PAN, Partai Era Reformasi yang Ditinggalkan Pendirinya

PAN lahir dengan mengusung semangat Indonesia baru

Jakarta, IDN Times - Di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan, Partai Amanat Nasional (PAN) mengalami pembaruan dengan menggagas tiga program baru yaitu revitalisasi, regenerasi, dan reunifikasi.

PAN merupakan partai yang lahir pada era reformasi. Ibarat manusia, PAN kini sudah memasuki usia dewasa. Pada Pilpres 2019, PAN masuk barisan partai politik pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Kini, PAN masuk barisan partai pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Bagaimana rekam jejak partai berlambang matahari putih ini? 

Baca Juga: Jika Tak Akur, PAN dan Ummat Berpotensi Tak Lolos Parlemen di 2024

1. Sejarah berdirinya PAN

PAN, Partai Era Reformasi yang Ditinggalkan PendirinyaAmien Rais (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Pasca keberhasilan menumbangkan Orde Baru, Amien Rais dan 49 rekannya yang tergabung dalam Majelis Amanat Rakyat (Mara) merasa perlu meneruskan cita-cita reformasi dengan mendirikan partai politik.

Di antara 49 tokoh nasional itu adalah Faisal Basri, Hatta Rajasa, Goenawan Mohammad, Rizal Ramli, Abdillah Toha, Albert Hasibuan, Toety Heraty, Emil Salim, AM Fatwa, Zoemrotin, dan Alvin Lie Ling Piao.

Amien Rais yang saat itu menjadi ketua umum Muhammadiyah merasa terpanggil untuk melanjutkan perjuangan setelah meruntuhkan rezim Soeharto untuk kembali membangun Indonesia. 

Mara yang merupakan organ gerakan reformasi pada era pemerintahan Soeharto, bersama Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) Yogyakarta, tokoh Muhammadiyah, dan Kelompok Tebet, kemudian membidani lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN).

Awalnya, partai yang berasaskan Pancasila ini sepakat dibentuk dengan nama Partai Amanat Bangsa (PAB), namun akhirnya berubah nama menjadi Partai Amanat Nasional (PAN) pada pertemuan 5-6 Agustus 1998 di Bogor.

Digelar di Istora Senayan Jakarta, pendeklarasian partai ini dihadiri ribuan massa pada 23 Agustus 1998. Pada saat itu, puluhan tokoh-tampil di panggung dan disambut dengan antusias oleh masyarakat.

Sebagai partai yang lahir pada penghujung era Orde Baru, PAN didirikan dengan mengusung semangat Indonesia baru, untuk menggantikan nuansa pemerintahan otoriter yang kental pada zaman Soeharto. 

Sebagai partai nasionalis, PAN juga lahir dengan napas Islam. Partai ini pada dasarnya terbuka, meski sebagian orang menganggapnya partai orang Muhammadiyah karena sosok Amien Rais pada saat itu adalah ketua umum Muhammadiyah.

2. Visi misi PAN

PAN, Partai Era Reformasi yang Ditinggalkan PendirinyaKetua Umum PAN Zulkifli Hasan (kanan) berjabat tangan dengan Ketua Dewan Pertimbangan PAN Amien Rais (kiri) usai membuka Rakernas PAN di Jakarta, Kamis (9/8). Dalam rakernas tersebut PAN secara resmi mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pilpres 2019. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Dalam sebuah negara demokrasi, partai politik yang merupakan pilar demokrasi memiliki fungsi menyalurkan aspirasi masyarakat. PAN sebagai partai nasionalis dan bernapaskan Islam memiliki visi mewujudkan masyarakat madani yang adil dan makmur.
Sebagai partai yang lahir dengan napas reformasi, PAN juga memiliki visi mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih di dalam negara Indonesia yang demokratis dan berdaulat. 

Sedangkan, misi PAN antara lain mewujudkan kader yang berkualitas, membela rakyat, modern berdasarkan sistem dan manajemen yang unggul serta budaya bangsa yang luhur. Kemudian mewujudkan Indonesia baru yang demokratis, makmur, maju, mandiri dan bermartabat.

PAN juga memiliki misi mewujudkan tata pemerintahan Indonesia yang baik dan bersih, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Tak hanya itu, misi PAN juga ingin mewujudkan negara Indonesia yang bersatu, berdaulat, bermartabat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, serta dihormati dalam pergaulan internasional.

Tetap dengan tujuan utamanya mewujudkan kejayaan bangsa Indonesia, kini PAN hadir dengan optimisme dan tradisi baru. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan ingin menjadikan PAN sebagai rumah besar Indonesia, di mana semua kebijakan partai ini ke depan harus bertujuan demi kepentingan rakyat, memberantas kemiskinan, dan menghapus kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Selain itu, Zulkifli Hasan juga menggagas tiga program baru PAN yaitu revitalisasi, regenerasi, dan reunifikasi. Otonomisasi adalah langkah baru dalam perpolitikan di Indonesia, di mana pemilihan ketua DPD dan DPW menjadi wewenang dari DPD dan DPW masing-masing bukan lagi atas kehendak ketua umum.

Begitu pula dalam pemilihan calon wali kota atau bupati, gubernur, atau ketua DPRD provinsi, DPRD kabupaten atau kota, juga diserahkan sepenuhnya pada DPD atau DPW setempat. Sistem ini mirip dengan sistem desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan oleh negara.

Di bawah kepemimpinan Zulkifli, PAN juga akan menyelenggarakan konvensi untuk memilih kader yang akan diusung sebagai calon presiden. Ini menjadi gebrakan baru untuk menghapus stigma bahwa ketua umum adalah segala-galanya di dalam partai.

Baca Juga: Viva Yoga Bujuk Kaesang Masuk PAN, Biar Bersaing Politik dengan Gibran

3. Menggaet suara milenial

PAN, Partai Era Reformasi yang Ditinggalkan PendirinyaSekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno [tengah]. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

PAN yang mendapat nomor urut 12 peserta Pemilu 2019, pernah memperubatkan suara milenial, baik pada Pilkada 2018 maupun Pilpres 2019. Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengatakan ada beberapa cara untuk mendulang suara milenials. Pertama, PAN akan mengubah mindset kadernya. 

"Jadi dari politikus konvensional ke politikus marketing. Jadi kita yang proaktif mendekati konstituen, kita bekerja nonstop datang dengan ide-ide kreatif yang lebih praktis dan gagasan-gagasan yang sifatnya mikro. Jadi menyentuh apa yang betul-betul menjadi kebutuhan konstituen," ujar Eddy kepada IDN Times, Kamis (22/2/2019).

Kedua, kata Eddy, PAN sebagai lembaga politik berupaya mengembalikan kepercayaan masyarakat. Sekarang ini, kata dia, bisa dibilang aspirasi masyarakat tidak bisa dikanalisasi institusi-institusi politik. Sehingga memunculkan apatisme di kalangan millennials sekarang ini. 

"Bahkan, apatisme mereka sudah membahayakan sekali, karena boleh dibilang pemilik dari masa depan bangsa ini adalah mereka. Itu yang penting. Jadi jangan sampai peran yang dilakukan partai politik dilakukan pihak lain," ujar mantan Finance Director & CFO Officer PT Bakrie & Brothers Tbk itu. 

Selain itu, Eddy melanjutkan, gap atau jarak antara milenial dengan politisi yang cenderung kurang melibatkan anak muda dalam berpolitik, juga harus dibenahi. PAN akan berusaha mendulang suara millennials dengan memahami apa yang menjadi kemauan generasi muda saat ini.

"Jadi harus mampu mengartikan atau membaca apa yang menjadi kemauan millennials. Sehingga ada koneksi pada saat bicara. Jadi harus mampu tidak hanya beradaptasi, tapi juga mentransformasikan alam pikiran atau pola pikir pemilih pemula (milenials)," tutur dia.

Strategi lainnya, menurut lulusan Magister Hukum Ekonomi Universitas Indonesia, PAN tidak menutup kemungkinan akan menambah porsi legislatif dari kalangan muda yang saat ini berjumlah 40 persen di parlemen.

"Idealnya ada (penambahan). Tapi tidak bisa kita terlalu mengandalkan yang muda, karena mereka butuh bimbingan dari yang senior-senior. Mungkin kan mereka belum punya pengalaman bertarung, belum terlalu kuat menghadapi guncangan. Jadi saya pikir rasionya sudah cukup bagus, paling tidak membawa warna atau angin segar bagi partai," tutup Eddy.

Topik:

  • Sunariyah
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya