Kasus Remaja Hina Presiden, KPAI: Ada Keinginan Dapat Pengakuan dari Sebaya

Lingkungan keluarga baik bukan jaminan

Jakarta, IDN Times – remaja berusia 16 tahun menggunakan media sosialnya untuk mengunggah sebuah video yang berisikan pesan ancaman untuk Presiden Republik Indonesia Joko "Jokowi" Widodo.

Dalam video, tampak remaja pria tersebut menuturkan ujaran kebencian dan mengancam akan membunuh Jokowi.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menanggapi kasus tersebut. Secara usia, sosok dalam video diketahui masih tergolong anak-anak. Berusia 16 tahun, remaja tersebut harus berhadapan dengan hukum.

KPAI menilai kasus ini merupakan kasus sebab-akibat. Kurangnya edukasi pada anak tentang penggunaan media sosial menjadi salah satu penyebab remaja tersebut nekat melakukan hal yang membuatnya berhadapan langsung dengan hukum. 

KPAI menekankan, ada 3 hal yang harus diperhatikan tentang mengapa anak bisa nekat melakukan ancaman

1. Latar belakang faktor psikologis

Kasus Remaja Hina Presiden, KPAI: Ada Keinginan Dapat Pengakuan dari SebayaInstagram/@jojo__ismyname

KPAI menilai banyak hal yang menjadi pertimangan kenapa anak melakukan sesuatu dan kenapa anak tidak melakukan hal lainnya. Faktor psikologis dengan latar belakang pembentuknya menjadi salah satu pertimbangan. 

“Akan juga dipengaruhi oleh lingkungan, baik lingkungan keluarga dan teman sebaya,” tutur Putu Elvina selaku anggota komisioner KPAI. Putu menyatakan meskipun lingkungan keluarga sang anak membentuk psikologis anak menjadi baik, tidak lantas menjamin anak tidak menjadi anarkis.

Baca juga: Bocah Penghina Jokowi Terancam Hukuman 6 Tahun, Dikeluarkan dari Sekolah

Keinginan mendapat pengakuan dari rekan sebayanya menjadi salah satu alasan anak nekat melakukan hal-hal tertentu termasuk bersikap anarkis.

2. Kenakalan remaja yang harus dipahami

Kasus Remaja Hina Presiden, KPAI: Ada Keinginan Dapat Pengakuan dari SebayaInstagram/@jojo__ismyname

Juvenille delinquency (kenakalan remaja) punya multi-aspek yang kemudian memposisikan anak harus berhadap dengan hukum. Baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi. Dalam kasus remaja ancam membunuh presiden ini, anak berada di posisi sebagai pelaku.

Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) UURI No.11 Tahun 2011 mengatur bagaimana memosisikan anak ketika berhadapan dengan hukum. KPAI menegaskan tidak bisa menempatkan anak sama seperti orang dewasa ketika anak harus berhadapan dengan hukum.

Dalam kasus yang merupakan delik aduan, menurut KPAI harus diperhatikan dan dipertimbangkan secara matang terkait reposisi korban maupun pelaku yang berusia anak.

3. Diversi menjadi hak anak

Kasus Remaja Hina Presiden, KPAI: Ada Keinginan Dapat Pengakuan dari SebayaIDN Times/Margith Damanik

Dalam UU SPPA yang memiliki ruh restorative justice, dalam penanganan kasus yang menimpa anak sebagai pelaku yang dianggap melangar hukum ada penanganan khusus yang disebut diversi. Diversi hanya diberlakukan pada kasus yang memiliki ancaman di bawah 7 tahun dan memenuhi kriteria diversi lainnya.

KPAI mengimbau agar kasus yang menimpa remaja 16 tahun tersebut diselesaikan melalui penanganan diversi. “Hukumnya (diversi) wajib dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim. Bukan pilihan,” tutur utu. 

Putu juga menegaskan meski ada penanganan diversi, bukan berarti anak tidak diproses secara hukum. “Anak dalam proses hukum, dan ditempatkan di LPKS (Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial),” kata Putu.

Baca juga: Kak Seto Minta Bocah 16 Tahun Penghina Jokowi Tetap Dihukum

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya