Kisah Miris Si Bungsu dan Hukum yang Tidak Berpihak Pada Perempuan

Seringkali perempuan yang seharusnya jadi korban, justru dijadikan pelaku

Jakarta, IDN Times - Orang-orang memanggilnya Si Bungsu (24 tahun), karena dia adalah anak terakhir dari dua bersaudara. Keluarganya adalah buruh tani di Demak. Namun Si Bungsu kini bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada pasangan suami isteri di Depok, Jawa Barat.

Meski pekerjaanya berat, tapi ia terbantu karena majikannya baik dan mengizinkannya untuk berjalan-jalan setiap hari Minggu. "Untuk membangun relasi," begitu kata majikannya.

Suatu hari Si Bungsu menjalin kasih dengan Iaki-laki berinisial H yang usianya hanya terpaut satu tahun. H baik dan tampan. Suatu hari, H membujuk Si Bungsu untuk melepas kesucian yang selama ini ia jaga, sebagai pembuktian cinta. "Aku janji akan menikahimu lebaran nanti," rengek lelaki itu.

Si Bungsu pun menuruti kemauan H. Beberapa bulan kemudian, Si Bungsu merasa mual, tamu bulanan pun tak kunjung datang. Dia sadar ini akibat dari perbuatan yang mestinya tak ia lakukan.

Nahas baginya, H enggan bertanggung jawab seperti janjinya saat merengek. Si Bungsu pun stres. Situasi ini membuat dirinya jatuh sakit. Janin yang dikandungnya pun tak terselamatkan. Ia keguguran di rumah majikannya.

Karena takut diketahui majikannya, Si Bungsu memasukan janin berjenis kelamin perempuan itu ke dalam plastik kemudian disimpan bersama pakaian, dengan maksud akan dikubur di kampung halamannya. Namun Si Bungsu mengalami pendarahan yang membuatnya dilarikan ke RS Cinere oleh Sang Majikan.

Nasib apes tak berhenti sampai di sana. Tindakan Si Bungsu 'membuang' janinnya diketahui Polisi. Ia pun dijemput Penyidik Posek Cinere untuk diperiksa Iebih lanjut, meskipun kondisinya saat itu masih lemah. Ia kemudian ditahan di Rutan Polres Depok dan didakwa melanggar Pasal 338, 340, 341, 342 KUHP dan Pasal 80 UU Perlindungan Anak. 

Ironisnya, Hakim Pengadilan Negeri Depok menjatuhkan pidana 4 tahun penjara pada Si Bungsu. Ia menanggung beban itu sendiri, sementara H, sejak peristiwa itu, menghilang tanpa jejak.

Itulah secuil kisah nyata yang dilaporkan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) di tahun 2017. Nyatanya masih banyak kejadian miris yang membuat perempuan yang seharusnya menjadi korban, justru malah diputus sebagai pelaku. 

1. Sistem hukum tidak adil pada perempuan

Kisah Miris Si Bungsu dan Hukum yang Tidak Berpihak Pada Perempuan Ilustrasi oleh Rappler

Berdasarkan laporan atas sejumlah kasus, LBH APIK sering kali menemukan berbagai kendala hukum, terutama di pengadilan terkait kekerasan terhadap perempuan. 

"Korban kekerasan mengalami reviktimisasi, dikriminalkan atau dianggap bertanggung jawab atas kekerasan yang dialaminya," ujar Direktur LBH Apik, Siti Mazumah.

Hal tersebut diamini Komisi Nasional Perempuan yang mengatakan sistem hukum di Indonesia masih tidak adil terhadap perempuan. Penyebabnya, belum terbangunnya perspektif bahwa perempuan adalah korban.

"Jika dilihat dari struktur hukum, ada undang-undang dan juga aparat penegak hukum yang tidak berspektif bahwa perempuan adalah korban," ujar Koordinator Pemantauan Komnas Perempuan Dwi Ayu Kartika Sari dalam diskusi di Gedung Juang, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/2).

Menurut Dwi, pola pikir masyarakat juga turut mempengaruhi perspektif ini. 

"Aparat penegak hukum memang menjadi masalah, cuma ini yang sulit dalam perubahan sosial adalah merubah mindset yang kita lihat. Misalnya ada budaya patriarki, ada interpretasi agama yang kadang ada kebencian terhadap perempuan, yang misoginis juga banyak," kata dia.

Selain kendala dari sistem hukum, kendala dari keluarga korban juga kerap terjadi. Budaya di masyarakat juga masih lemah untuk memberikan dukungan terhadap perempuan korban kekerasan.

Baca juga: Miris! Gadis Kecil Ini Dicabuli Gurunya Sendiri di Rumah Ibadah

2. Undang-udang yang tak adil bagi perempuan

Kisah Miris Si Bungsu dan Hukum yang Tidak Berpihak Pada Perempuan IDN Times/Sukma Shakti

Lebih lanjut, Dwi merincikan sejumlah undang-undang yang tak berpihak pada perempuan, salah satunya Undang-undang Pornografi.

"UU pornografi yang sempat jadi kontroversial juga kan itu sudah disahkan dan sudah berlaku ya, kalau dari hasil pengamatan Komisi Perempuan, beberapa perempuan yang sebenarnya korban tapi jadi pelaku terkena pidana dengan UU pornografi," jelasnya.

Selain Undang-undang Pornografi, aturan mengenai Kekerasaan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga kerap menjerat perempuan sebagai pelaku penelantaran keluarga.

"Ada seorang istri dia merupakan korban KDRT lalu meninggalkan rumahnya karena takut ancaman kekerasaan yang dilakukan suaminya, lalu malah dikriminalkan dengan dugaan penelantaran. Ini kisah nyata loh," kata dia.

Lagi-lagi, penyebabnya adalah aparat hukum dan penyelenggara undang-undang yang tak memikirkan nasib perempuan.

"Kadang perspektif aparat penegak hukum dan pelaksana undang-undang tidak membela korban, kadang menyamaratakan bahwa kalau istri meninggalkan rumah dianggap penelantaran dan terkena UU PKDRT," ungkapnya.

Selain itu, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga rawan mengkriminalkan perempuan.

"Seperti kasus yang pernah terjadi, ada perempuan melaporkan kekerasan seks yang dialami oleh dirinya dengan pelaku kepala sekolah, justru malah dia yang dipidana dengan UU ITE. Ini aneh, walaupun dalam kasus ini Komnas Perempuan membantu jadi saksi ahli sehingga dia bebas," jelasnya.

Namun, meski bebas, hal serupa juga kemungkinan mengenai perempuan dengan pasal yang sama. "Artinya potensi kriminalisasi ini masih banyak ancamannya dari kebijakan," lanjut dia.

3. RKHUP turut jadi momok bagi perempuan

Kisah Miris Si Bungsu dan Hukum yang Tidak Berpihak Pada Perempuan IDN Times/Sukma Shakti

Tak hanya undang-undang yang telah disahkan, Dwi menilai pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum dan Pidana (RKUHP) juga menimbulkan kekhawatiran lain mengenai nasib perempuan di ranah hukum.

Menurutnya, perluasan pasal zina RKUHP merupakan salah satu yang berpotensi menimbulkan over krimininalisasi.

"Kekhawatiran kami yaitu RKUHP yang soal perluasan makna zina. Yang kami khawatirkan diperluasan zina tersebut misalnya korban perkosaan kalau korbannya dewasa itu sulit dibawa ke proses hukum," ujarnya.

Dikatakan Dwi, akibat pasal ini korban dewasa perkosaan akan sulit membuktikan bahwa ia adalah korban dan bisa saja korban dikenakan perluasan zina.

"Pelaku akan mudah mendorong korban mengatakan bahwa ini suka sama suka dan tidak ada unsur perkosaan. Hampir 90 persen tidak bisa dibawa ke proses  hukum. Inilah sangat kami khawatirkan soal RUU KUHP ini," ungkapnya.

4. Nikah siri dapat dipidana, lagi-lagi perempuan yang jadi korban

Kisah Miris Si Bungsu dan Hukum yang Tidak Berpihak Pada Perempuan IDN Times/Sukma Shakti

Sementara itu, Peneliti dari Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan jika perluasan pasal tindak pidana zina disahkah DPR, akan menyasar orang-orang yang mempraktikkan nikah siri

Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan hukum agama dan dicatatkan oleh negara. Sementara nikah siri dan poligami yang tidak disertai izin istri pertama dianggap sebagai perkawinan yang tidak sah secara hukum karena secara administrasi kependudukan tidak dicatat.

Sedangkan pada Pasal 484 Ayat (1) Huruf e draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018 menyatakan, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan. 

Nyatanya, banyak orang memutuskan menikah siri karena faktor ekonomi dan geografis. Hal ini akan menyasar kriminalisasi terhadap masyarakat miskin, lagi-lagi perempuan-lah yang jadi korban.

"Nikah siri, dan nikah secara adat juga bisa dipidana. Kalau RKUHP ini jadi, mereka bisa dipidana. Padahal banyak faktor mereka mempraktikkannya. Misalnya ada masyarakat yang tidak tersentuh layanan untuk adminduk (adminstrasi dan kependudukan) karena tidak punya cukup pengetahuan, tidak ada informasi atau jarak jauh sehingga tidak medaftarkan pernikahannya, itu bagaimana?" ucapnya.

Sebagian pihak, terutama yang peduli terhadap nasib perempuan, berharap agar pengesahan RKUHP ini dapat dikaji lagi. 

"Harapannya RKUHP ditunda, kalau bisa pasal-padal yang perluasan perzinahan ga usah ya. RUU KS (kekerasan seksual) aja, sebenernya kan RUU KS udah duluan, sebaiknya RUU KS ini didorong, yang perluasan zina dihapuskan. DPR juga harus mendengarkan semua suara, jangan hanya bilang mayoritas setuju, karena bisa aja kan mayoritas itu ga setuju tapi silent," kata Dwi mewakili Komnas Perempuan.

5. Perempuan enggan melapor dan terus jadi korban

Kisah Miris Si Bungsu dan Hukum yang Tidak Berpihak Pada Perempuan IDN Times/Sukma Shakti

Namun, jika pemerintah bersikukuh mengesahkan RKUHP, akibatnya semakin banyak perempuan yang enggan bersentuhan dengan hukum. Sekalipun, masalah yang menimpanya sangat besar.

Terbukti, sepanjang tahun 2017, berdasarkan laporan LBH Apik, lebih dari 90 persen kasus kekerasaan terhadap perempuan di Indonesia tidak dilaporkan ke pihak berwajib.

"Alasan utama mereka tidak berbicara adalah karena stigma sosial dan para korban takut disalahkan. Apalagi ditambah perspektif penyelenggara undang-undang tadi yang tak menganggap perempuan sebagai korban," ujar Siti dari LBH Apik.

Baca juga: 5 Usulan Pakar Hukum Pidana untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual


 

Topik:

Berita Terkini Lainnya