Ini 5 Pasal Bermasalah dalam RUU Terorisme

Jakarta, IDN Times – Teror bom yang terjadi berturut-turut di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat serta Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur sepanjang awal Mei 2018 ini menjadi sorotan global.

Masyarakat menilai pembahasan mengenai revisi undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme berjalan cukup lamban. Saat ini RUU Terorisme menjadi kembali didesak untuk segera diselesaikan.

Pasca kasus teror bom yang terjadi di Surabaya, Presiden Joko Widodo sempat memberikan teguran keras kepada DPR. Jokowi mengatakan akan membentuk perpres terkait terorisme jika DPR gagal mengesahkan RUU Terorisme ini.

Pemerintah memang memiliki niat untuk mempercepat pengesahan RUU Terorisme. Namun, beberapa pasal yang ada di dalam RUU tersebut dirasa masih bermasalah. Hal ini dikarenakan beberapa pasal dinilai masih melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

1. Soal definisi

Ini 5 Pasal Bermasalah dalam RUU Terorismeaboutmanchester.co.uk

“Definisi Teroris ini memang tak ditemukan dalam UU No. 15 Tahun 2003. Demikian pula dalam UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, termasuk pada RUU yang di rumuskan oleh pemerintah ini” (Dikutip dari Rekomendasi Untuk Pembahasan RUU Terorisme. ICJR. 2016. H.2)

RUU KUHP berdasarkan pengamatan dari rekomendasi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) kepada DPR RI tahun 2016, diketahui DPR belum menyantumkan definisi terorisme dalam rancangan undang-undang yang dibahasnya.

Baca juga: Ketua DPR Janji Rampungkan RUU Terorisme Bulan Ini

Definisi terorisme yang hingga kini belum ada menurut ICJR akan menyulitkan berbagai pihak untuk menentukan dan atau mengawasi tingkat kepatuhan dari negara-negara anggota PBB terhadap konvensi dan resolusi PBB.

Selain itu, ICJR menilai tidak adanya definisi yang jelas dan komprehensif tentang terorisme dapat merugikan terkait perlindungan hak asasi manusia.

2. Masa penangkapan dan penahanan

Ini 5 Pasal Bermasalah dalam RUU TerorismeIDN Times/Sukma Shakti

Pasal 28 dari RUU Terorisme berbunyi:

Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu paling lama 30 (tga puluh) hari.

ICJR menyebutkan salah satu pasal yang juga bermasalah adalah pasal 28. Pasal ini telah megatur perihal penangkapan dengan masa 7x24 jam. Namun dalam RUU justru masa waktu diperpanjang menjadi 30 hari.

Dalam catatan ICJR pada tahun 2017, dalam RUU juga didorong agar masa penahanan mejadi semakin panjang. Dari 6 bulan menjadi total maksimal 510 hari. Jika dilihat, 510 hari artinya lebih dari satu tahun.

Terkait masa penahanan yang ada dalam RUU, pihak ICJR menilai hal ini sebagai jenis penahanan pre trial detention yang paling lama dalam sejarah penyusunan RUU. Ketentuan ini dinilai sangat eksesif karena tidak didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana Indonesia.

3. Perihal penyadapan

Ini 5 Pasal Bermasalah dalam RUU TerorismeIDN Times/Sukma Shakti

Pasal 31 tentang Penyadapan juga dinilai menjadi salah satu pasal yang krusial dalam pembahasan RUU Terorisme ini. Sebelumnya, pada 12 Juli 2017 saat panja melanjutkan pembahasan mengenai penyadapan, ketentuan pasal 31 RUU berbunyi:

 (1) Berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukt yang sah, penyidik berienang:

a. membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya

yang mempunyai hubungan dengan perkara Tindak Pidana Terorisme yang sedang diperiksa;

dan

b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk

mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan Tindak Pidana Terorisme, atau untuk

mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan terorisme.

(2) Pelaksanaan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) iajib dilaporkan atau

dipertanggungjaiabkan kepada atasan penyidik dan kementerian yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang komunikasi dan informatka.

ICJR menyatakan, terkait penyadapan guna mengetahui keberadaan jaringan terorisme, perlu dan harus dipisahkan antara penyadapan untuk kegiatan intelijen dan penyadapan untuk kepentingan penegakan hukum. ICJR menyatakan perlu ada sinkronisasi dengan Pasal 302 RUU KUHP tentang penyadapan.

Mengenai izin, jangka waktu atau masa penyadapan, pembatasan orang yang dapat mengakses dan pertanggungjawaban terkait penyadapan ICJR dalam laporannya menuliskan hal ini akan dirumuskan kembali oleh Pemerintah dengan merujuk kepada eputusan MK Nomor 5 Tahun 2010.

4. Keterlibatan TNI

Ini 5 Pasal Bermasalah dalam RUU TerorismeIDN Times/Sukma Shakti

Dalam pasal 43b RUU Terorisme dituliskan sebagai berikut:

(1)Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait

sesuai dengan keienangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah  nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme.

(2) Peran Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia

Keikutsertaan TNI dalam penaggulangan terorisme bagi sebagian kalangan, terutama aktivis HAM masih menjadi perdebatan. Hal ini disebabkan karena kekhawatiran akan berubahnya cara pandang masyarakat terhadap penanganan kasus terorisme dengan keikutsertaan TNI.

Beberapa pihak perasa bahwa keterlibatan TNI dapat menciptakan persepsi pertahanan negara yang justru berpotensi terciptanya perang untuk melawan terorisme.

Namun tampaknya pihak kepolisian tidak mempermasalahkan pasal tersebut. Kapolri Jenderal Polisi Tito Karavian menyatakan Polri tidak keberatan jika TNI ikut serta dilibatkan dalam penanganan terorisme.

Hal ini disampaikan Tito pascaserangan teror bom di Surabaya, Jawa Timur. Tito menyatakan pada prinsipnya, Polri paham betul bahwa TNI dan Polri serta masyarakat Indonesia memiliki musuh yang sama, yakni terorisme.

5. Hukuman mati

Ini 5 Pasal Bermasalah dalam RUU TerorismeIDN Times/Sukma Shakti

Pasal 6 menuliskan tentang Hukuman Mati. Pasal ini bertuliskan sebagai berikut:

Setap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang:

a. menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas;

b. menimbulkan korban yang bersifat massal, merampas kemerdekaan, atau hilangnya

nyaia dan harta benda orang lain; dan/atau

c. mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Obyek Vital yang Strategis,

lingkungan hidup, Fasilitas Publik, dan/atau fasilitas internasional,

dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Pasal ini hingga saat ini masih mendapat penolakan keras terutama dari aktivis HAM. Dalam pasal ini tertulis jelas pidana mati menjadi salah satu hukuman yang mungkin dijatuhkan kepada pihak yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror ataupun rasa takut kepada masyarakat luas.

ICJR menjadi salah satu pihak yang tidak setuju dengan pemberlakuan hukuman mati. Dalam laporannya yang dipublikasikan pada Oktober 2017, ICJR bahkan menuliskan rekomendasi terkait hukuman mati. Hukuman ini dirasa menjadi hukuman yang melanggar hak asasi manusia.

Anggara Suwahju selaku Direktur Eksekutif dari ICJR mengimbau agar DPR bergerak dengan lebih cepat dalam pengesahan RUU Terorisme ini.

“Kalau mau bisa cepetkan. Rapatnya bisa maraton,” tutur Anggara. Dalam suasana pasca teror bom yang terjadi selama bulan Mei, pihak ICJR juga mengimbau agar pemerintah kembali melihat hak-hak dari korban terorisme.

Baca juga: Pembahasan RUU Anti Terorisme Jalan di Tempat, Ini Tiga Penyebabnya

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya