Melacak Jejak Rohana Kudus, Pionir Jurnalis Perempuan dari Koto Gadang

Bagaimana sosoknya di mata para penerus?

Jakarta, IDN Times - Ranah Minang pernah dikenal sebagai kawasan yang melahirkan tokoh yang masyhur dalam dunia literasi. Perayaan Puncak Hari Pers Nasional 2018 yang akan diselenggarakan di Padang membawa komunitas pers ke sosok yang tak kalah penting, Rohana Kudus.

Perempuan kelahiran Koto Gadang ini tak sering disebut saat kita bicara soal pahlawan perempuan di negeri ini. Namun, jika mendidik masyarakat melalui media massa dianggap salah satu cara mujarab mencerdaskan masyarakat, Rohana Kudus adalah sosok pionir.  Dia adalah jurnalis perempuan pertama di negeri ini.

Tapi, Rohana bukan sekedar jurnalis.  Dia layak disebut sebagai pahlawan karena beragam kiprahnya. Berikut empat sisi perjuangan Rohana Kudus, dan bagaimana jurnalis perempuan zaman kini mendapatkan inspirasi dari jejaknya.

1. Rohana Kudus lahir dari keluarga jurnalis, kerabat tokoh Minang

Melacak Jejak Rohana Kudus, Pionir Jurnalis Perempuan dari Koto GadangWikipedia

Rohana Kudus lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 20 Desember 1884. Ayahnya bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan yang berprofesi sebagai jurnalis. Sedangkan ibunya bernama Kiam yang bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Rohana Kudus adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia yang pertama dan juga bibi dari penyair Chairil Anwar. Dia juga merupakan sepupu dari KH Agus Salim.

Kendati tak mengecap pendidikan formal, perempuan berdarah Minangkabau tersebut tetap bisa belajar membaca dan menulis dari sang ayah yang selalu membawakannya buku usai bekerja. Di usia yang masih belia, dia menguasai bahasa Belanda, Arab, Latin, dan Arab Melayu.

Terlebih saat ayahnya dipindahtugaskan ke Alahan Panjang, Rohana bertetangga dengan isteri pejabat Belanda yang suka rela mengajarinya menjahit, merajut, dan menyulam. Dia juga bebas membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berita politik, gaya hidup, serta pendidikan di Eropa.

Di usia 24 tahun, Rohana kembali ke kampung halaman dan menikah dengan seorang notaris bernama Abdul Kudus.

Baca juga: Liput Soal Rohingya, Dua Jurnalis Reuters Terancam 14 Tahun Penjara

2. Rohana Kudus mendirikan koran Sunting Melayu

Melacak Jejak Rohana Kudus, Pionir Jurnalis Perempuan dari Koto Gadangpadangkita.com

Pernikahan tak lantas membuat Rohana terkungkung di dapur, sumur, dan kasur seperti perempuan-perempuan lainnya. Sebagai perempuan yang hidup sezaman dengan RA Kartini, dia berhasil menjadi jurnalis perempuan pertama yang dimiliki Indonesia.

Pada 10 Juli 1912, dia mendirikan surat kabar perempuan bernama Sunting Melayu. Susunan redaksi mulai dari pemimpin redaksi, redaktur, dan penulis semuanya perempuan. Selain Sunting Melayu, karya-karya jurnalistik Rohana Kudus juga tersebar di banyak surat kabar, seperti Saudara Hindia, Perempuan Bergerak, Radio, Cahaya Sumatera, Suara Koto Gadang, Mojopahit, Guntur Bergerak, dan Fajar Asia. 

Pada 25 Agustus 1974, Rohana Kudus memperoleh gelar pelopor wartawan perempuan Sumatera Barat dan perintis pers oleh pemerintah atas jasanya dalam memperjuangkan bangsa melalui dunia jurnalistik.

3. Rohana Kudus mendorong perempuan mandiri secara ekonomi

Melacak Jejak Rohana Kudus, Pionir Jurnalis Perempuan dari Koto Gadangmajalahkartini.co.id

Pada 11 Februari 1911, Rohana Kudus mendirikan Yayasan Kerajinan Amai Setia yang berfokus pada keterampilan. Kendati ditentang oleh para pemuka adat dan masyarakat laki-laki, Rohana tak pantang menyerah. Di yayasan tersebut, Rohana mengajari anak-anak perempuan berbagai macam keterampilan seperti menjahit, menyulam, dan merajut.

Dia menjalin hubungan kerja sama dengan pemerintah Belanda berupa pemesanan peralatan dan kebutuhan menjahit untuk mengajari para muridnya. Hasilnya, karya mereka berhasil diekspor ke Belanda. 

Tak hanya mengajar keterampilan, Rohana juga memberikan pelajaran umum seperti baca tulis, agama, budi pekerti, dan Bahasa Belanda. 

Hingga saat ini, Yayasan Kerajinan Amai Setia masih berdiri di Koto Gadang kendati tak seramai dulu. Pepi, cucu Rohana Kudus, mengisahkan bagaimana yayasan tersebut tetap bergerak di tengah desakan bisnis kain pabrikan.

Yayasan Kerajinan Amai Setia menjual berbagai jenis kerajinan tangan, seperti selendang sulam dan kerajinan perak. Harganya pun bervariasi, mulai dari Rp3-6 juta.

Karya kerajinan tangan Yayasan Kerajinan Amai Setia juga dapat ditemukan di kawasan Gandaria, Jakarta. Salah seorang anggota yayasan dengan suka rela menghibahkan tempat tinggalnya sebagai cabang kerjinan.

"Bisnis kerajinan tangan ini bisa dikatakan lesu karena tak ada yang membimbing para ibu-ibu yang memproduksi kain sulam ini. Ada tiga kelemahan, yakni pengembangan produk, pemasaran, dan pembiayaan," ujar Pepi ketika dihubungi IDN Times.

Untuk membuat satu selendang sulam, lanjut Pepi, dibutuhkan waktu sekitar 1-3 bulan. Karena penghasilan tak pasti, satu per satu di antara mereka memilih mundur dan menekuni bidang lain.

Bahkan, sebanyak 200 pengrajin perak meninggalkan profesinya karena dinilai tak menghasilkan uang lagi. Namun, hal itu tak perlu disesali. Semangat juang Rohana Kudus akan tetap abadi.

4. Rohana Kudus anggap penting pendidikan bagi perempuan

Melacak Jejak Rohana Kudus, Pionir Jurnalis Perempuan dari Koto GadangFacebook/@Yayasan Kerajinan Amai Setia

Ketika pindah ke Bukittinggi, Rohana kembali mendirikan sekolah bernama Rohana School. Namanya yang telah melambung di berbagai surat kabar membuat sekolahnya sangat diminati. Muridnya berasal dari berbagai daerah. 

Tak hanya mengajar formal, Rohana juga mengajar wirausaha dengan agen mesin jahit singer. Konsumennya adalah murid-muridnya sendiri. Pada mulanya, Rohana belajar membordir menggunakan mesin jahit singer dari orang Tionghoa.

Dia pun menjadi perempuan pertama yang menjadi agen jahit. Sebelumnya, usaha tersebut hanya dilakukan oleh orang Tionghoa saja. 

"Dari semua daerah di Indonesia, Koto Gadang ini paling banyak sarjananya. Tahu kenapa? Dulu Rohana membuat gerakan dana pendidikan. Ribuan anak bisa sekolah keluar Koto Gadang sampai ke negeri Belanda,” kata Pepi.

Pepi melanjutkan, “Dibandingkan dengan kontribusi RA Kartini, saya rasa perjuangan Rohana Kudus sangat riel. Dia mencerdaskan banyak anak muda, dan Yayasan Kerajinan Amai Setia juga masih hidup setelah 100 tahun.”

Rohana juga dipercaya menjadi guru di Sekolah Darma. Muridnya pun kini tak lagi perempuan, melainkan juga laki-laki. Dari semua guru di sekolah tersebut, hanya Rohana yang tak pernah menempuh pendidikan formal.

Mula-mula dia hanya mengajar keterampilan menyulam dan merenda, namun pada akhirnya dia diminta mengajar semua mata pelajaran.

5. Rohana Kudus dibenci penjajah Belanda

Melacak Jejak Rohana Kudus, Pionir Jurnalis Perempuan dari Koto GadangDok Tropenmuseum

Sebagai pendiri media yang anti Belanda, kehadiran Rohana Kudus dianggap sebagai ancaman. Tulisan-tulisan yang diterbitkan Rohana sangat keras melawan Belanda, sehingga negeri tulip tersebut enggan memberikan dukungan. Berbeda halnya dengan RA Kartini, citra baik Belanda tergambar dalam surat-menyuratnya dengan Mdm Abendanon. Belanda pun menasbihkan Kartini sebagai tokoh emansipasi meskipun rela dipoligami. 

Dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang karya Kartini, dia menggambarkan seolah-olah seluruh perempuan Indonesia tertindas. Faktanya, ada sosok Rohana Kudus yang hidup sezaman dengannya dan berhasil keluar dari belenggu patriarki. Rohana Kudus memperjuangkan hak-hak perempuan melalui media massa, pendidikan, hingga bidang ekonomi.

"Menurut saya, menjadi pemred lebih bagus daripada menulis surat ke Belanda. Memang ada rasa sedikit menyesal, kenapa Rohana Kudus tidak dijadikan pahlawan, padahal hidup sezaman dengan Kartini?" ujar Pemimpin Redaksi Harian Singgalang Khairul Jasmi kepada IDN Times.

Baca juga: Jurnalis Masih Jadi Salah Satu Profesi Paling Berbahaya

Khairul berpendapat, isu Jawa sentris juga turut melatarbelakangi pemilihan Kartini sebagai pahlawan. Sebab, hampir semua peristiwa besar terjadi di Jawa dan dijadikan hari besar. Di Sumatera Barat, satu-satunya peristiwa besar yang dirayakan secara nasional adalah Hari Bela Negara. 

“Rohana Kudus itu layak menjadi pahlawan dan jadi contoh bagi jurnalis perempuan di Indonesia. Ya bisa jadi (Rohana dimusuhi Belanda), namanya orang pintar kan dibenci Belanda. Tapi Rohana Kudus itu bagian dari dialektika Minangkabau, jadi bagian dari orang-orang yang berpolemik di Sumatera Barat, polemik perempuan, kemerdekaan, kebebasan, dan lain-lain. Itu yang penting," kata Khairul. 

Khairul menyadari, di era sekarang, sosok Rohana Kudus di mata masyarakat Sumatera Barat--terutama di kalangan generasi muda--kian memudar. Sosok kepahlawanan Rohana Kudus nyaris tak diajarkan dalam buku sejarah seperti halnya RA Kartini. Namun, upaya membangkitkan ingatan tentang Rohana Kudus tetap dilakukan melalui pelajaran sejarah di tingkat lokal.

"Ada muatan lokal di sekolah-sekolah. Ketika menerangkan nama-nama pahlawan, nama Rohana Kudus kami tambahkan, termasuk tokoh-tokoh lain di Sumatera Barat. Ini untuk mengingatkan masyarakat Sumbar bahwa banyak pahlawan Sumbar yang turut berjuang dalam merebut kemerdekaan," ujar Khairul.

6. Rohana Kudus di mata jurnalis perempuan zaman Now

Melacak Jejak Rohana Kudus, Pionir Jurnalis Perempuan dari Koto GadangInstagram/@silalahirosi

"Di zaman digital dan media sosial, serta referensi yang diakses dengan mudah menjadi perbedaan paling besar dibanding masa Rohana Kudus. Dan tantangan saat ini adalah bagaimana tetap melahirkan karya jurnalistik yang bermutu di tengah gempuran informasi dari berbagai media sosial,” kata Rosianna Silalahi, direktur pemberitaan Kompas TV

Menurut Rosi, di tengah keterbatasannya memperoleh pendidikan sebagai perempuan di desa kecil di Sumbar, Rohana Kudus masih berpikir untuk berbagi ilmu pengetahuan kepada yang lain, khususnya perempuan. Kesamaan tantangan perempuan jadi wartawan di era Rohana Kudus dan zaman Now adalah sama-sama masih dipandang remeh.

Melacak Jejak Rohana Kudus, Pionir Jurnalis Perempuan dari Koto GadangInstagram/@khairiah_lubis

“Media masih banyak menjadikan perempuan sebagai komoditi, sehingga perempuan yang bekerja di media ini harus bekerja ekstra keras untuk menyadarkan medianya agar berperspektif perempuan,” kata Khairiah Lubis, pendiri Forum Jurnalis Perempuan Indonesia.

Khairiah yang berkerja di DAAI TV dan tinggal di Medan ini mengingatkan, bahwa di era Rohana Kudus, fasilitas kerja terbatas.  Internet belum ada.  “Tapi perempuan sudah menulis untuk mencerahkan masa depan perempuan lain,” ujar dia.

Melacak Jejak Rohana Kudus, Pionir Jurnalis Perempuan dari Koto GadangInstagram/@amandakomaling

Amanda Komaling, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia wilayah Sulawesi Utara mengatakan, Rohana mendirikan perusahan media dari hasil usaha sebagai wirausahawati untuk menghidupi biaya operasional perusahaan. Bukan sebaliknya, mendirikan perusahan media lalu dipakai untuk berbisnis. 

Di mata Amanda yang bekerja di stasiun televise Metro TV, Rohana merupakan tonggak perempuan yang harus terus berjuang dan multi tasking, namun tetap berkiblat pada kodrat sebagai perempuan. 

“Perjuangan jurnalis perempuan juga dibutuhkan di rapat-rapat redaksi karena isu mengenai perempuan dan anak kadang dianggap tidak terlalu menarik. Ketika bekerja di lapangan (meliput), jurnalis perempuan harus mampu bekerja setara dengan kelompok jurnalis pria,” kata Amanda yang tinggal dan bekerja di Manado.

Melacak Jejak Rohana Kudus, Pionir Jurnalis Perempuan dari Koto GadangDok Petty S Fatimah

Petty S. Fatimah, Pemimpin Redaksi Majalah Femina mengingatkan tantangan jurnalis perempuan saat ini. "Di masa mana pun, jurnalis perempuan yang ingin pekerjaannya impactful dan dicatat zaman, perlu cerdas, bergaul luas, update dengan zamannya (untuk saat ini kuasai teknologi)  dan tidak merasa 'ah saya kan cuma perempuan (wartawan),” ujar Petty yang juga Pemimpin Komunitas Femina.

Rohana Kudus membuktikan itu “Pers perjuangan butuh keberanian, kecerdasan dan kecerdikan. Amunisi yang sama untuk wartawan zaman Now. Jangan lupa bersenang-senang, karena  dari situ kreativitas luar biasa akan muncul,” kata Petty. 

Baca juga: Pendiri Tabloid Bola Tutup Usia, Ini Kenangan 3 Jurnalis Senior dengan Almarhum

Topik:

  • Dwi Agustiar
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya