Pro-Kontra Sunat Perempuan: Dari Kebiri Seksual Hingga Tradisi

Kementerian Kesehatan tidak tegas dalam soal ini

Jakarta, IDN Times – Sunat perempuan di Indonesia rupa-rupanya masih berlangsung hingga saat ini, meski pro dan kontra masih mewarnai budaya tersebut. Silang pendapat misalnya, terjadi antara Kementerian Kesehatan, Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Bahkan, sejak mengeluarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas), Indonesia menjadi sorotan dunia lantaran praktik sunat perempuan yang dinilai membahayakan. Lantas apa saja pro kontra seputar sunat perempuan?

1. Sunat perempuan dianggap tak memiliki manfaat

Pro-Kontra Sunat Perempuan: Dari Kebiri Seksual Hingga TradisiUnsplash/Leo Rivas

Komisioner Komnas Perempuan Nina Nurmila mengatakan, tahun 2017 Komnas Perempuan berkolaborasi dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM melakukan penelitian lapangan di daerah tertinggi praktik sunat perempuan berdasarkan data riskesdas 2013, yaitu Riau, Jambi, Bangka Belitung, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Barat.

Data Riskesdas 2013 yang diluncurkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan menunjukkan, ada 20 provinsi yang memiliki persentase sunat perempuan di atas rata-rata nasional.

Tertinggi adalah Gorontalo dengan persentase sunat perempuan mencapai 83,7 persen, disusul Bangka Belitung, Banten, Kalimantan Selatan, dan Riau. Secara nasional, persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun sebesar 51,2 persen. 

Jika dilihat dari karakter wilayah, persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun di perkotaan sebesar 55,8 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan di pedesaan, yakni 46,9 persen.

“Berdasarkan penelitian di wilayah-wilayah tersebut, mayoritas percaya bahwa pemotongan atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) menjadi bagian tradisi yang harus dipelihara turun-temurun. Kepercayaan agama masih menjadi alasan utama, misalnya untuk proses mensucikan hingga mengurangi nafsu seksual perempuan. Padahal, P2GP tak bermanfaat secara medis dan berbahaya. Sebab itu, praktik P2GP harus segera dihapuskan,” kata Nina kepada IDN Times, Selasa (6/2).

“Pada laki-laki dilakukan pemotongan daging yang menutupi lubang kencing, jika tidak dihilangkan akan sulit bagi seorang laki-laki untuk mensucikan diri. Namun, masyarakat menganalogikan, kalau sunat laki-laki penting maka penting juga untuk perempuan. Itu analogi yang salah, karena dari bentuknya saja kelamin laki-laki dan perempuan berbeda,” imbuhnya.

Baca juga: Sunat Perempuan di Indonesia, Pantaskah Budaya Ini Dipertahankan?

2. Hak perempuan atas reproduksi dan pemenuhan seksual harus dijamin

Pro-Kontra Sunat Perempuan: Dari Kebiri Seksual Hingga TradisiUnplash/Hannah Tasker

Nina lantas menceritakan hasil wawancaranya dengan salah satu dosen sekaligus bidan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Bidan tersebut hidup di tengah tradisi praktik sunat perempuan yang sangat kuat. Sebelum anak perempuannya ditagih untuk dikhitan, dia lantas membaca banyak literatur mengenai anatomi perempuan.

“Karena dia kan terdidik. Dia mengatakan, pada kelamin perempuan itu tidak ada sedikit pun daging yang menghalangi lubang kencing perempuan seperti halnya laki-laki. Jadi, tanpa disunat pun secara medis tidak mempersulit untuk bersuci. Klitoris itu seperti penisnya laki-laki, di situ banyak saraf untuk menikmati hubungan seksual. Ketika dipotong, itu sama saja mengebiri atau memotong kelamin laki-laki,” kata Nina.

Menurut  Nina, setiap perempuan memiliki hak reproduksi dan pemenuhan seksual. Fakta yang ia saksikan di lapangan, para bidan banyak yang tidak benar-benar melakukan sunat perempuan saat diminta oleh pihak keluarga. Sebab, secara medis tak memiliki manfaat apa pun.

“Bidan yang sudah paham ya hanya membuang sedikit lendir saja, tak ada yang dilukai. Suatu hari ada pasien di Jambi yang mengeluh tak merasakan apa-apa ketika berhubungan seksual, suaminya juga mengeluh lantaran si istri susah diajak berhubungan seksual. Begitu diperiksa, ternyata klitorisnya sudah dipangkas habis (saat ia masih kecil). Inilah akibat dari ketidaktahuan dan sekadar menduga-duga,” ujarnya.

3. Berbagai macam mitos sunat perempuan yang salah kaprah

Pro-Kontra Sunat Perempuan: Dari Kebiri Seksual Hingga TradisiUnplash/Larm Rmah

Nina mengatakan, ada banyak mitos seputar sunat perempuan. Di Kalimantan Selatan, misalnya,  sunat perempuan dipercaya dapat mempermudah proses melahirkan, perempuan jadi mudah dididik, supaya akhlaknya bagus, kelihatan lebih cantik, sampai supaya bisa lebih menikmati hubungan seksual.

