“Bom Waktu” dari Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran

Nikah dini memicu siklus kemiskinan

Bekasi, IDN Times -  Informasi yang diunggah di beranda sebuah akun Instagram mencuri perhatian saya, suatu hari di awal bulan April 2018.   “Hadirilah Temu Nasional Indonesia Tanpa Pacaran. Ahad, 15 April 2018 di Islamic Center Bekasi. Free Ikhwan dan Akhwat,” demikian undangan pertemuan zaman Now, memanfaatkan jejaring media sosial.

Informasi itu juga menyebutkan, Temu Nasional Indonesia Tanpa Pacaran (ITP), akan dihadiri aktor muda Cholidi Asadil Alam dan penggagas gerakan ITP, La Ode Munafar.

Saya mengenal sosok Munafar sejak masih kuliah di Yogyakarta bertahun-tahun lalu. Dia adalah aktivis lembaga dakwah kampus, penulis, dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang kerap turun ke jalan.

Gerakan ITP pun telah lama saya ketahui dari postingan-postingan-nya di laman Facebook. Penasaran dengan perkembangannya kini, saya pun memutuskan hadir dalam acara itu. Panitia menetapkan aturan busana alias dress code, agar berbusana syar’i.  Memenuhi syarat itu,  saya mengenakan gamis panjang dan jilbab cukup lebar, meninggalkan sejenak setelan jeans belel dan kemeja yang biasa saya kenakan sehari-hari.

Saya megajak seorang kawan untuk hadir di acara ITP.  Kami tiba acara yang digelar di Islamic Center Bekasi itu,  minggu pagi, sekitar pukul 08.15 WIB.   Agak menyesal juga datang rada terlambat.  Saya  melewatkan aksi longmarch #IndonesiaTanpaPacaran yang dilakukan sebelum acara pertemuan.  Longmarch yang dilakukan dalam bentuk jalan bareng dengan mengusung spanduk dan poster  dilakukan di sekitar gedung tersebut.

Sejumlah  bendera dan spanduk putih bertuliskan #IndonesiaTanpaPacaran dan #MuslimTidakPacaran menyambut peserta temu akbar ITP.

Beberapa penjual gamis dan makanan kecil juga turut menggelar dagangannya di sekitar Gedung Islamic Center Bekasi.  Mereka berharap rezeki dari sebuah temu akbar yang menargetkan ribuan peserta. 

Di dekat pintu masuk, terlihat dua lapak dagangan yang menjual pin bertuliskan #IndonesiaTanpaPacaran seharga Rp5 ribu, juga buku-buku bertema serupa yang dijual mulai dari Rp50 ribu.  Buku-buku  karya La Ode Munafar.

Usai mengisi presensi, kami bergegas mencari tempat duduk paling depan.  Pengunjung terus berdatangan memenuhi tempat acara. Menurut taksiran saya, sedikitnya ada 1.000 peserta. Rata-rata mereka adalah remaja perempuan, berhijab panjang, dan tak sedikit pula bercadar.

Sementara itu, di sisi kanan kami terlihat peserta laki-laki. Antara area duduk peserta laki-laki dan perempuan, ada pembatas, kain berwarna hijau yang dipasang bagaikan pagar.

1.  Mengapa La Ode Munafar mendirikan  Indonesia Tanpa Pacaran?

“Bom Waktu” dari Gerakan Indonesia Tanpa PacaranIDN Times/Indiana Malia

Setelah ngaret alias telat cukup lama, acara pun dimulai dengan pembacaan kitab suci Alquran. Gema takbir beberapa kali berkumandang, menggelorakan semangat peserta.  Dari pembicaraan saya dengan sejumlah peserta, acara ini telah ditunggu sejak lama.

Rupanya,jiwa kepemimpinan yang dimiliki Munafar sejak mahasiswa itu cukup dikenal di kalangan peserta, dan membuatnya mudah menarik ribuan massa.

Mereka juga kenal Munafar lewat buku-buku yang ditulisnya.  Hingga saat ini, Munafar telah menulis 62 judul buku bertema motivasi dengan mayoritas pembaca anak-anak muda. Bahkan, dia juga mendirikan sebuah penerbitan sebagai ladangnya berkarya. Tak main-main, penerbitan tersebut telah memiliki banyak agen di seluruh wilayah Indonesia. Buku-bukunya pun bisa dengan mudah menjangkau para pembaca setianya.

Munafar menampilkan sosok yang ramah.  Likeable, bagi mereka yang mengenalnya, atau yang baru bertemu untuk pertama kali.   Hal itu tampak pada antusiasme mereka saat nama Munafar dipanggil oleh pembawa acara. Para peserta yang mulanya duduk takzim—ada yang bermain ponsel dan mengobrol dengan teman—sontak agak menegakkan kepalanya.  Penuh perhatian.

Tak seperti penceramah kebanyakan, Munafar berpenampilan serba hitam, gayanya tetap gaul: celana kain warna hitam, kaus hitam bertuliskan “Indonesia Tanpa Pacaran” dilapisi jaket hitam.  Dia juga mengenakan topi hitam putih bertuliskan “Indonesia Tanpa Pacaran”. Sebuah jam menghiasi pergelangan tangannya. Siap kampanye ITP.   

Usai acara, saya menghampirinya untuk tanya jawab seputar gerakan ini. Dia pun menyambut dengan ramah. Usai shalat zuhur, kami lantas berbincang dengan didampingi kawan saya. Mengobrol berdua saja tentu menjadi hal yang tak lazim di komunitas ini.

“ITP didirikan tepat pada 7 September 2015. Saat itu, saya meminta bantuan isteri dan salah seorang karyawan untuk aktif meng-update kampanye ITP di media sosial secara terus-menerus. Hal yang melatarbelakangi pendirian gerakan ini adalah kami melihat bahwa pacaran dan pergaulan bebas bersifat merusak dan merugikan generasi muda dipandang dari sisi mana pun,” ujar Munafar dengan gayanya yang santai dan penuh semangat.

Selain membuat akun ITP di berbagai media sosial, Munafar juga membuat gerakan nikah muda.

Munafar menjelaskan, langkah pertama yang mereka lakukan adalah melakukan pembentukan opini melalui media sosial seperti grup Facebook, Facebook Fanpage, LINE, Instagram, juga grup WhatsApp. Kecuali LINE, jejaring media sosial yang digunakan ITP notabene buatan perusahaan asal Amerika Serikat.

Menurut Munafar,  saat ini, jumlah anggota ITP yang tergabung di grup Facebook sekitar satu juta orang,  Ada 300 ribu pengikut di Facebook Fanpage, 600 ribu pengikut di Instagram, dan banyak lagi di grup WhatsApp. 

Anggota ITP tersebar di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. ITP memiliki agenda offline tahunan, triwulan, dan mingguan. Setiap tiga bulan sekali ada kajian hits, lalu setiap minggu ada KKI atau Kajian Komunitas Indonesia Tanpa Pacaran untuk memberikan pemahaman rutin pada generasi muda.

Setiap tahun, ITP juga membuat kampanye akbar yang dilakukan di daerah-daerah. Temu Nasional ITP di Bekasi merupakan agenda terbesar pertama sejak didirikan. Panitia mengaku tidak menarik biaya kepada peserta. Mereka hanya dianjurkan menyumbangkan infak terbaik.

“Semua kegiatan yang kami selenggarakan berasal dari dana mandiri, seperti penjualan buku dan pin. Itu dalam rangka syiar juga ke masyarakat,” ujar Munafar.

2. Indonesia Tanpa Pacaran menarik ribuan peserta

“Bom Waktu” dari Gerakan Indonesia Tanpa PacaranIDN Times/Indiana Malia

Munafar mengklaim, Temu Nasional ITP  berhasil menarik 5000-an peserta. Tak hanya dari wilayah Jabodetabek, peserta juga datang dari berbagai daerah seperti Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Mereka umumnya masih berstatus pelajar, mahasiswa, ada juga yang sudah berstatus menikah.

Pemilihan Kota Bekasi sebagai tempat temu nasional juga bukan tanpa alasan. Anggota ITP cabang Bekasi menjadi salah satu penggerak terbaik dalam menyebarkan opini ITP,  selain di Banten dan Palu. Bekasi juga cukup mudah dijangkau oleh masyarakat.

“Afwan, ukhti, bisa minta tolong fotoin kami?” Seorang perempuan bercadar hitam menghampiri saya usai acara.

Saya pun mengangguk, kemudian memotret dia bersama perempuan-perempuan bercadar lain. Dua anak kecil turut berpose di tengah. Mereka lantas meminta direkam selama beberapa detik.

“Kami mendukung Indonesia Tanpa Pacaran! Allahu Akbar!” seru mereka.

Setelah itu, si perempuan bercadar menghampiri saya dan mengucapkan terima kasih. “Jazakillah, ya, ukh.” Saya jawab, “Sama-sama.”

Kami lantas mengobrol sebentar. Namanya Ika (19), perempuan asal Bekasi mengaku menjadi karyawan disebuah perusahan.  Ika sangat antusias dan mendukung penuh gerakan ITP. Informasi perihal gerakan ITP pun dia ketahui dari media sosial.

“Acaranya luar biasa, kami sangat mendukung. Sekarang kan zamannya pacaran. Saya inginnya seluruh pemuda di Indonesia gak ada yang pacaran, lebih baik dihalalin saja. Nikah muda jadi salah satu solusi,” kata Ika.

Namun, Ika juga memberi catatan bahwa menikah memerlukan persiapan matang sehingga tak bisa dianggap main-main. Menurut Ika, jangan membayangkan enaknya saja, tetapi juga perlu ada persiapan sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Senada dengan Ika, Maya (19) juga mendukung gerakan ITP. Dia pun menyarankan generasi muda untuk menikah daripada pacaran.

“Tetapi tetap harus dipikirkan baik-baik bagaimana kehidupan setelah nikah, harus disiapkan dengan matang. Kalau masalah usia mah tergantung niat orangnya. Ada yang 17 tahun sudah berani menikah kayak Alvin Faiz dan Larissa Chou. Menikah kan diawali niat,” ujarnya.

Alvin Faiz adalah putra penceramah agama Arifin Ilham. Pernikahan Alvin dan Larissa Chou memicu kontroversi berkaitan dengan usia mereka yang masih sangat muda.

Baca juga: Menikah di Usia 17 Tahun, Gimana Cara Alvin Faiz Menafkahi Sang Istri?

3.  Aktor Cholidi menganjurkan perempuan untuk kembali ke kodrat

“Bom Waktu” dari Gerakan Indonesia Tanpa PacaranIDN Times/Indiana Malia

Dari serangkaian acara Temu Nasional ITP, hal yang paling membekas dalam ingatan saya adalah pernyataan aktor muda Cholidi Asadil Alam. Bagaimana tidak, dia lah yang ‘menguasai’ keseluruhan acara. Hampir dua jam lamanya pemeran tokoh Azzam dalam Film Ketika Cinta Bertasbih tersebut berceramah. Cholidi menyatakan dukungannya pada ITP. Tak hanya itu, dia juga menganjurkan para generasi muda untuk segera menikah jika sudah siap.

“Nikah muda? Gak papa, asal sudah siap. Tujuan menikah, kan, mencari ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian. Yang merasa jiwanya gak tenang, mungkin sudah waktunya menikah,” ujar Cholidi yang langsung disambut gelak tawa seluruh peserta.

Cholidi lantas berkata, menikah tanpa diawali pacaran tujuannya bagus. Belum saling kenal, taaruf hanya sebentar lantas menikah, ketika serumah akan terasa menyenangkan karena masing-masing masih saling mengenal.

Selanjutnya, Cholidi juga mengimbau para akhwat untuk kembali ke kodratnya setelah menikah. Dia mencontohkan kisah isterinya yang menduduki jabatan penting di Mahkamah Konstitusi. Sebelum menikah, isterinya tersebut kerap ke luar negeri. Prestasinya pun selangit. Namun, setelah menikah sang isteri memutuskan menolak berbagai tawaran pekerjaan di luar negeri meski bergaji tinggi.

“Mbak-mbak di sini, ukhti-ukhti, boleh bercita-cita tinggi, berpendidikan tinggi, tetapi kalau sudah menikah harus berbakti pada suami dan mengasuh anak. Kembalilah ke kodrat, karena Allah memuliakan perempuan. Surganya isteri adalah suami. Kita punya hukum Islam, maka harus kembali pada Islam,” kata Cholidi.

Para akhwat di kiri-kanan saya pun manggut-manggut. Beberapa menunjukkan wajah bosan lantaran ceramah terlalu lama, beberapa ada yang memainkan ponsel.

4. ITP menargetkan Indonesia bebas pacaran pada 2024

“Bom Waktu” dari Gerakan Indonesia Tanpa PacaranIDN Times/Sukma Shakti

Setelah hampir dua jam mendengarkan ceramah Cholidi, tibalah pada acara puncak: Deklarasi Indonesia Tanpa Pacaran. Seluruh anggota ITP bertekad menghapus pacaran pada tahun 2024. Dengan dipandu La Ode Munafar, seluruh peserta serentak berdiri sembari mengangkat tangan kanan untuk berikrar. Masing-masing perwakilan ITP dari daerah-daerah pun maju sembari mengangkat bendera putih bertuliskan Indonesia Tanpa Pacaran.

"Bismillahirrahmanirahim. Ikrar komunitas Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran. Setelah kami mencermati, melihat, dan menganalisis fakta kerusakan pacaran, maka demi Allah maka demi Allah, maka demi Allah, kami menyadari bahwa...," ucap Munafar memimpin deklarasi yang diikuti ribuan peserta. 

·  Sungguh pacaran dan pergaulan bebas lainnya bersifat merusak dan merugikan generasi muda, dipandang dari sisi mana pun

·  Kami menyadari bahwa merajalelanya pacaran dan pergaulan bebas akibat dari pemisahan kehidupan dengan agama, yaitu sekularisme beserta ide-ide lainnya, seperti liberalisme dan hak asasi manusia

·  Kami berjanji menjauhi budaya rusak pacaran dan segala pergaulan bebas lainnya yang tidak sesuai dengan syariah Islam

·  Kami berjanji untuk berjuang bersama dalam rangka menghapus pacaran dari Indonesia demi masa depan bangsa dan agama

·  Kami siap memperjuangkan kembalinya syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari demi terwujudnya Indonesia Tanpa Pacaran

Usai pembacaan deklarasi, seluruh peserta pun meneriakkan takbir sebanyak tiga kali. Raut wajah bangga, bahagia, dan terharu bercampur jadi satu. Beberapa peserta perempuan pun tampak berpegangan tangan sebagai tanda saling menguatkan.

5. Pro kontra gerakan ITP, nikah muda, dan aturan pemerintah

“Bom Waktu” dari Gerakan Indonesia Tanpa PacaranIDN Times/Sukma Shakti

Tanggapan atas berita Temu Nasional ITP dan tudingan menganjurkan menikah muda datang dari beragam jurusan. Ramai.

Pimpinan parlemen bereaksi. Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto pun angkat bicara. Dia berpendapat, berpacaran atau tidak harus dikembalikan ke masing-masing individu dan budayanya. Berpacaran diperbolehkan selama ada batasan-batasan sesuai norma di Indonesia.

“Menurut saya pacaran itu diwajibkan, supaya sebelum memasuki jenjang pernikahan itu sudah betul-betul mengetahui pribadinya masing-masing,” kata politikus Partai Demokrat itu di Gedung DPR RI, Senin (16/4).

Menurut Agus, seharusnya memang ada sosialisasi mengenai pernikahan dini. Sosialisasi tersebut bisa berasal dari Kementerian Agama atau Kementerian Sosial.

Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise telah menindaklanjuti perkara pernikahan dini yang telah terjadi di Indonesia. Yohana mengatakan, kementeriannya bersama dengan kementerian agama akan merevisi UU 174 tentang perkawinan.

“Kami juga sudah mendekati menteri agama untuk melihat dan merevisi kembali UU perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,  kami juga sudah bekerja sama dengan organisasi masyarakat LSM, NGO untuk secepatnya kami merevisi UU perkawinan anak,” ujar Yohana.

Meski di dalam UU tentang Perkawinan usia minimal bagi calon pengantin perempuan adalah 16 tahun, karena pemerintah mendapat desakan untuk menaikkan usia, maka Yohana mengatakan bahwa usia akan dinaikkan ke usia 20 tahunan.

Baca juga: Marak Pernikahan Dini, Pemerintah akan Ubah Usia Minimal Menikah

6.  Indonesia Tanpa Pacaran bentuk promosi nikah muda?

“Bom Waktu” dari Gerakan Indonesia Tanpa PacaranIDN Times/Indiana Malia

Di kala pemerintah tengah berusaha keras menaikkan standar usia minimal saat menikah, gerakan ITP justru menganjurkan para generasi muda untuk menikah muda. Berbicara soal standar usia, Munafar mengaku tak menentukan batasan usia minimal menikah. Menurut dia, menikah sah dilakukan apabila pihak laki-laki dan perempuan telah baligh dan mampu mengemban hak dan kewajibannya sebagai sepasang suami isteri.

Munafar menolak tudingan bahwa   gerakan ITP dan gerakan nikah muda dikaitkan dengan maraknya perkawinan usia anak maupun perceraian di usia muda. Sebab, gerakannya hanya menganjurkan pernikahan di usia muda bagi mereka yang telah siap baik secara fisik, agama, maupun mental.

Sayangnya dia tak mau menjawab tegas pertanyaan tentang usia minimal yang menurut dia layak bagi pasangan untuk menikah.  Berkali-kali dia menekankan tentang standar negara.

Standar usia anak yang digunakan di sejumlah produk hukum Undang-Undang di negeri ini berbeda-beda.  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana misalnya menyebut usia dewasa adalah 17 tahun.  UU Perkawinan, usia pengantin perempuan minimal 16 tahun.  UU Perlindungan Anak menetapkan batasan usia anak 18 tahun.

Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Abdul Halim berpendapat, pernikahan harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan oleh negara dan syariat Islam.

“Tidak ada itu istilah menikah sah dari segi agama atau dari segi negara saja. Harus sah secara dua-duanya. Karena bisa jadi menimbulkan banyak mudarat jika hanya satu yang dipenuhi,” kata dia.

Pembahasan soal kesiapan fisik dan mental atau bahkan secara sosiologis dan psikologis, kata Halim, tidak bisa dipukul rata. Setiap orang memiliki standar kesiapannya masing-masing. Dia menyebut istilah itu sebagai kondisi objektif. Menurut Halim, negara telah mengatur usia batas nikah sebagaimana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7, batas usia untuk laki-laki adalah 19 tahun dan 16 tahun untuk perempuan.

Pernikahan dini dianggap sebagai jalan yang efektif untuk mengurangi angka perzinaan dan hamil di luar hubungan resmi. Meski begitu, Halim berpendapat, pernikahan dini dirasa menghalangi hak asasi manusia (HAM).

“Gerakan semacam itu seyogianya menghargai hak asasi perempuan. Bukan malah berargumen kalau kodrat wanit hanya di rumah dan untuk urusan rumah tangga. Masa kita ingin kembali ke zaman batu sih?” kata Halim, menjawab pertanyaan IDN Times.

Halim mengatakan, Islam mendukung agar wanita bisa aktif di ranah publik, tidak hanya privat. Dia mencontohkan istri Nabi, Siti Aisyah yang ikut berperang atau Khadijah yang aktif berdagang, keduanya aktif di ranah publik.

"Agama tidak melarang mereka, pendidikan mereka butuh, HAM mereka harus dapat juga. Yang penting kan mereka tidak melanggar syariat. Mereka seharunya menjadi komunitas yang memanusiawikan manusia dan tidak menginisiasi kegiatan-kegiatan yang diskriminatif,” kata dia.

7.  Pacaran setelah menikah rawan memicu konflik?

“Bom Waktu” dari Gerakan Indonesia Tanpa PacaranRatih Ibrahim. Beauty Journal Sociolla

Menanggapi gerakan ITP dan nikah muda gagasan La Ode Munafar tersebut, Psikolog Personal Growth Ratih Ibrahim terang-terangan menyatakan penolakannya terhadap gerakan yang dianggapnya menyesatkan tersebut. Menurut dia, pacaran adalah sebuah proses yang sangat wajar dialami oleh remaja untuk masuk ke dalam pola relasi yang lebih intim, intens, lebih dari berteman.

“Mengapa ini penting? Karena ini masuk ke dalam sebuah fase perkembangan dua orang yang sudah meninggalkan masa anak-anak atau masa remaja, mempersiapkan  diri untuk hubungan yang serius, yaitu perkawinan. Mereka mempersiapkan diri  belajar saling kenal, masuk ke dalam sebuah pola relasi laki-laki dan perempuan yang lebih matang. Dan itu ada di bagian tugas perkembangan remaja,” ungkap Ratih saat saya tanyai, pekan ini.

Ratih berpandangan, pacaran setelah menikah rawan memicu konflik lantaran tidak saling mengenal dengan baik. Hal itu masuk potensi perceraian yang dampak kerusakannya sangat besar, apalagi kalau pasangan tersebut memiliki anak. Jadi, ketahanan kedaulatan keluarga sebagai nukleus bangsa itu justru jadi rapuh karena proses transisi untuk saling mengenal tidak dialami oleh si calon pasangan muda tadi.

“Kalau ada yang men-challenge pendapat saya dengan bilang nanti kalau anaknya berzina gimana di usia muda? Menurut saya ini adalah sebuah mindset yang sangat keliru, kenapa? Karena menempatkan anak muda sebagai pezina,” tuturnya.

Menurut Ratih, pacaran tak melulu soal seks. Sejak masuk usia akil baligh, para orangtua yang berperan besar mendampingi si anak remaja harus memberikan pemahaman bahwa dirinya dan pasangannya itu berharga. Seks dan seksualitas adalah hal mulia, jadi harus dijaga baik-baik dan ditempatkan sebagai tempat ibadah yang suci.

“Jadi perilaku seksualnya juga tertata secara baik, sopan, bertata krama, dan menjaga moral. Itu yang bertugas mengedukasi adalah orangtua, guru sebagai pendidik, juga guru agama. Kalau menempatkan pernikahan hanya sebagai transaksi sosial atau seksual, itu sama saja dengan menistakan kesakralan pernikahan,” ujar Ratih.

Penolakan yang sama juga diungkapkan oleh Ketua Koordinator Komunitas Into The Light Benny Prawira. Jika mengacu pada referensi ilmiah, menentukan standar minimal usia menikah adalah sebuah kewajiban.

“Jadi tidak bisa dibilang bahwa kesiapan tersebut ‘ya terserah kapan pun asalkan kamunya siap’. Itu terlalu ngawang kalau gak menentukan umurnya berapa,” ujar Benny.  Komunitas into The Light mengadvokasi generasi muda melalui peningkatan kesadaran mencegah bunuh diri.

Menurut Benny, yang dibutuhkan remaja saat ini adalah kemampuan sosial, emosional, dan pendidikan seks. Sebab, pengajaran pendidikan seks justru bisa menunda keinginan hubungan seks sebelum pernikahan.

“Jadi gak usah khawatir kalau proses pacaran menjerumuskan ke sana (hubungan seks). Proses pacaran membantunya mengenali diri sendiri dan orang lain, bagaimana pola berkomunikasi, apakah cocok dengan dia atau tidak. Itu akan menjadi lebih optimal dengan adanya kemampuan sosial emosional dan pengetahuan seksualitas,” kata Benny.

Benny berpandangan gerakan ITP dan nikah muda menyesatkan jika tidak ada batasan usia saat menikah. Generasi muda terancam terjerumus dalam perkawinan usia anak, rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dihantui perasaan tidak siap karena masih masa transisi, namun harus mengemban beban sebagai ibu dan bapak.

8. Suara millenial menyoroti gerakan Indonesia Tanpa Pacaran

“Bom Waktu” dari Gerakan Indonesia Tanpa PacaranIDN Times/Istimewa

Sejak artikel  mengenai deklarasi gerakan ITP yang saya tulis diterbitkan oleh IDN Times, beragam komentar muncul dari kalangan warganet, mulai dari yang serius hingga komentar satire.

Pemilik akun Twitter @tunggalp Tunggal Pawestri misalnya, memberikan sindiran pedas terhadap gerakan ini.

“Langsung nikah saja, toh kalau gak cocok bisa cerai. Nanti kawin lagi, cerai lagi. Gampang. Padahal kemarin baru kejadian tuh sama selebgram, gak ada kapoknya. Begitu pula dengan anaknya ustad anu,” ungkap Pawestri.

“Pernah pacaran, setelah putus ikut aksi Indonesia Tanpa Pacaran. Buat apa? Biar dapat gebetan baru,” kata akun @yudhaejr.

Di akun Instagram IDN Times pun, sejak artikel pertama diterbitkan sesaat setelah deklarasi ITP mencapai 1.911 komentar, baik pro maupun kontra.

“Hak kalian melarang pacaran apaan? Jangan pergunakan hukum agama kalian di Indonesia ini! Indonesia sudah mempunyai hukum tersendiri, jangan dibuat sulit. Ini negara hukum, bukan negara agama,” tulis akun @bang_anthonius.

“Good! Karena emang kan pacaran itu dilarang agama,” balas akun @fardiwiyono.

 9. Data UNICEF menunjukkan nikah muda memicu siklus kemiskinan

“Bom Waktu” dari Gerakan Indonesia Tanpa PacaranIDN Times/Sukma Shakti

Pernikahan muda menjadi masalah serius di Indonesia.  Data yang diterbitkan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk, UNICEF menunjukkan bahwa satu dari enam anak perempuan di Indonesia menikah pada usia dibawah 18 tahun.

Presentase Rumah Tangga pada Statistik Sosial dan Kependudukan Tahun 2013 yang dikeluarkan oleh BPS, menunjukan bahwa perempuan yang sudah menikah pada usia 1-24 tahun sebesar 5.61 persen ada di perkotaan.  

Sedangkan di pedesaan presentase perempuan yang sudah menikah pada usia 1-24 tahun sebesar 41.81 persen.  Hal ini menunjukan bahwa di daerah pedesaan lebih banyak perempuan yang sudah menikah pada usia 1-24 tahun dibandingkan dengan perempuan yang berada di perkotaan.

Salah satu alasan nikah muda berhubungan dengan pendidikan. Sebanyak  sebesar 10.14 persen perempuan di pedesaan tidak/belum pernah sekolah.

Persentase perempuan usia 1-24 tahun yang cerai saat hidup, di perkotaan adalah 4 persen, sedangkan di perkotaan  14, 57 persen.

Jika persentase cerai hidup ini dibandingkan dengan laki-laki pada rentang usia yang sama, terlihat kesenjangan yang cukup besar, yaitu 0, 36 persen  laki-laki usia 1-24 tahun yang cerai hidup di perkotaan dan 1, 17 persen laki-laki usia 1-24 tahun yang cerai hidup di pedesaan.

Artinya pada usia 1-24 tahun lebih banyak perempuan yang telah menjadi kepala keluarga karena perceraian. Hal ini menambah panjang siklus kemiskinan yang dihadapi perempuan.  

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6 persen  menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9 persen menikah pada umur 15-19 tahun. Hal ini menunjukan sekitar 26 persen  perempuan di bawah umur telah menikah sebelum fungsi-fungsi organ reproduksinya berkembang secara optimal.

Ancaman bagi perempuan saat mengandung bayi hasil nikah muda, pula saat melahirkan.  Begitu seterusnya. Bak sebuah lingkaran setan.

Apakah hal ini menjadi perhatian Munafar, Cholidi, dan ribuan peserta Temu Nasional Indonesia Tanpa Pacaran?

Ini pertanyaan besar yang menggantung di benak saya.  Idealnya saya bertanya kepada semua yang hadir.  Ini hal yang tidak mungkin.  Saya tak mendapat jawaban memuaskan dari wawancara ke Munafar, ceramah Cholidi, dan obrolan dengan sejumlah peserta,

Usai deklarasi Indonesia Tanpa Pacaran, raut wajah peserta tampak semringah, seperti membawa amanah baru: menghapus budaya pacaran pada 2024.

Mereka lantas merayakan deklarasi tersebut dengan berfoto bersama, mulai dari gaya resmi hingga swafoto alias selfie—tentu tetap dengan aturan pemisahan laki-laki dan perempuan. Lapak-lapak aksesoris Indonesia Tanpa Pacaran kian ramai. Ada yang membeli pin dan buku, ada pula beberapa perempuan yang meminta swafoto dengan aktor Cholidi.

Namun, hal yang sama tidak terjadi pada Munafar. Dia beberapa kali menolak foto bersama dengan perempuan yang disebutnya ‘akhwat’. “Maaf, ya, untuk akhwat tidak bisa foto bersama,” kata Munafar sambil tersenyum.

“Kenapa?” tanya seorang peserta. “Tidak diizinkan oleh istri. Maaf, ya.”

Para peserta itu pun mengangguk paham. Semakin siang, para peserta pun berangsur-angsur membubarkan diri. Karena mayoritas mengendarai motor, antrean di tempat parkir cukup padat. Siang itu, kami membelah jalanan Bekasi yang panas dengan pertanyaan masing-masing di kepala. Akankah deklarasi tersebut benar-benar terwujud di tahun 2024?

Karena jika gerakan ini membesar tanpa kesadaran akan konsekuensinya, kita tengah menciptakan sebuah bom waktu. (Dengan Laporan dari Teatrika Handiko Putri; Vanny El Rahman)

Baca juga: Ini Target Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran pada 2024

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya