Ini 12 Cara Pemberitaan Kasus Terorisme Versi Dewan Pers

Bisa dipakai untuk liputan bom Surabaya

Jakarta, IDN Times – Rentetan teror terjadi di Surabaya dalam dua hari terakhir ini. Kemarin tiga gereja dibom dan hari ini bom meledak di Mapolrestabes Surabaya. Korban berjatuhan, baik dari polisi maupun masyarakat.

Serangan teror ini mendapat perhatian luas dari publik. Sayangnya, banyak dari mereka kemudian menyebarkan foto-foto korban dengan kondisi yang mengenaskan. Bahkan sejumlah media pun ikut menyebarkan foto-foto dan video rekaman korban yang seharusnya tidak patut ditayangkan. 

Nah, berikut 12 langkah versi Dewan Pers untuk wartawan yang meliput kasus terorisme.

1. Keselamatan yang utama

Ini 12 Cara Pemberitaan Kasus Terorisme Versi Dewan Pers IDN Times/Sukma Shakti
Wartawan selalu menempatkan keselamatan jiwa sebagai prioritas di atas kepentingan berita. Saat meliput sebuah peristiwa terkait aksi terorisme yang dapat mengancam jiwa dan raga, wartawan harus membekali diri dengan peralatan untuk melindungi jiwanya.

Baca juga: [UPDATE] Bom Surabaya: Polisi Tangkap 9 dan Tembak Mati 4 Terduga Teroris

2. Utamakan kepentingan publik

Ini 12 Cara Pemberitaan Kasus Terorisme Versi Dewan Pers IDN Times/Sukma Shakti

Wartawan selalu menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan jurnalistik. Wartawan yang mengetahui dan menduga sebuah rencana tindak terorisme wajib melaporkan kepada aparat dan tidak boleh menyembunyikan informasi itu dengan alasan untuk mendapatkan liputan eksklusif. Wartawan bekerja untuk kepentingan publik sehingga keselamatan nyawa warga masyarakat harus ditempatkan di atas kepentingan berita.

3. Hindari glorifikasi tindakan terorisme

Ini 12 Cara Pemberitaan Kasus Terorisme Versi Dewan Pers IDN Times/Sukma Shakti

Wartawan harus menghindari pemberitaan yang berpotensi mempromosikan dan memberikan legitimasi maupun glorifikasi terhadap tindakan terorisme maupun pelaku terorisme. Terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) terhadap kemanusiaan.

4. Tidak memberitakan secara rinci saat siaran langsung

Ini 12 Cara Pemberitaan Kasus Terorisme Versi Dewan Pers IDN Times/Sukma Shakti

Wartawan dan media penyiaran dalam membuat siaran langsung (live) tidak melaporkan secara terinci/detail peristiwa pengepungan dan upaya aparat dalam melumpuhkan para tersangka terorisme.

Siaran secara langsung dapat memberikan informasi kepada para terduga teroris mengenai posisi dan lokasi aparat keamanan secara real time dan hal ini bisa membahayakan keselamatan anggota aparat yang sedang berupaya melumpuhkan para teroris.

5. Tidak boleh menciptakan stigma tertentu

Ini 12 Cara Pemberitaan Kasus Terorisme Versi Dewan Pers IDN Times/Sukma Shakti

Wartawan dalam menulis atau menyiarkan berita terorisme harus berhati-hati agar tidak memberikan atribusi, gambaran, atau stigma yang tidak relevan, misalnya dengan menyebut agama yang dianut atau kelompok etnis si pelaku. Kejahatan terorime adalah kejahatan individu atau kelompok yang tidak terkait dengan agama ataupun etnis.

6. Jangan sampai salah diksi

Ini 12 Cara Pemberitaan Kasus Terorisme Versi Dewan Pers IDN Times/Sukma Shakti

Wartawan harus selalu menyebutkan kata ”terduga” terhadap orang yang ditangkap oleh aparat keamanan karena tidak semua orang yang ditangkap oleh aparat secara otomatis adalah pelaku tindak terorisme.

Untuk menjunjung asas praduga tidak bersalah (presumption of innocense) dan menghindari pengadilan oleh pers (trial by the press) wartawan perlu mempertimbangkan penggunaan istilah “terperiksa” untuk mereka yang sedang diselidiki atau disidik oleh polisi, “terdakwa” untuk mereka yang sedang diadili, dan istilah “terpidana” untuk orang yang perkaranya telah diputus oleh pengadilan.

7. Tak perlu utarakan rincian modus

Ini 12 Cara Pemberitaan Kasus Terorisme Versi Dewan Pers IDN Times/Sukma Shakti

Wartawan wajib menghindari mengungkap rincian modus operandi tindak pidana terorisme seperti cara merakit bom, komposisi bahan bom, atau teknik memilih sasaran dan lokasi yang dapat memberi inspirasi dan memberi pengetahuan bagi para pelaku baru tindak terorisme.

8.Tidak menyiarkan video atau foto

Ini 12 Cara Pemberitaan Kasus Terorisme Versi Dewan Pers IDN Times/Sukma Shakti

Wartawan tidak menyiarkan foto atau adegan korban terorisme yang berpotensi menimbulkan kengerian dan pengalaman traumatik. Pemuatan foto atau adegan hanya diperbolehkan bila bertujuan untuk menyampaikan pesan kemanusiaan bahwa terorisme selalu menyasar sasaran umum dan menelan korban jiwa.

9. Cegah diskriminasi untuk keluarga pelaku

Ini 12 Cara Pemberitaan Kasus Terorisme Versi Dewan Pers IDN Times/Venita Be

Wartawan wajib menghindari peliputan keluarga terduga teroris untuk mencegah diskriminasi dan pengucilan oleh masyarakat, kecuali dimaksudkan untuk menghentikan tindakan diskriminasi yang ada dan mendorong agar ada perhatian khusus misalnya terhadap penelantaran anak-anak terduga teroris yang bila dibiarkan akan berpotensi tumbuh menjadi teroris baru.

Terkait dengan kasus-kasus yang dapat menimbulkan rasa duka dan kejutan yang menimpa seseorang, pertanyaan dan pendekatan yang dilakukan untuk merekonstruksi kejadian dengan menemui korban keluarga korban maupun keluarga pelaku harus dilakukan secara simpatik dan bijak.

10. Perhatikan kredibilitas narasumber

Ini 12 Cara Pemberitaan Kasus Terorisme Versi Dewan Pers IDN Times/Ardiansyah Fajar

Wartawan dalam memilih pengamat sebagai narasumber wajib selalu memperhatikan kredibilitas, kapabilitas dan kompetensi terkait latar belakang, pengetahuan, dan pengalaman narasumber yang relevan dengan hal-hal yang akan memperjelas dan memberikan gambaran yang utuh terhadap fakta yang diberitakan.

11. Sortir undangan jika menerima

Ini 12 Cara Pemberitaan Kasus Terorisme Versi Dewan Pers IDN Times/Reza Iqbal

Dalam hal wartawan menerima undangan meliput sebuah tindakan aksi terorisme, wartawan perlu memikirkan ulang untuk melakukannya. Kalau undangan terkait dengan rencana aksi pengeboman atau aksi bom bunuh diri sebaiknya wartawan tak perlu memenuhinya, karena hal itu dapat dipandang sebagai cara memperkuat pesan teroris dan mengindikasikan ada kerja sama dalam sebuah tindakan kejahatan. Wartawan menyampaikan rencana tindak/aksi terorisme kepada aparat hukum.

12. No HOAX

Ini 12 Cara Pemberitaan Kasus Terorisme Versi Dewan Pers IDN Times/Sukma Shakti

Wartawan wajib selalu melakukan check dan rechek terhadap semua berita tentang rencana maupun tindakan dan aksi terorisme ataupun penanganan aparat hukum terhadap jaringan terorisme untuk mengetahui apakah berita yang ada hanya sebuah isu atau hanya sebuah balon isu (hoax) yang sengaja dibuat untuk menciptakan kecemasan dan kepanikan.

Dewan pers juga menyatakan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers yang tidak melayani Hak Jawab selain melanggar Kode Etik Jurnalistik juga dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratius juta rupiah).

Baca juga: DPR: Revisi RUU Terorisme Kelar Sebelum Lebaran

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya