Kesaksian Tragedi Mei 98: Menyamar Jadi Warga Pribumi Hingga Mengurung di Rumah

Haryanto juga harus kehilangan pekerjaan

Jakarta, IDN Times - Tragedi Mei 1998 masih menyisakan kenangan pahit bagi Haryanto. Peristiwa 20 tahun yang lalu itu tak bisa hilang dari ingatan pria keturunan etnis Tionghoa itu. Tapi setidaknya ada hikmah di balik peristiwa itu.

"Ada kabar apa nih," ucap pria yang akrab disapa Yanto itu, mengawali perbincangan dengan IDN Times, di Depok, Jawa Barat, Minggu (29/4).

Yanto mencoba membuka ingatan kerusuhan Mei 98, sesaat setelah IDN Times menyampaikan maksud kedatangannya. Sambil menghisap sebatang rokok di tangan kanannya, ia mulai menceritakan kerusuhan pada Orde Baru itu.

Saat itu, Yanto yang bekerja sebagai sopir di toko penjual minuman kemasan, tengah mengirim barang dagangan milik bosnya ke pelanggannya di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mendengar ada kabar kerusuhan dan penjarahan, dia langsung menghubungi bosnya untuk segera menutup toko dan gudang minumannya. 

"Pagi itu (saat mulai kerusuhan) aku lagi ngirim barang ke Tanah Tinggi, Tanah Abang, denger ada kerusuhan, kita langsung balik ke gudang," ucap kakek tiga cucu itu, mengawali cerita kerusuhan Mei 98.

1. Haryanto menyamar menjadi warga pribumi

Kesaksian Tragedi Mei 98: Menyamar Jadi Warga Pribumi Hingga Mengurung di RumahIDN Times/Rochmanudin

Yanto terjebak di tengah perjalanan saat menuju tempat kerjanya di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Di perempatan Slipi kendaraan sudah tidak bergerak, akhirnya dia mencari jalan lain.

"Aku muter lewat Palmerah. Tapi di situ juga warga sudah ramai di jalanan. Aku akhirnya belok ke gang, nama jalannya lupa di situ, dulu banyak pabrik batik. Di situ mobil saya tinggal, kebetulan ada portal dan satpam jadi aman," ujar dia.

Yanto langsung menghubungi bosnya menggunakan telepon genggamnya, untuk mengabarkan kondisi terakhir. Sang majikan pun tiba di lokasi mengantarkan mobil bersama empat anak buahnya. Yanto yang berdarah Belanda dan Tionghoa itu mengajak empat rekannya ke tempat yang lebih aman, sedangkan bosnya pergi entah kemana.

"Aku bilang ke temen-temen, 'buka baju lo semua, ikatin di kepala'. Kaca mobil dibuka semua. Pura-puranya kita bagian dari mereka, biar di jalan aman," tutur Yanto.

Niat Yanto menyelamatkan diri bersama teman-teman kerjanya belum selesai. Dari Palmerah, dia harus mengemudikan mobil menuju rumahnya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Hampir sepanjang perjalanan Yanto diselimuti kepanikan dengan penyamarannya.

"Untung muka aku gak terlalu ketara orang Tionghoa, temen-temenku juga orang Jawa, jadi di jalan aman meski waswas. Di jalan tol kondisi udah kacau, di pintu masuk tol mobil susah lewat pot pot pada diancurin, dibuang di jalan. Orang-orang pada mberhentiin, mau numpang, aku bilang udah penuh. Pas sampai di pintu keluar Cawang, ada mobil dibakar," kenang dia.

Baca Juga: Wawancara Khusus Christianto Wibisono: Mengungsi ke AS Pasca Kerusuhan Mei 1998

2. Haryanto mengurung diri di rumahnya

Kesaksian Tragedi Mei 98: Menyamar Jadi Warga Pribumi Hingga Mengurung di RumahIDN Times/Rochmanudin

Beruntung, saat kerusuhan itu, Yanto dan empat temannya berhasil selamat hingga rumah. Semua teman kerjanya menginap di rumah bapak tiga anak itu selama tiga hari, sebelum mereka pulang ke kampung halamannya. Sedangkan, Yanto sendiri mengurung diri di rumah selama sepekan.

"Temen-temen pada nginep di rumah sampai agak aman, tiga harian. Kalau aku di rumah aja gak kerja ada sekitar semingguan," ujar dia.

Yanto juga merasa beruntung saat itu, karena memiliki tetangga yang toleran, sehingga dia merasa nyaman tinggal di rumah selama kerusuhan Mei 98. Sebab, bisa dibilang peristiwa saat itu kental bernuansa etnis, pemilik toko milik keturunan etnis Tionghoa dijarah hingga dihanguskan.

"Kalau di sini sih aman," ucap dia.

3. Haryanto kehilangan pekerjaan

Kesaksian Tragedi Mei 98: Menyamar Jadi Warga Pribumi Hingga Mengurung di RumahIDN Times/Rochmanudin

Yanto sepertinya trauma akibat kerusuhan Mei 98. Setelah kejadian itu, dia tak lagi meneruskan pekerjaan di tempat itu. Padahal, saat itu upah Yanto tergolong cukup tinggi, Rp 800 ribu per bulan.

"Waktu itu gajiku udah lumayan, Rp800 ribu. Kata orang-orang sih gaji segitu waktu 1998 udah gede. Aku juga dapet uang makan Rp20 ribu," ungkap dia.

Setiap peristiwa hidup memang ada hikmah di baliknya. Setelah berhenti bekerja, Yanto mencoba membuka usaha sendiri dengan menjual minuman isi ulang. Pengalaman kerja selama tiga tahun itu dijadikan sebagai guru dalam membangun usahanya.

Usaha itu hingga kini masih ia tekuni untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Bahkan, Yanto berhasil membiayai anak-anaknya hingga bangku kuliah. Semua anaknya kini sudah bekerja, dan ada yang sudah berumah tangga.

"Anak saya yang gede sekarang udah punya anak dua di Kota Wisata. Dia juga aku suruh jualan minuman," ujar Yanto.

Yanto sendiri lahir di Jatinegara, Jakarta Timur. Sang ayah yang berasal dari Yogyakarta bekerja sebagai militer dan sang ibu hanya ibu rumah tangga. Darah Belanda berasal dari sang ibunda.

"Bapak saya pensiun dari militer tahun 1943. Jadi salah kalau orang bilang keturunan Tionghoa gak berjasa di Indonesia. Coba pengusaha di Indonesia siapa lagi kalau bukan keturunan Tionghoa? Dulu mereka juga berjuang untuk kemerdekaan Indonesia," ujar Yanto, mengingatkan sekaligus mengakhiri perbincangannya.

Baca Juga: Kronologi Reformasi Mei 1998, Terjungkalnya Kekuasaan Soeharto

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya