangkat bintang dua itu mengembalikannya kepada prinsip kerja Polri sebagai aparat penjaga keamanan masyarakat.

"Diidentifikasi sebagai zona rawan, pada prinsipnya sebagaimana arahan dari bapak Kapolri, termasuk yang disampaikan pada Rapim TNI-Polri oleh bapak Presiden, kita wajib melakukan mapping daerah rawan konflik dan mengatasi dengan proaktif," kata dia saat menghadiri Rapat Pimpinan Polri 2018.

Salah satu pendekatan yang diterapkan oleh Kapolda Papua adalah menggandeng tokoh masyarakat dan tokoh agama, demi mencegah terjadinya polarisasi politik .

"Caranya adalah kita harus terus berkomunikasi dengan penyelenggara serta meminta dukungan kepada para tokoh masyarakat, tokoh adat, Kepala Suku agar tidak terjadi polarisasi masyarakat dari aspek pilihan politik," ujar dia.

Kepolisian juga mengimbau setiap pasangan calon untuk mengikuti mekanisme yang ada. Kemudian, yang tidak kalah penting, Boy mengimbau setiap pasangan calon (paslon) untuk mengikuti alur Pilkada dengan dewasa.

"Yang penting kita juga menanamkan kepada para paslon jangan hanya siap menang saja, kita harus meminta kepada mereka untuk siap kalah dan melaksanakan secara jujur dan adil ya. Artinya mereka harus taat kepada mekanisme," ujar dia.

Menurut Boy, peran penting paslon beserta tim suksesnya atas mobilisasi masa yang kuat melalui komunikasi langsung yang intens kepada masyarakat.

"Apabila paslon dan tim sukses melakukan provokasi, itu sangat dimungkinkan terjadinya benturan-benturan dalam masyarakat. Mereka harus bisa jadi pembimbing untuk masyarakat," kata dia.

Selain itu, polisi membentuk Satgas anti-hoax demi membendung black campaign

Permasalahan lain yang kerap hadir pada momentum Pilkada adalah maraknya black campaign atau hoax. 

Menghadapi hal itu, Boy telah menyiapkan satuan khusus guna membendung ujaran kebohongan dan kebencian menyebar di masyarakat.

"Ujaran kebencian dalam bentuk kampanye hitam ataupun kegiatan-kegiatan yang bersifat ujaran kebencian potensi itu ada. Tetapi kita tentu sudah menyiapkan tim satuan tugas anti hoax di medsos," kata dia.

5. Kasus Pilkada DKI tidak terulang pada Pilkada 2018

Meramal Politik SARA Pilkada 2018: Kasus di DKI Jakarta Bakal Terulang?dpr.go.id

Anggota Komisi V dari Fraksi Gerindra Nizar Zahro mengatakan kasus Pilkada DKI Jakarta 2017 muncul isu SARA, karena ada calon dari kelompok minoritas yang dianggap melecehkan kitab suci kelompok mayoritas. 

Maka Pilkada Jakarta yang tadinya berjalan biasa-biasa saja tiba-tiba terseret dalam politik identitas. Maka bila diamati kronologisnya, politik identitas yang terjadi di Jakarta disulut oleh calon tertentu yang kebetulan dari kelompok minoritas," kata dia kepada IDN Times, Sabtu 27 Januar 2017.

Maka, menurut Nizar, bila membandingkan kasus di Jakarta tersebut, maka politik identitas sangat sulit sekali terjadi pada Pilkada 2018. Karena kandidat-kandindat yang tampil hampir semuanya berasal dari kelompok mayoritas. 

"Dan hingga kini pun para kandidat tersebut masih konsisten menunjukkan sikap politik yang santun.
 
Diharapkan kesantunan para kandidat terus terjaga hingga selesainya proses Pilkada 2018. Bila pemimpinnya santun, maka para pendukungnya pun ikut santun," kata dia. 

Karena itu, Nizar menyimpulkan, politik SARA sangat kecil sekali kemungkinannya terjadi pada Pilkada 2018. Dia berharap seluruh kandidat dan elite politik mengedepankan kampanye santun dan beradab, agar kontestasi Pilkada 2018 dapat berjalan lancar dan terjauhkan dari politik SARA.

Sementara, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera berpendapat secara umum masyarakat sudah mampu menilai mana yang baik dan buruk dalam kampanye. Kandidat yang menggunakan pendekatan negatif dan fitnah tidak akan mendapat dukungan.

"Kalau kondisi DKI menjadi beda karena ada kasus Al Maidah 51 yang diangkat Pak Ahok," kata dia saat dihubungi IDN Times, Sabtu 27 Januari 2018.

Dengan demikian, Mardani memprediksi, potensi adanya politik isu SARA pada Pilkada 2018 rendah. "Mestinya rendah karena contoh Jawa Barat, Jawa Tengah, atau Jawa Timur semua calonnya adalah muslim," ujar dia.

6. Selalu ada penumpang gelap dalam sebuah kompetisi

Meramal Politik SARA Pilkada 2018: Kasus di DKI Jakarta Bakal Terulang?bawaslu.go.id

Direktur Eksekutif Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengaku tidak memiliki instrumen untuk memprediksi ancaman politik SARA pada Pilkada 2018. Namun, dalam sebuah kompetisi biasanya ada pihak yang mencari peruntungan.  

"Dalam kompetisi yang sengit akan selalu penumpang gelap yang mencoba peruntungannya dengan melempar isu-isu provokatif, untuk menarik dukungan dan suara pemilih. Termasuk, juga dengan penggunaan isu SARA, identitas, maupun praktik politik uang," kata dia. 

Namun, kata Titi, aman atau tidaknya bergantung penuh pada efektivitas kinerja penegak hukum. Karena itu, dia berharap pengawasan, pencegahan, dan penegakan hukum berjalan optimal, sehingga tak ada ruang terjadinya benturan di masyarakat.

"Karenanya Bawaslu harus bekerja dengan solid bersama aparat penegak hukum dan KPU harus jalankan pendidikan politik dengan baik dan menyeluruh. Sehingga pemilih bisa tercerahkan dengan pengetahuan kepemiluan secara menyeluruh," kata Titi.

Baca juga: Bawaslu: Pilkada dan Pemilu Sekarang Lebih Berat

Topik:

Berita Terkini Lainnya