“Praktik sunat juga berbeda-beda dari satu wilayah ke wilayah lain, dari praktik cara memotong, ada yang dipotong habis, separuh dipotong, ada yang dikasih kunyit sebagai simbolis, ada yang syaratnya harus dilukai sampai berdarah, sampai dikerik pakai ujung pisau,” kata Nina.

Akibat mitos-mitos tersebut, lanjut Nina, di Banten pernah ada kejadian sunat anak perempuan yang berujung pada kematian. Usai dipotong habis (klitorisnya) oleh dukun, si anak mengalami pendarahan, lantas dilarikan ke Puskesmas terdekat. Pembuluh darahnya bermasalah, lantas dirujuk ke rumah sakit. Namun, nyawa anak tersebut sudah tak tertolong.

4.  Sunat perempuan adalah bentuk penghinaan

Pro-Kontra Sunat Perempuan: Dari Kebiri Seksual Hingga TradisiUnplash/Caroline Hernandez

“Walaupun dilakukan secara simbolis, itu dapat menimbulkan rasa tak nyaman pada si anak perempuan. Dari sisi ideologis, praktik sunat perempuan itu penghinaan pada perempuan. Kalau dikatakan seks perempuan harus dikontrol, itu sama saja menghina dan merendahkan martabat perempuan,” kata Nina.

5.  Kemenkes harus bersikap tegas

Pro-Kontra Sunat Perempuan: Dari Kebiri Seksual Hingga TradisiUnplash/Michael Mims

Nina tak menampik, alasan budaya memang tak bisa ditolak. Namun, Kementerian Kesehatan yang secara struktural berada dalam satu garis komando seyogianya harus tegas menghentikan praktik pemotongan alat genital perempuan.

“Kebijakan-kebijakannya perlu tegas, berikan informasi pada seluruh tenaga kesehatan bahwa memotong alat genital perempuan itu berbahaya. Kemenkes kan sebagai lembaga yang otoritatif mestinya bisa (mengeluarkan kebijakan tegas),” ujarnya.

Nina menambahkan, pihaknya perlu melakukan pendekatan pada MUI yang dominan beranggotakan laki-laki dan belum tentu tahu anatomi alat kelamin perempuan. MUI diharapkan dapat melihat fakta di lapangan.

“Di Mesir, ada kasus kematian akibat disunat sekitar tahun 2003-2005. Pemerintah lantas melarang tegas. Sebab itu, penghapusan praktik pemotongan alat genital perempuan harus multisektor, ada gerakan kultural dan pendekatan kepada para pemuka agama karena mereka didengar juga oleh umatnya. Sampaikan bahwa sunat laki-laki wajib dan sunat perempuan sebaiknya ditinggalkan karena tak ada manfaatnya,” kata Nina. 

6. Pasang surut regulasi Kemenkes

Pro-Kontra Sunat Perempuan: Dari Kebiri Seksual Hingga TradisiUnplash/Senjuti Kundu

Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat pernah mengeluarkan larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan, namun di penghujung 2008 terjadi protes dan penolakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap larangan tersebut. 

Kemenkes lantas  mengeluarkan Permenkes No. 1636/MENKES/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Bukan berisi pelarangan pelukaan terhadap genital perempuan, melainkan petunjuk pelaksanaan bagi tenaga kesehatan untuk melakukan sunat perempuan.

Saat ini, Permenkes tersebut sudah dicabut dan dinyatakan tidak lagi berlaku melalui Permenkes Nomor 6 Tahun 2014. Peraturan tersebut memberikan mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat serta tidak melakukan mutilasi pada genital perempuan.

“Ini kan lebih mengarah pada budaya dan beberapa kepercayaan tertentu. Selama dilakukan dengan higienis, ya, saya kira gak ada masalah. Di Jawa atau di Sumatera juga ada budaya seperti itu. Sebenarnya pengertian sunat perempuan itu sederhana, sebagai simbol saja, hanya penusukan di daerah klitoris itu saja. Dari sisi kesehatan, selama dilakukan dengan baik sesuai standar medis its okay,” kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Mohamad Subuh saat ditemui IDN Times.

7. MUI menilai sunat perempuan bersifat sunah

Pro-Kontra Sunat Perempuan: Dari Kebiri Seksual Hingga TradisiUnsplash/Rene Bernal

Anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub menjelaskan, pada prinsipnya MUI sudah menetapkan fatwa tentang sunat perempuan. Hukum itu makrumah menurut hadis nabi, artinya seperti sunah.

“Dan sunat perempuan adalah bagian syiar Islam. Di dalam ketentuan hukum ada batasan dan cara khitan, dibatasi pada ketentuan dan batasan tertentu, bukan khitan firaun atau khitan ekstrem seperti di Afrika. Dalam fatwa dikatakan haram hukumnya melarang khitan perempuan karena bagian dari syariat Islam. Tak boleh ada pihak baik pemerintah atau lembaga yang melarang umat islam untuk melakukan syariat agamanya,” ujar Aminudin.

Aminudin menambahkan, praktik sunat perempuan tak dapat dipukul rata. Dalam agama Islam, sunat perempuan tidak diartikan memotong klitoris karena ada batasa dan cara-cara tertentu sesuai aturan.

“Memotong sebagian atau seluruh klitoris itu salah, dalam Islam tidak seperti itu,” ujarnya.

Baca juga: Sunat Perempuan, Ritual Diskriminatif yang Terus Melebar

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya