Kisah Pahit di Balik Kerennya Lukisan Erwin Saputra

Keterbatasan ekonomi bukan alasan untuk menyerah

Jakarta, IDN Times - Bagi banyak orang, rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang setelah jauh berpetualang. Sebab di dalam rumah ada kehangatan yang bisa dirasakan dari masakan seorang ibu, celotehan adik, atau percakapan ringan bersama ayah dan secangkir teh hangat. 

"Tetapi itu tak terjadi padaku," ungkap Erwin Saputra terbata-bata.

Masih terekam jelas dalam ingatannya peristiwa bertahun-tahun lalu, saat dirinya masih mengenakan seragam putih abu-abu. Masa SMA, masa paling indah kalau kata orang-orang. Saat itu, dunia baginya seakan runtuh. Sumber kebahagiaan yang dibangun sedemikian rupa, hancur seketika. 

"Kelas 2 SMA menjadi masa-masa tersulitku. Ayah dan ibu memutuskan berpisah," tuturnya.

1. Melakukan pembuktian

Kisah Pahit di Balik Kerennya Lukisan Erwin SaputraIDN Times/Indiana Malia

"Sebenarnya sejak kecil orang tuaku sudah sering cekcok, tetapi resmi bercerai ketika aku kelas 2 SMA. Setelah itu, aku merasa sangat terpuruk. Karena tak punya rumah, akhirnya aku dan ibu tinggal di rumah nenek. Dari situ aku bertekad untuk membuktikan pada orang tua bahwa aku bisa melewati ini semua. Aku akan menjadi orang berhasil," tutur laki-laki kelahiran Jember, 30 Desember 1993 tersebut.

Tak ingin menyerah pada keadaan, Erwin menenggelamkan dirinya pada aktivitas melukis. Sejak masuk SMA, ia bergabung di Sanggar Seni Panji Laras, salah satu ekstrakurikuler di SMA Negeri Ambulu. Ia menekuni seni lukis dengan sangat intens, melebihi pelajaran di sekolah.

"Iya, sering sampai menginap di sekolah. Dulu kan aku benci banget sama mafia alias Matematika, Fisika, dan Kimia. Pasti kena remidi," kata Erwin sembari tertawa.

Merasa tak berbakat dalam bidang eksak, Erwin pun fokus pada seni. Ia bertekad mendalami passion yang ada dalam dirinya, yaitu melukis. Saat kelas 2 SMA itulah ia menjadi ketua ekstrakurikuler Sanggar Seni Panji Laras selama satu tahun.

Di bawah kepemimpinannya, sanggar tersebut berhasil menyelenggarakan pameran seni dan lomba mewarnai se-Kabupaten Jember. Segala aktivitas kesenian itu pun perlahan-lahan dapat mengobati luka hatinya yang mendalam.

Baca juga: 15 Lukisan Keren di Atas Smoothies, Tega Meminumnya? 

2. Merasakan patah hati berkali-kali 

Kisah Pahit di Balik Kerennya Lukisan Erwin SaputraInstagram/@erwinsaputra_art

Lantaran kondisi ekonomi yang kian mencekik, Erwin sempat membuang impiannya untuk kuliah saat menginjak kelas 3 SMA. Saat itulah, salah satu alumni SMA Negeri Ambulu, Imam Santoso, berbaik hati datang ke sekolah.

Ia dengan sukarela memberikan sosialisasi dunia perkuliahan pada siswa-siswi sekolah tersebut. Imam menceritakan bagaimana perjuangannya menembus kampus ITB hingga melanjutkan S2 di Australia, padahal ia pun berasal dari kalangan tak mampu.

Kata-kata yang selalu ia kobarkan pada anak-anak saat itu adalah, "Jangan pernah takut dengan biaya kuliah. Siapa pun yang bersungguh-sungguh, Tuhan pasti akan menolong."

Tak hanya memotivasi, Imam juga membiayai tes SNMPTN anak-anak SMA Negeri Ambulu. Saat itu, uang pendaftaran Rp150 ribu memang terasa sangat besar. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Erwin pun bersemangat mengikuti tes SNMPTN. Ia memilih Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta sebagai tempat menimba ilmu. Namun, ia harus merasakan patah hati karena tak lolos tes.

"Aku gak lolos, sakitnya bukan main. Akhirnya aku daftar di ITB, tapi gak keterima juga," kenang Erwin.

Akhirnya, ia pun memilih jurusan Seni Rupa Murni di Universitas Brawijaya Malang. Meski tak rela lantaran tak bisa masuk kampus incaran, ia mencoba berdamai dalam hati.

"Aku angkatan kedua di jurusan itu. Karena gak ada pilihan lain, aku berdamai dalam hati. Aku yakin, di mana pun tempatnya, kalau aku benar-benar serius, aku bisa sukses," ujarnya.

3. Masa-masa perjuangan

Kisah Pahit di Balik Kerennya Lukisan Erwin SaputraInstagram/@erwinsaputra_art

Benar, biaya kuliah memang tak sedikit. Imam Santoso pun membantunya untuk mendapatkan beasiswa orang tua asuh. Setiap bulan, ia menerima bantuan Rp400 ribu. Untuk menghemat biaya, ia pun memutuskan tinggal di sebuah pesantren. Biaya sewa kamar saat itu hanya Rp50 ribu rupiah, sementara kalau indekos bisa sampai Rp500 ribu. 

"Aku hanya mengandalkan uang kiriman Rp400 ribu itu. Kondisi waktu itu sangat minus, ibu terlilit banyak utang. Aku berniat dalam hati, aku gak akan pernah minta uang sesulit apa pun kondisi di sini," kata Erwin. 

Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, ia pun berusaha berjualan es teh. Dengan modal Rp60 ribu, ia membuka kantin kejujuran di kampus. Hari pertama jualan, ia mengalami kerugian. Uangnya pun hilang. Begitu pula pada hari-hari selanjutnya. Es teh manis bikinannya memang habis, namun tak ada yang membayar sama sekali. Ia pun bangkrut.

Frustrasi lantaran merugi, Erwin pun berupaya menghibur dirinya dengan melukis. Saat itu, ia melukis Harry Potter di kertas A4 dan mengunggahnya ke Facebook. Karyanya pun mendapatkan apresiasi, bahkan ada salah satu teman yang memintanya untuk melukis wajahnya.

"Aku buatnya dari pukul 8 pagi sampai pukul 1 siang, gak berhenti melukis saking senengnya waktu itu. Aku melukis di kertas ukuran A3. Setelah lukisan jadi, aku dikasih uang lima ribuan dua dan dua ribuan dua. Empat belas ribu, itu gaji pertamaku. Aku senang karena ini uang keringat sendiri," tutur Erwin. 

Sejak saat itu, ia pun memberanikan diri membuka order lukis sembari meningkatkan kreativitasnya. Tarif yang ia kenakan juga sangat murah, hanya Rp35 ribu. Lambat laun, peminat lukisannya kian banyak. Ia pun lantas menaikkan tarif jasa lukis hingga Rp100 ribu. Menginjak semester 3, rezeki tak diduga itu pun datang. Erwin mendapatkan beasiswa Bidik Misi dari kampus. Artinya, biaya kuliah dan biaya hidupnya ditanggung pemerintah. Ia pun tak henti-hentinya mengucap syukur.

4. Bermain-main dengan scribble art hingga memanfaatkan selotip

Kisah Pahit di Balik Kerennya Lukisan Erwin SaputraInstagram/@erwinsaputra_art

Bosan melukis pakai pensil, Erwin mulai mencoba melukis gaya Scribble Art seperti seniman idolanya, Vince Low dan Eric Centeno. Karya-karyanya tersebut diunggah di sosmed Instagram dan Facebook. 

"Waktu itu aku merasa harus punya target setiap berkarya. Aku iseng melukis para artis pakai gaya Scribble Art, lalu kuunggah di Instagram. Ternyata mereka merepost dan mengapresiasi karyaku," kata Erwin.

Permintaan lukisan pun kian berdatangan. Suatu ketika, Erwin tengah mengepak lukisan bikinannya untuk dikirim pada para pelanggan. Saat melihat lakban, sebuah ide tercetus di kepalanya. 

"Setiap hari aku ketemu lakban buat perekat bungkus paketan lukisan. Tiba-tiba kepikiran, kenapa gak coba buat karya dari lakban saja?" ungkapnya.

Seminggu kemudian, ia pun mencoba mempraktikkannya. Kali ini ia melukis Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dengan media selotip, lantas mengunggahnya ke Instagram. Tanpa disangka-sangka, suami Atalia Kamil tersebut memberikan apresiasi berupa like, repost, dan komentar rasa bangga. Lantaran Ridwan Kamil tengah naik daun, otomatis Erwin kebanjiran followers. 

"Apa yang diposting beliau pasti jadi perhatian publik. Banyak yang lihat dan nengok akunku langsung. Karyaku tembus ratusan likes, akhirnya followers bertambah. Karya-karya Scribble Art bikinanku ternyata juga diminati. Orderan terus bertambah," kata Erwin.

Tak hanya itu, Erwin bahkan kebanjiran undangan talkshow dari stasiun televisi. Media cetak dan online pun turut mengorbitkan karya-karyanya yang unik dan khas. Di salah satu stasiun televisi, Erwin yang didampingi sang bunda tak kuasa menahan air mata. 

"Semua pencapaian ini kupersembahkan untuk ibu," tuturnya.

5. Mengadakan pameran tunggal di Galeri Rhaos

Kisah Pahit di Balik Kerennya Lukisan Erwin SaputraIDN Times/Indiana Malia

Menjelang masa-masa akhir kuliah, Erwin nekad mengadakan pameran tunggal karya-karyanya pada bulan Mei 2016. Ia pun memilih Galeri Rhaos--salah satu galeri seni di Batu--untuk memamerkan karya-karyanya.

"Mimpiku adalah harus pameran tunggal sebelum lulus. Waktu itu aku punya cukup dana, jadi tinggal eksekusi saja. Aku bekerja sama dengan seorang kurator di Malang, mulai dari membuat konsep hingga tema yang diangkat," kata Erwin. 

Dengan mengambil tema "Merajut Mengurai", Erwin menampilkan tokoh-tokoh Hak Asasi Manusia (HAM) seperti Wiji Thukul dan Munir. Tak lupa ia memberikan sentuhan Scribble Art pada karyanya. 

"Scribble itu kan benang kusut yang ruwet, sama seperti kasus mereka yang sampai saat ini belum terselesaikan. Terkait tema, istilah merajut itu ibarat menggali data. Aku mencari data-data soal Munir sebelum merepresentasikannya dalam karya. Kemudian, kalau istilah mengurai, itu ibarat mengurai perlahan, aku berharap kasus-kasus HAM terselesaikan dan tak menjadi bahan politik sampai saat ini," ungkap Erwin. 

Usai mengadakan pameran tunggal, Erwin pun tergerak mengabadikannya dalam tulisan. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah divisualisasikan tersebut lantas ditulis menjadi sebuah skripsi. Ia pun berhasil lulus dengan predikat cumlaude. 

Setelah lulus dan bekerja di sebuah lembaga pemerintahan, Erwin lantas bergabung dengan komunitas Pembidik Mimpi. Ia mengajak sesama alumni penerima beasiswa Bidik Misi untuk memberikan bantuan kepada para adik kelas di kampung halaman, seperti halnya yang dilakukan Imam Santoso dulu.

"Banyak yang mendukung aksi sosial ini. Sampai sekarang sudah ada puluhan donatur dan penerima beasiswanya dari beberapa jenjang pendidikan seperti SD, SMP, SMA, hingga Mahasiswa S1," tuturnya.

Tak puas dengan pencapaiannya saat ini, Erwin masih mengejar mimpi untuk kembali melanjutkan kuliah di Universitas Sorbonne, Paris. 

"Selagi muda, manfaatkan waktu untuk berkarya. Ingat, keterbatasan ekonomi bukanlah alasan untuk berhenti mimpi," pesan Erwin. 

Baca juga: Dua Lukisan Misterius di Rumah Belanda Blitar, Milik Soekarno?

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya