5 Pendapat Tokoh Hingga Millennial soal Larangan Pemakaian Cadar

Mereka punya pangan hampir serupa soal larangan bercadar

Jakarta, IDN Times - Pelarangan mengenakan cadar bagi mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menuai pro dan kontra di masyarakat. Bagaimana tanggapan masyarakat terkait hal ini?

1. Komnas HAM: Harus ada keseimbangan hak asasi

5 Pendapat Tokoh Hingga Millennial soal Larangan Pemakaian Cadarabc.net.au

Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Bidang Eksternal Sandrayati Moniaga mengatakan, pihaknya perlu mengkaji lebih dulu apakah larangan bercadar merupakan bentuk diskriminasi atau tidak. Sebab, cadar juga terkait kebebasan manusia dalam beribadah.

"Nah, pertanyaannya apakah memakai cadar itu bagian dari menjalankan agama? Kalau itu bukan bagian dari menjalankan agama tidak apa-apa dilarang. Hak asasi bisa dibatasi tapi harus ada aturannya. Bisa melalui undang-undang, apakah bercadar itu bagian dari hak asasi atau tidak, perlu kita kaji lebih jauh lagi," ujar Sandra saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Sabtu (9/3) lalu.

Menurut Sandra, perlu ada keseimbangan antara hak asasi antara orang yang bercadar dengan lingkungan. Namun, sejauh ini, pihaknya belum menerima aduan pelanggaran hak asasi tersebut.

"Harus ada keseimbangan antara hak asasi yang bersangkutan dan hak asasi lingkungan sekitar. Karena ada pro kontra itu bukan bagian dari ibadah, tapi hanya kultural, apakah itu termasuk pelanggaran HAM atau tidak, itu yang sedang kita bahas. Yang penting yang bersangkutan masih bisa sekolah," ucap dia.

2. Ketum PBNU: silakan pakai cadar asal jangan anggap paling Islam 

5 Pendapat Tokoh Hingga Millennial soal Larangan Pemakaian Cadargemaislam.com

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj tak mempermasalahkan penggunaan cadar bagi umat Islam perempuan, selama pengguna tak merasa paling benar dalam beragama.

"Silakan bercadar, silakan berjenggot, asalkan jangan menganggap dirinya sudah paling Islam lah," ujar dia usai deklarasi 'Masyarakat Anti Hoax' di kantor Lembaga Persahabatan Ormas Islam, Jakarta Pusat, Jumat (9/3).

Mahasiswi mengenakan cadar, kata Said, juga tak perlu dipersoalkan, apabila pengguna tidak menyebut yang lain kafir dan menganggap sesama Muslim menyembah Tuhan yang berbeda. 

"Yang penting iman, akhlak, dan moralnya dan hatinya, bukan saja dilihat dari penampilannya," tutur dia.

Baca juga: Heboh Isu Pelarangan Penggunaan Cadar Wanita Muslim, Ini Tanggapan MUI

3. Alissa Wahid: fenomena penggunaan cadar dinamika politik identitas

5 Pendapat Tokoh Hingga Millennial soal Larangan Pemakaian CadarIDN Times/Linda Juliawanti

Pendapat menarik muncul dari aktivis sosial dan keagamaan, Alissa Wahid. Menurut putri Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu, setiap institusi memang dibebaskan membuat regulasi di kampusnya. Namun, persoalannya apakah etis atau mengikat secara afirmatif. 

"Perdebatan soal ini, dimana batasnya, apakah menggunakan rok mini menggunakan cadar bisa disamakan? Artinya kalau gak boleh pakai rok mini lalu gak boleh pakai cadar apakah setara atau gak?" tanya Alissa saat ditemui terpisah.

Alissa berpendapat, cadar menjadi memiliki dimensi lain ketika dianggap masyarakat berkaitan dengan politik identitas. Hal itulah, kata dia, yang dirasa tak tepat diterapkan dalam lingkungan pendidikan.

"Ada politik identitasnya yang mengikuti pemakaian cadar itu, di sisi lain ada dilema bahwa ini hak asasi manusia apalagi terkait dengan tafsir agama. Apakah cadar karena perkembangan politik identitas dan pengelompokan indentitas yang merusak nilai keberagaman di Indonesia? Ini harus diselesaikan bersama sebagai bangsa," tutur dia.

Alissa berharap penyelesaian perkara cadar ini dapat diselesaikan tanpa harus menempuh jalur hukum. Sebab, ia khawatir ini jadi preseden sikap represif terhadap hak setiap manusia dalam berpakaian sesuai keyakinan.

"Bagi saya itu bisa diselesaikan dengan solusi lain, tidak dengan melarang cadarnya itu sendiri. Tapi kalau ada memang ada pertimbangan yang lebih dalam terkait politik identitas atau ideologisasi, itu persoalan berbeda. Karena ini masalah tafsir agama kan akhirnya," kata Alissa.

4. Ketua ICMI: Kewajiban prosedural sebagai mahasiswa

5 Pendapat Tokoh Hingga Millennial soal Larangan Pemakaian CadarIDN Times/Linda Juliawanti

Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menyebut aturan di institusi kampus menjadi kreatifitas perguruan tinggi. Namun, tak tepat jika membuat aturan tanpa dialog terlebih dahulu dengan pihak lain, dalam hal ini mahasiswa itu sendiri.

"Kalau masalah karena keperluan bikin foto kalau dia ditutup bagaimana gak kelihatan orangnya. Kalau di era seperti ini kan bisa aja nyaru-nyaru, ternyata bukan yang bersangkutan karena tertutup. Tapi kalau dalihnya adalah keyakinan beragama itu sulit juga, karena menyangkut hak asasi manusia," kata dia.

Menurut Jimly, sebagai warga negara tentu bebas memakai cadar. Namun, begitu dia menjadi mahasiswa itu harus mengikuti ketentuan yang ditentukan perguruan tinggi. 

"Kalau dia statusnya bukan sebagai mahasiswa, hanya menjadi warga biasa ya gak bisa dilarang. Mau pakai baju dari ujung ke ujung gak keliatan hanya mata saja, ya gak bisa dilarang itu kan keyakinan seseorang. Tetapi ini namanya official requirement. Saat dia menjadi mahasiswa harus ada foto dan lain-lain ini harus dipisahkan antara hak asasi sebagai manusia dan kewajiban prosedural sebagai status mahasiswa, maka itu kita serahkan ke perguruan tinggi masing-masing," kata dia.

5. Suara Millennial: penggunaan cadar tak lebih dari pemahaman agama

5 Pendapat Tokoh Hingga Millennial soal Larangan Pemakaian CadarIDN Times/Linda Juliawanti

Mewakili suara millennial, Adim Mugni, merasa larangan bercadar sungguh mengherankan, terlebih aturan ini datang dari kampus Islam. Dia beranggapan, seluruh elemen kampus baik mahasiswa, dosen, maupun guru besar dan birokrat kampus, sudah pasti mengetahui mahasiswa memakai cadar karena alasan pemahaman keagamaanya Islamnya. 

"Saya yakin pemangku kebijakan di kampus mengetahui bahwa dalam Islam ada beberapa mazhab dan perbedaan fiqih, dan perbedaan itu tidak dipermasalahkan ketika tidak keluar dari Alquran dan hadist," ujar sarjana Hukum Pidana Islam UIN Bandung ini kepada IDN Times, Minggu (10/3).

Pria 23 tahun itu berpendapat pemakaian cadar merupakan implementasi dari pemahaman mazhab atau fiqih yang dianut mahasiswi berdacar. Sehingga, mestinya pemahaman ini menjadi sebuah kesadaran bersama, apalagi di kampus Islam, yang notabene masyarakat beragama Islam di dalamnya.

"Kekhawatiran isu radikalisme tidak bisa disimbolkan dengan orang yang memakai cadar, semisal ada orang yang bercadar lalu berlaku radikal, itu tidak bisa digeneralisir bahwa yang orang yang bercadar itu adalah orang radikal atau dianggap orang yang akan radikal," kata Adim.

karena itu, Adim merasa, tidak perlu ada larangan langsung bagi mahasiswi bercadar, karena mungkin yang memakai penutup wajah ini ingin menutupi auratnya sesuai pemahaman keagamaan Islamnya. 

"Menurut saya, larangan bercadar di kampus Islam menunjukan ketidakdewasaan dalam berislam. Di sisi lain, saya juga menyadari pihak kampus pasti punya pertimbangan lain dalam mengambil kebijakan tersebut, dan mungkin kebijakan itu yang tebaik bagi kampus dan masyarakat sekitarnya," kata Adim.

Baca juga: Aku, Jilbab, dan Larangan Bercadar

Topik:

Berita Terkini Lainnya