Aku, Jilbab, dan Larangan Bercadar

Curahan hati mahasiswi bercadar

Jakarta, IDN Times – Melarang atau tidak melarang perempuan menggunakan cadar. Hari-hari ini aku membaca debat di media massa dan media sosial.  

Tak kurang dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berkomentar lewat akun Twitter-nya. Lukman menanggapi kontroversi larangan bercadar di sebuah Universitas Islam Negeri (UIN).

“Cadar itu bisa merupakan wujud pengamalan keyakinan ajaran agama bagi penggunanya, meskipun banyak juga yang meyakini itu hanya budaya. UIN SUKA bukan ingin mengatur khilafiyah hal itu, tapi ingin menata ketentuan akademik dan administratif yang menyangkut penggunaan cadar,” demikian kicauan Menag Lukman.

Yang dimaksud Menag adalah larangan bercadar yang sempat diterapkan pula di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Setelah ramai kontroversi, larangan yang dikemas dalam bentuk surat pembinaan mahasiswi bercadar itu dicabut pada 10 Maret 2018.

Menggunakan cadar, kerap kali dikaitkan dengan paham radikalisme. Ini yang ditolak mereka yang menggunakan cadar. Tidak sedikit penolakan datang dari mereka yang tak menggunakan cadar, karena menganggap berpakaian adalah pilihan.

Ada juga yang menganggap, ibarat kata orang bijak, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.  Kita harus menyesuaikan dengan aturan yang berlaku di tempat tertentu.

Sebagai seorang yang setiap hari memakai jilbab, menutup kepala sampai ke punggung dan dada, aku termasuk golongan tak setuju aturan itu. Berpakaian sewajarnya menjadi kebebasan manusia. Apalagi tak ada norma yang dilanggar saat memakai cadar.

1.Hijab, menutup aurat dan aturan yang mengikat

Aku, Jilbab, dan Larangan BercadarDok IDN Times

Menjadi muslimah berhijab, lebih lagi bercadar, memang susah-susah gampang. Tentu saja pengalamanku yang belum bercadar, tak bisa disamaratakan dengan mereka yang memakai niqab alias cadar setiap harinya.

Pertama, aku berjilbab itu karena aturan yang mengikat sejak duduk di sekolah dasar hingga aku lulus sekolah menengah akhir. Sekalipun sekolahku adalah sekolah negeri, tapi memakai jilbab adalah kewajiban.

Pada akhirnya, memakai jilbab bagiku sudah menjadi kebiasaan, yang menimbulkan rasa nyaman, hingga menciptakan identitas: aku adalah dia yang berjilbab.

Baca juga: 12 Seleb Ini Putuskan Berhijab Setelah Menikah, Makin Adem 

2. Hijab, cadar, dan stigma yang melekat

Aku, Jilbab, dan Larangan BercadarANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

Menurutku, pola pikir manusia yang kerap menyamakan bahwa satu orang muslimah bercadar melempar sebuah bom, maka tidak menutup kemungkinan muslimah lain juga melakukan hal yang sama, perlu dikoreksi.

Meski aku tak pernah merasa kesulitan saat mengenakan hijab, nyatanya sering kali aku temukan bahwa kesalahan yang dilakukan oleh perempuan, apalagi jika dia berjilbab, menjadi kesalahan yang seakan sangat fatal. 

Ucapan-ucapan pedas seperti “pakai hijab kok begitu”,  “malu dong sama jilbab”, dan ucapan sejenisnya. Seolah jika seorang perempuan berjilbab melakukan satu kesalahan, maka semua perempuan berjilbab juga salah.

Hal tersebut yang dirasakan oleh kenalanku, seorang mahasiswi bercadar yang enggan disebutkan namanya. Kenalanku ini bertugas di sebuah universitas di Jakarta. Mahasiswi berinisial F (20) ini merasakan sendiri tentangan banyak pihak, bahkan dari dosen, ketika ia memakai cadar.

"Ada satu dosen saya yang mengatakan pada intinya, ‘Untuk apa bercadar jika sudah berhijab syar'i, nanti sulit dikenali, dan kalau pun bicara kadang tak terdengar jelas'," ucap F saat berbincang dengan IDN Times, Senin (12/3). 

Ujaran sang dosen tak ia tanggapi dan masukkan dalam hati. "Menurut saya tanggapan beliau juga ada benarnya, jadi kembali ke diri masing-masing, karena menyamakan pemikiran itu bukan hal yang mudah," ucap dia.

3. Mengenakan jilbab, apalagi cadar, tak semudah kelihatannya

Aku, Jilbab, dan Larangan BercadarANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

Berjilbab atau tidak berjilbab, bercadar atau tidak, hanya sebuah pilihan. Dari semua pilihan itu tentu ada konsekuensinya, mudah tak mudah harus diterima. Hukum cadar, ujar F, ada yang mengatakan wajib, ada pula ulama yang menganggap cadar itu sunah. 

"Nah saya lebih prioritas ke yang kedua tersebut, mengganggapnya sunah, dan bisa dibuka ketika dalam situasi tertentu. Misalnya saya melepaskan cadar ketika mengajar, terutama mengajar anak-anak tuli," kata mahasiswa pendidikan khusus ini.

F juga berkisah bahwa menggunakan cadar itu bukanlah hal yang mudah. Ada banyak rintangan yang harus ia lalui.

"Ketika ingin bercadar itu banyak sekali rintangannya sampai orang tua pun melarang, namun ketika saya lillahita'ala untuk menggunakannya, seketika itu saya merasakan kenyamanan yang belum pernah dirasakan sebelumnya," tutur dia.

4. Larangan cadar di kampus, ramai-ramai menuai kontra

Aku, Jilbab, dan Larangan Bercadaruin-suka.ac.id

Sebagai salah satu mahasiswi bercadar, F jelas menentang aturan ini. Baginya Indonesia adalah negeri yang kaya akan budaya dan agama. 

"Dalam Pancasila sila pertama 'Ketuhanan Yang Maha Esa', jadi tak perlu dibahas lebih banyak lagi karena pada intinya pun kita sudah meyakini apa yang seharusnya kita yakini, ketika kita mencoba untuk taat terhadap agama kita, lalu apa yang menjadi masalahnya?" ujar F.

Selain itu, pihak yang melarang penggunaan cadar, kata dia, mestinya menyadari bahwa memakai cadar pasti ada alasannya. Seperti F, memakai cadar ingin menghindari fitnah.

"Karena menjadi wanita itu hanya ada dua pilihan, menjadi sebaik-baiknya perhiasan atau malah menjadi fitnah," kata dia.

"Lagipula jika seseorang menggunakan cadar karena Allah, untuk taat kepadaNya, tentu ia pasti tahu harus bersikap bagaimana. Karena cadar bukan penghalang dari segala aktivitas, apalagi identitas seorang yang radikal," lanjutnya.

5. Kurang berinteraksi, sebabkan stigmatisasi

Aku, Jilbab, dan Larangan BercadarAntara Foto/Muhammad Adimaja

Mendengarkan curahan perasaan F, aku menyadari apa yang salah dari negeri ini. Larangan bercadar, ketakutan akan paham radikal, intoleransi, hingga sebarkan isu bohong, salah satunya karena kurangnya interaksi. 

F sendiri, sebagai seorang wanita yang bercadar, merasakan bahwa sangat sedikit yang mau menjalin komunikasi atau menanyakan pendapat padanya. Jangankan berbeda agama, sesama muslim yang berbeda dengannya pun tampak segan menjalin interaksi dengan dia.

"Mungkin mereka lebih memilih untuk beradu argumen antara hati dan pikirannya sendiri, dan tak pernah bicara langsung sama saya," curhatnya.

Namun, di sisi lain, sebagai muslimah yang berjilbab, saya semampunya sadar diri, menjaga diri dari fitnah dan berhenti berkata kasar, apalagi di wadah umum seperti media sosial.  

Nyatanya, tidak semua muslimah bercadar yang menganut paham radikalisme. F adalah satu dari banyaknya muslimah bercadar yang terbuka berbicara dengan siapapun. 

"Saya hanya berusaha untuk menjadi yang terbaik di antara yang terbaik pula (dengan memakai cadar)," tuturnya. 

Baca juga: 12 Gaya Menawan Kartika Putri yang Kini Berhijab, Makin Adem

Topik:

Berita Terkini Lainnya